"Nee-san?"
Suara milik adiknya memasuki indra pendengaran Kanae. Gadis itu sontak menoleh ke arah pintu ruangannya di mana adiknya itu berada. Ia berdiri di ambang pintu sejenak sebelum melangkah mendekati tempat tidur di mana sang kakak tengah duduk.
"Ah, Shinobu. Kau baru saja kembali?" tanya Kanae basa-basi untuk membuka percakapan dengan adiknya itu.
"Um, baru saja."
Shinobu tidak bodoh. Ia tahu kakaknya tengah melamun sebelum ia datang ke sini. Pasalnya, Kanae bahkan tidak menyadari dirinya yang telah berdiri di ambang pintu sejak tadi. Kanae baru tersadar kala Shinobu memanggilnya. Seolah-olah ia baru saja tertarik kembali ke dunia nyata. Di mana terdapat realita yang harus ia hadapi.
Langkah kaki Shinobu beranjak menghampiri sebuah meja nakas di dekat tempat tidur Kanae. Sebuah vas bunga terletak di atasnya. Sejenak gadis itu memperhatikannya. Bunga di dalamnya mulai layu. Dikeluarkan dari sana, kemudian diganti dengan beberapa tangkai bunga dengan jenis yang sama. Yang berbeda hanyalah beberapa tangkai bunga tersebut tampak lebih segar.
"Nee-san," panggil Shinobu tiba-tiba.
Kanae yang tengah melamun pun menoleh ke arahnya. Menatap lurus ke arah adiknya yang masih memperhatikan beberapa tangkai bunga lily putih di depannya.
"Di mana Shinazugawa-san? Bukankah sebelumnya ia bersama denganmu?" tanya Shinobu yang tentunya menuntut sebuah penjelasan dan jawaban yang pasti.
Sebuah senyum sontak mengembang pada paras ayu Kanae. Ia memalingkan wajahnya dan tatapan menerawangnya tertuju ke arah jendela di sebelah kirinya.
"Ia pergi menemui teman lamanya sekaligus..." Kanae diam. Menggantung perkataannya. Membuat Shinobu mengernyitkan keningnya dan merasa penasaran di saat yang bersamaan.
"Sekaligus apa?"
Sekaligus cinta lamanya, lanjut Kanae dalam hati.
Namun, pada realita yang ada, gadis itu hanya menggeleng. Ia tersenyum ke arah Shinobu seraya berkata, "Tidak, Shinobu. Bukan apa-apa."
Ada suatu hal yang kakaknya sembunyikan.
Itulah yang Shinobu pikirkan. Namun, pada akhirnya hal itu tetaplah menjadi pemikirannya belaka. Ia tidak ingin berpikiran negatif terhadap kakaknya sendiri. Setidaknya untuk saat ini.
***
"Aku masih mengingat janji yang aku katakan di hari itu, sembilan tahun yang lalu."
Dunia (Y/n) sontak berhenti berputar kala ia mendengar apa yang dikatakan oleh lelaki di sebelahnya. Tatapannya yang semula tertuju ke arah kolam ikan di depan sana, kini berganti menatap ke arah Sanemi.
Namun, melihat wajah lelaki itu, seketika (Y/n) pun bisa melihat wajah seorang gadis yang sebelumnya diakui Sanemi sebagai kekasihnya. Gadis itu pun kembali tertunduk. Menatap ke arah tangannya yang saling memilin di atas pangkuannya.
(Y/n) tidak ingin menjadi penghambat. Tentunya bagi orang-orang di sekitarnya. Apalagi menjadi seseorang yang menghambat hubungan orang lain. Termasuk hubungan antara Sanemi dengan Kanae.
Pada akhirnya, gadis itu pun memutuskan untuk menyimpan perasaannya untuk dirinya sendiri. Menguburnya dalam-dalam hingga takkan muncul kembali ke permukaan. Bibirnya terbuka, mengucapkan beberapa kata dalam nada yang pelan. Sekaligus menyembunyikan rasa sakit di dalam relung hatinya.
"Janji? Janji apa?"
Pertanyaan yang dilontarkan dengan raut penuh kebingungan serta keheranan itu membuat Sanemi tertegun seketika. Gadis di hadapannya saat ini justru hanya menatapnya dengan tatapan yang seolah-olah berkata: 'apa yang baru saja kau katakan?'.
"Kau... tidak mengingatnya, huh?" tanya lelaki itu.
Yang ditanya hanya bisa berkedip beberapa kali. Lalu, gelengan kepala gadis itu membuat Sanemi merasa geram. Ia kesal akan dirinya sendiri juga pada gadis di sebelahnya.
Bagaimana bisa (Y/n) melupakan janji mereka sembilan tahun yang lalu? Ia sadar, sembilan tahun bukanlah waktu yang singkat. Bahkan sangatlah lama. Namun, mengapa gadis itu bisa melupakannya dengan mudah sementara dirinya justru sebaliknya? Ia masih mengingatnya hingga detik ini. Kini Sanemi merasa dirinya sungguh bodoh.
"Nemi-chan."
Lagi-lagi panggilan yang sama diucapkan oleh (Y/n). Panggilan yang dengan terpaksa Sanemi terima begitu saja ketika mereka masih kecil. Meskipun ia ingin menolak, tetapi hatinya tidak bisa berbohong jika sebenarnya Sanemi menyukai panggilan itu.
"Mengapa setelah sembilan tahun berlalu, kau baru kembali menemuiku?" Kini gadis itu yang berbalik bertanya.
Heninglah yang menjawab pertanyaan (Y/n). Bersamaan dengan kalbu yang perlahan menyingkir dari sang jumantara di atas mereka.
Juju saja, (Y/n) menunggu penjelasan dari Sanemi mengenai hal ini. Apapun jawaban lelaki itu nanti, ia harap bisa menjelaskan apa yang terjadi saat itu. Tentang mengapa bibinya membawanya pergi. Bahkan tanpa sempat memberitahunya lebih dahulu. Masih (Y/n) ingat dengan jelas bagaimana perasaannya kala ia melihat rumah Sanemi yang telah kosong.
"Aku tidak bisa menemuimu."
Dengan cepat, (Y/n) menoleh. Manik (e/c)nya masih terlihat tidak puas akan jawaban Sanemi yang terdiri dari empat kata itu.
"Aku selalu menyangkal tentang aku yang sesungguhnya merindukan dirimu. Setiap kali aku menyangkalnya, semakin besar pula rasa rindu itu menyeruak di dalam dadaku. Aku bahkan tidak percaya saat ini aku sedang menjelaskannya kepadamu, (Y/n)," lanjut Sanemi lagi.
Ia diam sejenak. Menunggu reaksi yang mungkin akan (Y/n) berikan. Namun, gadis itu yang masih terdiam. Tatapannya tertuju ke arah yang sama, sebuah kolam ikan beberapa meter di depan mereka. Ia pun memutuskan untuk meneruskannya.
"Di saat itulah, Kanae muncul di hadapanku. Sebagai murid baru di kelasku setahun yang lalu. Namun, setahun berlalu dengan sangat cepat. Dua bulan yang lalu, aku baru mengetahui jika gadis itu sakit."
Mendengar apa yang baru saja lelaki itu katakan, (Y/n) sontak terkejut. Matanya membulat. Tangannya pun menekap mulutnya sendiri.
"Organ-organ di dalam tubuhnya tidak sepenuhnya dapat berfungsi dengan baik. Ia bahkan sering tidak masuk ke sekolah. Sehingga membuatnya harus berpindah-pindah sekolah berkali-kali karena hal itu," lanjut Sanemi.
Lelaki itu terdiam sejenak. Mengingat bagaimana bisa Kanae menyembunyikan semua hal itu selama ini. Ia pikir gadis itu baik-baik saja dengan senyuman yang tampak di wajahnya. Kenyataannya tidaklah demikian.
"Ketika kau melihat aku dan Kanae di hari itu, gadis itu memutuskan untuk kabur dari rumah sakit dan masuk ke sekolah. Hanya untuk menemuiku."
Semakin lama, semuanya semakin jelas. Kala (Y/n) mendengarkan penjelasan dari Sanemi satu per satu, ia merasa bahwa dirinya telah membuat keputusan yang tepat.
Kanae sakit. Sementara (Y/n) berada dalam kondisi tubuh yang sehat tanpa penyakit apapun. Gadis itu tidak bisa pergi ke sekolah. Sedangkan dirinya bisa pergi ke sekolah setiap hari tanpa perlu khawatir dengan hal lainnya.
Lalu, ada satu perbedaan yang paling besar di antara (Y/n) dengan Kanae. Kanae dicintai oleh Sanemi. Dari tatapan mata lelaki itu, (Y/n) bisa mengetahuinya. Sementara, (Y/n)? Ia tidak dicintai oleh siapapun. Hanya Mitsuri-lah satu-satunya teman baik yang menyayangi dirinya.
Mengetahui akan fakta yang sungguh menyakitkan itu membuat (Y/n) tersenyum miris. Hatinya seolah-olah teriris hingga perlahan kehilangan bentuknya. Yang tersisa hanyalah rasa sakit serta sesak di dalam dada.
Namun, masih ada satu hal yang mengganjal di dalam benaknya.
Lantas, mengapa kau memilih menjadi kekasih Kochou-san jika kau masih mengingat janji kita di hari itu, Nemi-chan?
Pertanyaan yang tidak akan pernah terjawab. Sudah cukup (Y/n) merasa disakiti oleh tindakan yang ia ambil. Ia hanya tidak ingin menyesal di kemudian hari.
Gadis itu telah membuat keputusan yang terbaik dengan pergi dari hadapan mereka berdua, bukan?
***
KAMU SEDANG MEMBACA
END ━━ # . 'When Sakura Blooms in Spring ✧ Shinazugawa Sanemi
FanfictionSeason Series #4 - Shinazugawa Sanemi Berawal dari sebuah janji di musim semi. Kalimat yang terucapkan begitu saja dari mulutnya. Membuat kehidupan seorang gadis bernama (F/n) (Y/n) itu berubah drastis, seratus delapan puluh derajat. Ketika seorang...