Menceritakan Ulang

75 8 0
                                    

KEGADUHAN YANG TERJADI di koridor sekolah membuat semua murid yang baru datang berbondong-bondong mendekat. Pasalnya, keributan itu melibatkan seorang Fabian yang terkenal di SMA GIS.

Setelah berhasil menarik Serra dari koridor, Marcello segera membawa gadis itu ke tempat yang lebih jauh. Setidaknya untuk membuat situasi lebih kondusif dibandingkan sebelumnya. Karena laki-laki itu tahu, jika dia tidak bergerak cepat maka keributan akan menjadi lebih besar lagi.

Serra yang terus memberontak pun menepis tangan Marcello dari tubuhnya begitu mereka sampai di depan kelas lain. Gadis itu langsung berbalik dan menatap mata laki-laki yang tampak kewalahan di depannya itu dengan sengit. "Apa-apaan sih lo, El?! Bukannya gue udah bilang kalau lo nggak perlu ikut campur sama urusan gue. Apa lo nggak dengar? Apa tendangan gue tadi nggak cukup buat lo?"

Marcello mencebik. "Lo nggak boleh sembarangan kaya gitu, Ser."

"Lo nggak tahu apa-apa, El!" timpal Serra dengan nada tinggi. Ia lantas membenarkan ikat rambutnya yang berantakan karena aksi bantingannya kepada Fabian. "Kemarin, ada kurir paket yang tiba-tiba datang ke rumah gue. Gara-gara itu, gue jadi tahu ulah bejat si Fabian!"

Kening Marcello mengerut seketika. "Kurir paket?"

"Iya."

"Kurir paket itu emang siapanya Fabian?"

Serra mendesah kesal dan menyilang kedua tangannya di dada. "Bukan kurir paketnya. Tapi barang yang dikirim si tukang paket itu buat gue."

Lagi, sang ketua karate hanya bisa mengernyitkan alisnya heran. "Jadi, kurir paket itu ngasih barang yang nunjukin kalau Fabian itu terlibat dalam kematian Sakilla?"

"Ish. Kok jadi belibet banget, sih."

Gadis yang tidak lebih tinggi dari tubuh Marcello itupun segera melepaskan ranselnya, menahannya di depan dada selagi sibuk merogoh-rogoh ke dalam, mengambil buku catatan milik Sakilla yang dia simpan di sana, lalu kembali memasang ranselnya dengan benar.

Marcello masih berdiri di sana, menunggu gerakan Serra dengan sangat sabar. "Itu apa?"

Dan Serra pun mengangkat benda yang tak terlalu tebal itu ke udara agar Marcello dapat melihatnya dengan jelas. "Ini buku catatan harian."

"Diary?"

"Betul."

Laki-laki itu kembali mengerutkan kening. "Lo nulis diary anak-anak sekarang?"

"Ish. Ini bukan punya gue," pungkas Serra cepat.

"Terus ini punya abang kurir paket yang kemarin?"

Kali ini justru Serra lah yang dibuat keheranan. "Hah?"

"Yaampun, Ser. Kita 'kan tadi lagi bahas abang-abang kurir paket. Kalau seandainya ini bukan buku lo, pasti ini punya si abang paket, 'kan?"

Serra langsung melayangkan pukulan untuk kepala Marcello menggunakan buku yang dipegangnya itu. Membuat Marcello meringis seketika.

"Gue tahu lo pintar, tapi pintar lo kelewatan," tandas Serra sarkastik. "Ini tuh dianter sama abang kurir paket kemarin siang. Dan lo tahu siapa nama pengirimnya, Sakilla Atmajaya, El."

Ekspresi di wajah Marcello masih sama seperti tadi. Kedua alisnya berkerut sementara mulutnya menganga tak percaya.

"Ini dikirim sama Sakilla, satu hari sebelum hari kematiannya sendiri."

Namun alih-alih langsung menanggapi, laki-laki itu justru mengatup bibir dan mengarahkan tangannya ke wajah Serra. Perlahan, punggung tangan Marcello pun menempel di dahi lawan bicaranya itu.

"Apaan, sih?!" tanya Serra, lalu menepis tangan Marcello dengan kasar.

"Gue pikir lo lagi demam. Biasanya orang demam kan agak halu-halu gimana gitu ya."

Serra mengembuskan napas dengan berat, terlihat sekali gadis itu sudah mulai jengah untuk menjelaskan. Namun anehnya, kali ini Serra tidak ingin berhenti berbicara. Ia ingin membagi semua rahasia ini bersama dengan satu-satunya orang yang dianggapnya bisa dipercaya. Jadi, gadis itu hanya kembali menunjukkan buku catatan itu kepada Marcello.

"Dengarin gue baik-baik. Buku ini dikirim sama Sakilla, atas nama Sakilla dan dikirim di ekspedisi yang di depan sekolah itu, lho."

Marcello menoleh dan menatap mata Serra lurus-lurus. "Seriusan?"

"Awalnya juga gue nggak percaya. Tapi isi dari buku catatannya ...," Satu tangan Serra pun bergerak untuk membuka halaman depan buku tersebut. "Ada foto gue sama Sakilla waktu kita masih kecil. Apa mungkin orang iseng bisa punya gue sama Sakilla waktu masih sekecil ini?"

"Tapi, kalau cuma kelakuan orang iseng gimana?"

Gadis itu pun menekuk alisnya dalam. "Maksud lo?"

"Bisa aja ini memang buku hariannya Sakilla. Tapi nggak sengaja ditemuin sama orang lain trus ya, dikirim ke elo gitu."

"Enggak. Nggak mungkin kaya begitu. Gue yakin banget kalau ini emang bukunya Sakilla."

Dan untuk membuat Marcello percaya kepadanya, Serra kembali membalik halaman kertas di hadapannya, menunjukkan isi yang tertulis di sana.

"Ini apa?"

"Curhatan Sakilla soal Fabian. Coba lo baca dulu," sarannya.

Yang kemudian diiyakan oleh Marcello. Dengan sigap laki-laki itu menerima uluran buku dari Serra dan mulai membaca tulisan di atas kertas putih itu dengan perlahan.

"Iya, 'kan? Ini pasti tulisan Sakilla," sela Serra sambil menarik kembali buku harian itu dari Marcello, lalu menyimpannya ke dalam ransel. "Gue yakin banget kalau tujuan Sakilla kirim itu ke gue adalah supaya gue ngasih pelajaran ke Fabian. Gila dia, baru pertama jadian aja udah minta yang aneh-aneh. Itu baru halaman pertama, El. Masih banyak halaman lain yang belum gue baca."

"Tapi, Ser." Marcello sebenarnya masih sangat ragu untuk setuju dengan keyakinan Serra. Namun seumur hidup mereka saling mengenal, tak pernah sekalipun laki-laki itu melihat Serra begitu antusias dan banyak bicara. Serra terlihat sangat peduli dan berambisi. "Mungkin lebih baik kalau kita selidiki dulu. Jangan main hajar kaya tadi. Fabian juga 'kan bukan orang sembarangan, bisa bahaya kalau kita asal tonjok begitu."

"Gue kesal banget dari kemarin. Gue tahan-tahan, tapi setiap kali kelakuan bejatnya si berengsek itu keingat, gue kesal lagi. Bukannya apa yang gue lakuin itu memang manusiawi ya?"

Ingin sekali Marcello menasihati, tetapi sepertinya Serra sedang tidak ingin mendengar apapun selain apa yang dia sendiri percayai.

"Yaudah, Ser. Sekarang lo tenangin diri lo dulu, kita ke kelas dan pelan-pelan lo baca lagi isi dari buku catatan itu. Lo baru baca halaman pertama 'kan? Lo harus pastiin kalau apa yang Sakilla tulis di sana, tentang Fabian dan teman-temannya, nggak tiba-tiba berubah di tengah halaman. Oke?"

Serra mengangguk setuju. Lagipula dirinya memang berniat untuk melakukan hal itu sejak awal. Hanya saja wajah Fabian yang terlihat di depan matanya membuat pikirannya keruh. Ia merasa perlu memberi kejutan untuk si berengsek yang telah melecehkan saudari kembarnya itu.

Karena melecehkan Sakilla, sama dengan melecehkan dirinya sendiri di sana.

ERAT (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang