Kakinya terus berlari melewati lorong rumah sakit. Suara sepatunya yang beradu dengan lantai terdengar begitu nyaring di tengah suasana yang sungguh hening. Mengiringi setiap langkah kakinya menjauhi dua insan yang paling gadis itu ingin hindari.
Sekali lagi, (Y/n) menoleh ke belakang. Memastikan jika hanya ada dirinya seorang diri saat ini. Setelahnya ia memutuskan untuk mengurangi kecepatan larinya hingga pada akhirnya ia pun berhenti.
Tangannya bertopang pada dinding rumah sakit. Deru napasnya terengah-engah. Pikirannya tidak dapat menghilangkan apa yang baru saja ia lihat. Semakin ia ingin menghilangkan, semakin jelas pula kejadian tadi terlihat di dalam kepalanya.
Bokongnya dihempaskan begitu saja ke atas kursi kosong di sebelahnya. Kepalanya ia tengadahkan. Manik (e/c)nya terpejam. Berusaha menghilangkan hal-hal yang saat ini mengganggu pikirannya. Membuatnya sulit untuk tertidur hingga setiap pagi Mitsuri-lah yang meneleponnya untuk membangunkan dirinya.
Helaan napas berhembus ke luar. (Y/n) memijat keningnya sejenak. Entah mengapa ia berlari kala melihat dua orang yang menjadi sepasang kekasih itu. Ia sendiri tidak tahu apa alasannya. Namun, kala (Y/n) melihat wajah Sanemi serta Kanae di sana, seketika rasa percaya diri serta keberaniannya runtuh seketika. Digantikan oleh rasa sakit yang mendadak muncul ke permukaan.
Lantas, bagaimana dengan janji itu?
Janji yang diikrarkan di kala bunga sakura tengah bermerkaran dengan indahnya. Ditemani oleh semilir angin musim semi. Bertepatan dengan tawa yang terdengar ketika janji itu disebut.
Ya, bisa dikatakan janji itu hanyalah sebuah lelucon belaka.
Tidak ada yang akan mengingat janji yang dibuat sembilan tahun yang lalu. Hanya orang bodoh yang mengingatnya. Dan (Y/n)-lah orang bodoh tersebut. Dadanya terasa sesak dan air matanya mengalir hanya karena sebuah janji tanpa didasari apapun. Hanya sekedar tujuh kata tanpa makna.
Baru saja (Y/n) berpikiran demikian, kini air mata benar-benar mengalir dari pelupuk matanya. Perlahan, menuruni pipinya sebelum menjatuhkan diri ke bawah karena gravitasi bumi.
"Kuharap kau sudah bahagia bersama dengannya, Nemi-chan..."
***
"Astaga, (Y/n)-chan! Ada apa dengan matamu?!"
Seruan terkejut itu menyapa (Y/n) yang baru saja melangkahkan kakinya memasuki kelasnya. Mitsuri, gadis yang bersrru tadi, sontak mendekati (Y/n) dengan raut khawatir dan penuh tanda tanya.
Mendengar seruan Mitsuri tadi, secara spontan (Y/n) meraba kantung mata di sekitar area bawah matanya. Ia terdiam sejenak. Memikirkan kata-kata yang paling tepat untuk menjawab pertanyaan Mitsuri itu. Ah, bukan. Melainkan memikirkan kalimat penuh dusta untuk membuat Mitsuri tidak lagi khawatir.
"Ah, aku tidak bisa tertidur semalam," jawab (Y/n) sambil terkekeh. Ia tidak sepenuhnya berbohong. Gadis itu memang tidak dapat terlelap di malam sebelumnya. Matanya bahkan masih terasa segar ketika jarum jam menunjukkan pukul tiga pagi.
"Pantas saja ketika aku menghubungimu tadi pagi untuk membangunkanmu, kau mengangkatnya dalam kurun waktu yang cukup lama," ujar Mitsuri dengan air muka khawatirnya yang tampak mulai berkurang.
"Aku baik-baik saja. Jangan khawatir, Mitsuri-san," tambah (Y/n) lagi. Meyakinkan Mitsuri jika dirinya memang benar-benar baik-baik saja. Ia pun tersenyum simpul.
Mitsuri menatap (Y/n) sejenak. Berusaha mencari kebohongan dari tatapan temannya itu. Namun, tidak ada sirat kebohongan di sana. Alhasil, Mitsuri pun percaya. Percaya akan kebohongan yang sebenarnya lebih baik daripada fakta yang menyakitkan.
***
Lelaki itu mendorong kursi roda yang diduduki oleh seorang gadis di atasnya. Dengan perlahan dan penuh kehati-hatian, Sanemi menggerakkan kursi roda itu mendatangi sebuah taman.
Taman yang berada di rumah sakit itu tampak terlihat tidak ramai pengunjung. Hanya segelintir orang yang hanya ingin membunuh waktu mereka atau sekedar menikmati udara yang segar.
"Apakah kau ingat dengan gadis yang kutabrak tadi, Sanemi-kun?"
Yang ditanya sontak mengalihkan pandangannya dari apa yang ada di sekitar mereka saat ini. Sanemi diam sejenak. Tentu saja ia ingat. Tidak mungkin ia melupakannya begitu saja.
"Um. Aku mengingatnya," jawabnya.
Netra lelaki itu tidak dapat melihat reaksi yang diberikan oleh gadis di atas kursi roda itu. Sehingga ia hanya bisa menebak-nebaknya di dalam benak.
"Ia langsung berlari ketika melihatmu," ujar gadis bersurai panjang itu lagi. "Benar kataku, bukan? Wajahmu yang menyeramkanlah yang membuat orang-orang menjauhimu." Ia pun tertawa setelahnya.
Tidak dengan Sanemi. Lelaki itu justru mendengus. Mengabaikan kata-kata yang sudah sering ia dengar dari gadis di dekatnya saat ini.
"Lantas, mengapa kau justru menjadikan aku sebagai kekasihmu, Kanae?" Sanemi sontak bertanya.
Kanae, gadis yang duduk di atas kursi roda itu, hanya terkekeh. Ia menatap ke arah seorang anak kecil yang tengah bermain dengan temannya. Mereka berdua sama-sama memakai piyama rumah sakit. Menandakan bahwa mereka merupakan salah satu pasien di sini.
"Kau sudah tahu apa alasannya, Sanemi-kun," ucap Kanae masih menatap ke arah yang sama. Namun, seketika menunduk. Memilin kesepuluh jarinya yang saling bertautan. "Maafkan aku karena permintaanku yang sangat egois."
Tertegun, Sanemi pun hanya diam. Secara tak langsung, ia dibungkam oleh perkataan Kanae.
"Kau tidak bahagia ketika bersamaku, bukan?" Kanae kembali berucap. Di setiap kata yang ia ucapkan, menorehkan luka pada dirinya sendiri.
"Aku bahagia saat bersamamu."
Ketika Sanemi mengatakannya, rona merah yang samar tercetak pada pipinya. Wajahnya ia palingkan ke arah lain. Menghindari tatapan Kanae yang tengah mendongakkan kepalanya.
Namun, anehnya, kala Sanemi merasakan wajahnya yang memanas, yang ada di dalam pikirannya ialah bukan gadis yang saat ini tengah bersamanya. Melainkan seorang gadis lain yang telah menemukan dirinya lagi.
"Sanemi-kun."
Tanpa menjawab, Sanemi pun diam. Ia mendengarkan apa yang ingin dikatakan oleh Kanae padanya. Sungguh, ia merasa terkejut kemudian. Kala mendengar apa yang diucapkan Kanae padanya.
"Temuilah gadis itu. Aku tahu kau menginginkannya."
***
Keheningan masih meliputi dua sejoli yang tampak tengah duduk berdampingan. Sang gadis hanya diam sejak tadi. Sementara lelaki di sebelahnya juga melakukan hal yang sama. Masing-masing dari mereka memikirkan tentang suatu hal yang tentunya tidak sama.
Angin musim semi berhembus secara perlahan. Menyatukan rasa dingin ke permukaan epidermisnya yang hanya dibalut seragam sekolah. Sekaligus membuat suasana menjadi lebih hening. Bahkan, deru napas mereka bisa terdengar walau samar.
"Apakah ada hal yang ingin kau jelaskan padaku?" Tanpa menatap lawan bicaranya, gadis itu membuka suara. Tatapannya yang kosong masih tertuju ke arah kolam ikan yang berada beberapa meter di depan mereka.
Di sampingnya, Sanemi melirik sekilas ke arah (Y/n). Menatap side view dari gadis itu. Tampak ayu di matanya. Namun, ia menyangkalnya tepat setelah pemikiran seperti itu muncul.
Ia menghela napas panjang kemudian menghembuskannya. Berucap jujur adalah hal yang paling sulit untuk ia lakukan. Sanemi bahkan lebih memilih untuk menghabisi para murid berandalan di sekolahnya ketimbang berkata jujur.
Namun, tekadnya sudah bulat. Ia tidak ingin mundur. Lebih tepatnya, Sanemi tidak ingin jika (Y/n)-lah yang lebih dulu mengatakan hal itu padanya. Itu pun jika (Y/n) masih mengingatnya meskipun sembilan tahun telah berlalu. Yang pasti, lelaki itu tidak akan menghentikan niatnya yang sejak tadi ingin dilakukan olehnya.
"(Y/n)."
Yang dipanggil pun akhirnya mengalihkan tatapannya dari kolam ikan beberapa meter di depan mereka. Tatapannya itu tertuju pada Sanemi di sebelahnya.
"Aku masih mengingat janji yang aku katakan di hari itu."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
END ━━ # . 'When Sakura Blooms in Spring ✧ Shinazugawa Sanemi
FanfictionSeason Series #4 - Shinazugawa Sanemi Berawal dari sebuah janji di musim semi. Kalimat yang terucapkan begitu saja dari mulutnya. Membuat kehidupan seorang gadis bernama (F/n) (Y/n) itu berubah drastis, seratus delapan puluh derajat. Ketika seorang...