11. Bingung

3.4K 150 18
                                    

• happy reading •

Eira duduk terdiam di hadapan kedua orang tuanya di ruang tamu. Orang tuanya sempat saling tatap beberapa kali hingga akhirnya Ayla menaruh selembar kertas yang sudah ada bekas lipatan ke atas meja di hadapan mereka.

"Jadi bener apa yang dikatakan anak itu?" tanya Ayla dengan menatap sendu pada Eira.

Eira menggeleng lemah. "Berapa kali Eira harus bilang, Bunda? Ayah? Eira nggak pernah ngelakuin hal seperti itu. Tolong percaya sama Eira, Ayah, Bunda..."

"Tapi... Di kertas itu tertulis dengan jelas kalau..."

"Bunda aku bahkan nggak ingat kapan aku nulis surat kayak gitu. Aku nggak pernah nulisnya. Buat apa aku nulis surat begitu? Itu semua pasti sudah direkayasa oleh--"

"Oleh siapa?! Itu benar-benar tulisan tangan kamu! Ayah sudah cek buku-buku catatan kamu dan semua tulisannya sama persis dengan tulisan di kertas ini!" hardik Rian sambil mengambil kertas tersebut dan menunjukkannya kepada Eira.

Eira memejamkan matanya menahan tangis. Ia meremas genggaman tangannya sendiri dan kemudian mengeluarkan suara lagi, "Bukan aku penulisnya, Ayah..."

"Tenang, Yah," ucap Ayla sambil mengusap-usap tangan suaminya guna menenangkannya.

"Tapi, Bunda, ini—"

"Ayah semua ini ga akan selesai kalau Ayah marah-marah begini! Kendalikan emosi Ayah, dan bicarakan semuanya dengan kepala dingin supaya tidak salah bertindak, Ayah!"

Rian membuang napas kasar dan kemudian kembali mendudukkan diri di sofa. Ia mengatur napas sebentar lalu menatap putrinya kembali. "Ayah harus bertemu dengan anak laki-laki itu."

***

"Pikirkan ini, jika putri Anda menjadi menantu saya, maka akan saja pastikan 100% dia akan menjadi sukses! Saya akan menanggung segala biaya pendidikan dan kebutuhan sehari-harinya. Meski dia menikah, akan saya pastikan kalau pendidikannya tidak akan berhenti. Dia akan tetap bersekolah seperti keinginannya, dan berkuliah di kampus yang dia inginkan dengan jurusan yang dia pilih juga. Akan saya pastikan semua itu! Dia akan bahagia di dunia pendidikannya!" Dalton menegaskan kalimat-kalimatnya itu dengan ekspresi dan nada yang meyakinkan. Di sebelahnya juga duduk Axel yang sesekali mengangguk membenarkan perkataan papanya.

"Bagaimana bisa seorang anak yang sudah menikah bisa bersekolah di sekolah umum lagi? Pasti akan sangat mustahil! Saya tidak rela bila putri saya harus home schooling hanya demi pernikahan yang bahkan belum sepantasnya dilakukan!" tegas Rian.

"Semua bisa saja terjadi jika tidak ada yang membuka mulut, Om," kata Axel.

"Kamu pikir pernikahan bisa dirahasiakan semudah itu!? Bagaimana dengan teman-teman kalian yang pasti akan mengetahui hal itu!? Jangan berfikir sempit, tolong!"

"Tidak ada yang berfikir sempit! Benar kata putra saya, jika tidak ada yang membuka mulut maka semuanya akan baik-baik saja. Dan kalaupun rahasia tidak bisa terjaga lagi, maka semuanya masih akan baik-baik saja. Anda tidak tau saya siapa? Saya bisa melakukan apa saja yang menjadi kehendak saya. Saya bisa membungkam mulut semua guru-guru bahkan kepala sekolah dan membuat putri Anda tetap bisa menuntut ilmu di sana! Dan jika dia ingin pindah bersekolah ke luar negeri pun, maka akan saya kabulkan permintaan dia! Saya akan menganggap dia seperti putri kandung saya sendiri!"

"Nak, apa cita-cita kamu?" Dalton beralih menatap Eira yang duduk termenung di sebelah Ayla. Dan tentu saja pertanyaan dari Dalton tak membuat Eira berkutik barang sedikit pun.

"Kakak pernah bilang dia pengen jadi dokter spesialis anak! Karna Kakak suka anak-anak!" seru Flora yang juga ada di sana.

"Dokter spesialis? Saya bisa menjadikan dia dokter yang sukses jika dia bersama keluarga saya! Pendidikan kedokteran yang dia dapatkan akan setinggi mungkin dan pastinya yang terbaik! Putri Anda juga cerdas, memiliki potensi yang sangat besar untuk bisa menjadi dokter yang sukses dan ternama. Masuk ke salah satu universitas terbaik di dunia? Kenapa tidak?"

VALUSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang