Hari Dimana Tragedi Terjadi

77 9 0
                                    

Empat belas hari sebelum kematian Sakilla.

Dan sebagai satu-satunya orang beruntung, gue mau kasih tahu lo sesuatu.

Di hari pertama gue dan Fabian jadian, di hari itu juga pertama kali gue dan Fabian ciuman.

Gue pikir gue adalah cewek paling beruntung di dunia karena bisa dapetin Fabian dalam waktu yang cepat.

Siapa sih yang nggak mau kenal sama cowok seterkenal Fabian?

Waktu itu gue happy banget, fyi. Fabian itu pacar pertama gue, Serra.

Untuk pertama kalinya dalam hidup, akhirnya gue ngerasain 'jatuh cinta' di dalam hidup gue sendiri.

Tapi sayangnya ...

Cinta yang gue rasain saat itu ... nggak seperti apa yang gue bayangin dari lama.

Suara keras yang beradu dengan lampu berwarna-warni sedikit menganggu penglihatan Sakilla begitu mereka sampai di Luxury Club. Berbeda dengan ke empat temannya yang terlihat lebih nyaman dan sudah biasa dengan suasana di dalam kelab, Sakilla justru tampak gugup dan gelisah.

Gretta dan Riris sudah membaur di tengah-tengah lantai dansa. Sementara Tya dan Sheila memilih mendekati meja bar untuk memesan minum. Dari kejauhan, Sakilla tahu bahwa Tya memberi kode kepada sang barista untuk meminta tagihan pesanan kepada dirinya dan gestur itulah yang membuat Sakilla memilih untuk mendekat.

"Minum dulu, La," kata Tya sembari menyodorkan segelas mojito lemon kepada Sakilla. "Lo santai dikitlah, ini 'kan buat ngerayain lo jadi ketua ekskul yang baru. Sebentar lagi Fabian sama anak-anak basket juga bakal nyusul kok."

Sakilla mengernyitkan kening. "Fabian?"

"Iya," balas Tya dengan nada tinggi.

Suara musik yang sebelumnya terdengar, mendadak berubah menjadi lebih keras dan cepat. Membuat Tya dan Sakilla terpaksa berteriak agar suara mereka terdengar.

"Lo senang 'kan kalau Fabian ada di sini? Tadi Gretta yang nelpon Fabian."

Belum sempat Sakilla bertanya lebih banyak, gadis berambut pendek itu tiba-tiba menyibak sisi kanan rambutnya ke belakang, menunjukkan piercing hitam yang terpasang di telinga kanan bagian atas sambil berseru. "Pucuk dicinta ulampun tiba. Cowok lo datang tuh!"

Sakilla refleks berbalik. Menoleh ke arah yang ditunjuk Tya dengan dagunya.

Fabian dan teman-teman dekatnya yang merupakan anggota ekskul basket di sekolah masuk ke dalam kelab. Tidak berbeda jauh dengan temannya yang lain, mereka semua terlihat sudah terbiasa dengan suasana yang berisik ini. Butuh waktu beberapa detik sebelum akhirnya Fabian menemukan lambaian tangan Tya dan tersenyum kecil.

"Gue sama Sheila ke sana dulu. Lo di sini aja sama Fabian ya, La," ucap Tya.

Yang sontak saja membuat Sakilla panik. Alasannya adalah karena pertama, gadis itu belum pernah menginjakkan kakinya di sebuah kelab malam untuk orang dewasa. Mereka bisa masuk ke dalam tempat ini karena sang pemilik adalah saudara Gretta, yang mana akan memudahkan akses masuk meskipun mereka semua masih pelajar. Alasan yang kedua adalah karena Fabian ada di sana bersamanya.

"Hey?"

Sakilla tersenyum canggung dan membalas, "H-hei."

"Selamat ya. Katanya kamu jadi ketua ekskul cheers yang baru."

Gadis itu hanya menggumam dan menganggukkan kepalanya. Entah mengapa, Sakilla masih tidak bisa mengontrol jantungnya yang berdegup keras setiap kali berada di dekat Fabian.

"Kalau kamu nggak nyaman di sini, kita ke atas aja. Gimana?"

Kedua alis Sakilla pun bertaut dalam. "Ke atas?"

"Ke lantai dua."

"Tapi-"

"Ayo," potong Fabian tiba-tiba.

Tangan kokoh berbalut gelang suede merah milik Fabian menarik Sakilla dengan cepat. Gadis itu tak bisa melakukan perlawanan selain turut mengekor di belakang laki-laki yang baru saja menyandang status sebagai kekasihnya tersebut.

Keduanya menerobos lautan manusia yang begitu asyik menikmati musik untuk bisa sampai ke tangga di sudut ruangan. Tidak banyak yang menyadari pergerakan Fabian maupun Sakilla karena semua orang tampak terpukau dengan seorang DJ yang baru saja naik ke atas panggung.

Sampai akhirnya mereka sampai di lantai dua.

Fabian melepaskan tangan Sakilla dan berdiri di hadapannya. "Di sini lebih sepi dan bikin kamu nyaman, 'kan, Sakilla?"

Sakilla langsung mengangguk sumringah. Seulas senyum terlukis di bibirnya yang tipis. "Makasih ya kamu udah bantu aku."

"Iya, sama-sama," ucap Fabian sembari mengusap puncak kepala Sakilla dengan lembut. "Tapi sebenarnya ... ada tempat yang bakal bikin kamu lebih nyaman lagi, lho, Sakilla."

Senyum di wajah Sakilla memudar dan berganti dengan ekspresi bingung. Ia mengerutkan alis dan bertanya, "Tempat apa, Bi?"

"Kamu ikut aku aja ya."

Kali ini Sakilla sempat menahan tangan Fabian yang hendak menariknya kembali. Membuat laki-laki yang menutupi seragamnya dengan jaket jeans berwarna navy itu menoleh ke belakang dan menatap Sakilla heran.

"Sebentar. Kita sebenarnya mau kemana, Bi?"

"Udah kamu ikut aku aja," timpal Fabian lembut. "Aku mau bikin kamu happy hari ini."

"Uhm ... tapi ...,"

Fabian melepaskan tangannya dari Sakilla dan kini menghela napas. Ia mendekati wajah gadis itu dan mengusap pipi kanannya dengan penuh kehati-hatian. "Kamu percaya sama aku, 'kan? Aku sayang dan peduli sama kamu, itu sebabnya aku mau bikin kamu happy."

"Tapi apa nggak sebaiknya kita di sini aja? Atau apa lebih baik kita balik ke lantai satu ya biar teman-teman nggak nyariin kita?"

Sedikit keraguan di benak Sakilla membuatnya mulai cemas. Dan perasaan itu semakin bertambah parah ketika manik hitam miliknya menyadari bahwa tidak ada siapapun di koridor lantai dua selain dirinya dan Fabian. Hanya ada kamar-kamar dengan pintu tertutup yang di bagian atasnya tertulis angka. Dan pemandangan ini mengingatkan Sakilla dengan liburan keluarganya pada salah satu hotel di Bandung.

Hotel.

Fabian ngajak gue ke hotel yang ada di kelab itu.

Lantai terkutuk yang seharusnya nggak pernah gue datangin.

Fabian natap gue, dia bilang kalau semuanya bakal baik-baik aja.

Tapi jauh di dalam hati gue, gue tahu kalau sore itu gue nggak akan pernah berakhir dengan baik-baik aja, Serra.

"Kamu cinta 'kan sama aku?"

Pertanyaan itu.

Pertanyaan sialan yang keluar dari Fabian saat itu.

Pertanyaan yang seharusnya nggak pernah gue dengar

ataupun gue jawab.

"A-aku cinta kok sama kamu, Fabian. Tapi aku cuma takut aja teman-teman kita nyariin kita nantinya," dalihnya.

Namun lagi-lagi Fabian mengeluarkan sikap manisnya di depan Sakilla. Ia kembali mengusap puncak kepala gadis itu dan berkata, "Tenang aja. Nanti kita gabung sama mereka kalau kita udah selesai. Oke?"

Dan tanpa menunggu respons apapun dari Sakilla, Fabian sudah lebih dahulu menarik tangan gadis itu, memasuki salah satu kamar di sisi kanan koridor dan mengunci pintu.

Kamar nomor 5.

Kamar yang seharusnya nggak pernah gue datangin sama Fabian.

Kamar terkutuk dimana akhirnya semua penderitaan gue dimulai, Serra.

ERAT (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang