Seperti janjiku, aku akan menceritakan tentang siapa itu Dirgantara serta alasan hanya aku yang boleh dekat-dekat dengan dia. Kebetulan tidak ada tugas dari sekolah. Jadi, selepas makan malam bisa langsung ke kamar dan menunaikan janji terhadap kalian. Di luar sedang hujan, deras sekali bagai ditumpahkan begitu saja di bumi.
Petir menggelegar bersahut-sahutan, memamerkan eksistensinya pada alam, bahwa suara yang memekakkan telinga itu boleh berbangga karena hadir bersama hujan. Diantar oleh angin, terdengar hingga di kejauhan.
Seharusnya aku sudah tidur dan bersembunyi di balik selimut saat malam terlihat seram karena hanya terdengar suara hujan bertemu rindu bersama atap seng. Namun, aku tak ingin ingkar pada kalian semua.
Baiklah, ditemani cokelat panas seteko, sepuluh bungkus wafer seribuan hasil traktir dari Dirgantara, aku akan menarikan jemari di atas punggung keyboard laptop pemberian Abang tahun lalu.
Kebetulan besok adalah hari minggu. Jadi, aku bebas mengejek malam sesuka hati, sebab melewatkan kodrat manusia yang mengistirahatkan lelah saat matahari tengah bertukar peran dengan Dewi Rembulan dan pengawalnya, para bintang.
Sebelumnya, kalau boleh minta tolong. Nanti saat cerita ini terbaca oleh mata, bersikaplah seperti biasa. Sama seperti pesan Dirgantara sewaktu mengisahkan lukanya padaku. Ya, dia berkata begitu.
***
Setahun yang lalu, tepat di sore hari, tempat anak-anak Molotov--perkumpulan anak muda yang menghabiskan waktu senggang bersama, tampak sunyi. Dirgantara yang saat itu masih berusia tujuh belas tahun menurunkan standar motor sport hitam tunggangan kesayangan.
Iris kelam itu menyorot beberapa sudut, kalau-kalau ada seseorang yang bisa ditemui untuk menanyakan penyebab keheningan yang tak biasa. Burung-burung pun enggan bersuara.
Lampu-lampu di dalam masih menyala terang seperti biasa. Dirgantara bisa melihatnya melalui jendela kaca. Kawasan ini tak begitu jauh dari tempat tinggal warga. Sesekali anak-anak muda di sana ikut bermain ke mari.
Sekedar nongkrong atau memetik gitar, bernyanyi bersama sambil minum kopi. Dirgantara versi dulu masih hangat, seperti mentari di pagi hari, dan senja sebelum pergi.
Gemeresik dedaunan kering turut mengabarkan baru saja terjadi sesuatu di sini. Bebatuan lembab seperti bernyawa memberi cerita pada sosok yang sedang melewati mereka. Sayang, Dirgantara tak mengerti bahasa kebisuan alam.
Ia pikir, bisa saja mereka masih sibuk, belum sempat ke sini. Makanya dengan tenang langkah itu memasuki rumah kecil berdinding papan serta lantai keramik. Agak kontras sebenarnya. Namun, di sini nyaman, sejuk dan menenangkan. Hadiah dari opa dan oma sebab Dirgantara menjuarai olahraga taekwondo se-Jakarta.
Jantungnya berdegup kencang saat melihat kondisi ruangan sangat berantakan. Meja-meja terbalik, kursi menepi dengan posisi tak beraturan, pigura foto anak Molotov pecah, lalu berdebu seperti bekas kena pijak.
Kaleng minuman soda tergeletak mengenaskan dengan isi sudah tumpah sebagian. Dirgantara terpaku.
"Ada apa ini? Apa mereka berantem sampai ruangan kacau? Tapi, pada ke mana? Harusnya ada satu atau dua buat jaga rumah, masa ditinggal dalam keadaan gak dikunci," bisiknya dalam kesendirian.
Cepat-cepat ia berlari ke luar dan memanggil seorang anak muda yang sering berkumpul bersama mereka. Namanya Adnan.
Tanpa perlu bertanya, hanya dengan melihat raut muka Dirgantara saja, Adnan sudah paham. Pasti anak itu hendak menanyakan apa yang sebenarnya terjadi.
"Tadi polisi ke sini, bawa pasukan banyak banget. Terus ngepung mereka semua. Aku baru sampai waktu semuanya mau dibawa. Sebenarnya, udah berusaha jelasin kalau markas kita gak pernah macam-macam, tapi percuma," cerita Adnan kala itu.

KAMU SEDANG MEMBACA
Dirgantara [Terbit]
Teen FictionCatatan dari Mikhaela untuk Dirgantara Sengaja kutulis ini agar orang-orang tahu bagaimana sulitnya menjadi kita, terutama kamu. Cerita ini juga akan menjadi penebus rinduku yang menggebu-gebu. Apalagi sejak hari itu, kita tidak pernah bertemu lagi...