30. A Plot twist

1.5K 47 3
                                    

• happy reading •

Keadaan sangat jauh membaik. Sudah tiga hari setelah ulang tahun Axel yang penuh kejutan bagi Eira. Eira yang awalnya mengira kalau Axel hanya bersandiwara telah menyesali perbuatannya, namun ternyata dugaannya salah. Semuanya ternyata nyata, dan tulus dinyatakan oleh Axel. Bahwa laki-laki itu telah menyesal.

Selama tiga hari belakangan, sikap Axel berangsur-angsur membaik terhadap Eira. Laki-laki itu menjadi ramah senyum terhadap Eira, meski terkadang terasa agak canggung. Axel juga selalu berterima kasih setiap kali Eira melakukan sesuatu untuknya.

Bukan hanya kondisi hubungan mereka saja yang membaik, melainkan kondisi kesehatan Axel juga jauh membaik. Kakinya sudah bisa pelan-pelan berjalan kembali.

Dan kabar gembiranya lagi, kini ia sudah diperbolehkan untuk kembali ke rumahnya. Hanya perlu melakukan fisioterapi saja beberapa kali sampai kakinya benar-benar pulih total.

Selama di rumah, Anna sesekali mengunjungi kedua putranya yang sudah sangat lama tak ia rawat. Axel masih memilih untuk cuti sekolah hingga hari Senin tiba. Dan dapat ia pastikan di hari itu ia sudah dapat berjalan normal.

Dan saat ini, Eira yang masih memakai seragam sekolah membantu Axel berlatih berjalan di taman belakang rumahnya. Axel akan berjalan sebentar, kemudian berhenti sejenak kemudian lanjut berjalan kembali dan diulangi berkali-kali. Eira sesekali memegangi tangan Axel ketika laki-laki itu dirasa agak oleng.

"Kamu yakin mau sekolah lagi 4 hari?" Eira memandang cemas pada Axel.

"Jangan ngeremehin gue," ucap Axel. Eira menghela napas dan mengangguk pasrah. Ia hanya khawatir berlebih terhadap Axel.

"Gue mau duduk bentar." Eira mengangguk dan menuntun Axel menuju kursi di dekat mereka. Mereka pun duduk bersebelahan di sana.

"Aku ambilin air ke dapur ya?" tawar Eira namun tangannya ditahan Axel ketika ia hendak berdiri. "Gausah."

"Emang kamu ga haus?"

Axel menggeleng dan berkata, "Gue tau lo udah capek. Sorry lo harus ngerawat gue juga."

Eira tersenyum tipis. "Kata siapa aku cape? Kamu haus kan? Aku ambilin minum yaa."

"Diem di sini, Ra. Gue mau ngomong."

"Ngomong apa?" tanya Eira dengan alis menaut.

Axel malah terdiam. Dilihatnya dengan intens mata Eira, sesaat kemudian ia membuang muka beralih menatap rumput.

"G-gue banyak salahnya sama lo. Maaf. Gue sadar gue brengsek banget jadi cowok. Bahkan gue malu mengakui gue cowok setelah semua tindakan kotor gue ke lo. Mungkin kecelakaannya itu hukuman buat gue..." lirih Axel. Ia lantas kembali memandang Eira yang juga menatapnya.

"Dan mungkin itu aja belum cukup sakit dibanding semua sakit yang gue kasih ke lo. Gue sebajingan itu ke lo, Ra. Gue ngejebak lo, gue nyakitin fisik dan perasaan lo, gue selingkuh, banyak kesalahan gue yang semuanya gabisa ditebus cuma pake kata maaf doang. Disaat gue sekarat waktu itu, harusnya lo pake kesempatan itu buat akhirin hidup gue, Ra. Kenapa lo ga lakuin itu biar lo bisa bebas ga ketemu gue lagi?? Kenapa lo malah ngerawat gue?? Kenapa, Eira??"

Mata Eira berkaca-kaca dan disaat itu pula ia memeluk Axel. "Aku sayang sama kamu. Mana mungkin aku rela kehilangan orang yang aku sayang, Axel... aku sayang banget sama kamu..." isaknya.

"Setelah semua yang gue lakuin lo bisa sayang sama gue, kenapa Ra?? Harusnya lo benci sama gue, dendam sama gue. Sekarang lo bebas lakuin apapun ke gue buat nebus kesalahan gue, Ra. Lo bebas perlakuin gue sekasar apapun, se-engga manusiawi apapun lo bebas. Gue mau nebus kesalahan-kesalahan gue," ucap Axel namun Eira menggelengkan kepalanya.

VALUSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang