DG.5

17 3 1
                                    

Menjelang azan Subuh aku terbangun dengan sendirinya. Cuaca dingin sekali, nyamuk-nyamuk berpesta pora mengisap darah manusia. Dalam kamar sempit dan terang benderang ini, aku sibuk menggaruk-garuk diri.

Rasanya baru tidur sebentar malah bangun lagi. Ponsel masih hidup, panggilan masih tersambung. Saat kudekatkan ke telinga, masih terdengar dengkuran halusnya. Baterai tinggal sedikit, dibiarkan sebentar lagi pasti mati. Nanti dia sendiri yang kelimpungan mencariku.

"Matiin dulu kali, ya? Cas dulu sampai penuh," gumamku sembari menyentuh tombol merah dan menyambungkan ke charger.

Mungkin aku terlihat bodoh karena selalu mengkhawatirkan keadaan Dirgantara. Padahal orang tua, bukan. Saudara, bukan. Keluarga dekat, bukan. Entah kenapa ada rasa seperti merasa wajib saja memperhatikan setiap detik apa saja yang dialami.

Kalau dituduh bucin, aku tidak bucin sama dia. Istilah itu lumayan aneh bila dilekatkan padaku. Mana mungkin cewek kaku dan geli pada hal-hal romantis bisa disebut bucin. Kalian, sih, bisa jadi.

"Semoga pas bangun pagi Didi udah lebih baikan. Kasihan juga opa sama oma kalau lihat kondisi cucunya down lagi."

Aku merenggangkan badan sebentar. Rugi kalau tidur lagi. Sudah mendekati waktu azan Subuh. Olahraga kecil di kamar sepertinya bagus. Terkadang aku terkikis geli di sela-sela pemanasan. Embusan napas di udara beku terlihat seperti gumpalan yang memutih. Biasanya hanya di negara bermusim dingin saja ada kejadian begini.

Baru beberapa menit lenggak-lenggok merenggangkan badan, suara pintu yang digedor cukup kuat memaksaku berhenti dan mengatur napas kembali. Setelah itu baru beranjak buka pintu.

"Emak, kirain siapa. Ada apa?"

"Pak Mus meninggal barusan. Emak baru balik buat ganti baju. Kamu cuci muka terus kita ke sana sekarang," kata Emak serius.

"Pak Mus meninggal? Innalillahi wa inna ilaihi raajiun. Sakit apa Pak Mus?"

"Belum jelas. Mau ikut nggak? Emak pulang buat ambil ambal."

"Sebentar, aku cuci muka terus ganti baju."

Aku terkejut bukan main. Pak Mus itu tetangga kami. Hanya berselang tiga rumah saja. Sayup-sayup bisa kudengar suara tangisan saat pergi ke belakang untuk mencuci muka.

Sayang sekali beliau berpulang di usia muda. Baru merayakan ulang tahun ke tiga puluh enam minggu lalu bersama keluarga. Tahu-tahu Allah hari ini.

"Ya Allah, sesungguhnya kematian begitu dekat. Kapankah Engkau mengambilku? Izinkan hamba-Mu diri dari hitamnya dosa yang melumuri badan agar tak dibelai panasnya neraka, Ya Allah." Begitu doa yang terucap spontan saat kembali ke kamar.

Setelah mengganti baju dengan kaos dan training, aku bergegas mengikuti langkah Emak ke rumah duka. Dalam hati turut mendoakan semoga Pak Mus mendapat tempat terbaik di sisinya.

***

Ahmad--anak pertama berusia lima tahun, tampak kebingungan karena semua orang menangis saat menatap dirinya. Dia melirikku lalu melambai seraya tersenyum lebar. Kabarnya, jenazah Pak Mus masih di rumah sakit.

Karmila duduk termangu di sudut sana, menggendong keponakannya. Bayi berusia lima bulan yang masih terlelap. Namanya Khaira, adik Ahmad. Sesekali ia bergerak gelisah, menangis sebentar, lalu tenang.

Menangis lagi, tertidur lagi. Mendadak mataku panas. Ahmad dan Khaira yatim di usia sangat belia.

Emak mengajakku bergabung bersama ibu-ibu lain. Ada yang sibuk menggerus kayu--entah apa namanya--yang baunya bikin pusing, mencincang daun pandan sehalus mungkin, memisahkan daun--aku juga tak tahu--dari tulangnya, mencincang bunga bougenville, sebagian lagi sibuk menggelar tikar setelah bapak-bapak berhasil mendirikan tenda. Suasana duka begitu terasa.

Dirgantara [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang