Matahari sudah tergelincir ke arah barat saat mobil memasuki kawasan kota Gombong, tapi Pak Alex tak berhenti. Mobil terus melaju membelah kerumunan kendaraan di jalan ke sebuah hotel cukup dengan fasilitas terbaik yang telah dipersiapkan oleh orang suruhan Opa sejak pagi.
Terlalu mewah bila orang seperti diriku yang menempati. Akan tetapi, yang namanya rejeki tak boleh ditolak.
Begitu masuk ke kamar yang berdampingan dengan Dirgantara, kasur empuk seperti bernyawa. Memanggil-manggil untuk merebahkan diri sejenak setelah beberapa jam melakukan perjalanan.
Aku gegas mengambil wudu sekaligus buang air kecil. Baru masuk mata langsung memicing. Huh, kamar mandi saja sebesar kamarku di rumah. Belum lagi kemewahannya, bisa juling aku.
Benar-benar enak jadi orang kaya. Duit bicara, semua ada. Beda sama orang tak punya. Semua harus dipikir dulu. Jangankan menginap di hotel mau beli cilok saja harus pikir sepuluh kali.
Ngomong-ngomong soal cilok, aku jadi ingat Emak. Pastilah sudah menunggu kabar dariku sejak tadi. Buru-buru kubuka tas selempang dan mencari kontak Emak. Cukup lama menunggu sampai suara cemprengnya menusuk telinga.
"Lama bener teleponnya. Udah sampai mana, Mi?"
"Assalamualaikum, Mak."
"Eh iya, lupa lupita. Waalaikumsalam. Udah sampai mana kamu?"
"Udah di hotel, Mak. Maaf tadi gak ngabar-ngabarin. Selama di jalan gak pegang hape, soalnya kata abang harus hindarin yang namanya megang alat elektronik, entar mual."
"Oh, syukur, deh, kalau udah sampai. Ingat, jangan nyusahin Bu Tara. Jagain semua barangnya biar gak kecopetan. Apalagi ketinggalan. Kamu udah gede, harus pinter jaga diri. Jangan campur sama lawan jenis di satu kamar, kecuali darurat dan gak ada orang lain di situ."
"Iya, Mak."
"Ya udah, emak tutup dulu teleponnya. Mau masak buat makan malem."
"Mau masak apa?"
"Ya, gak tahu. Emak belum buka kulkas."
"Iya, deh. Emak jaga kesehatan, ya?"
"Iya, assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Badan terasa lengket sekali. Sebaiknya aku membersihkan diri dulu. Setelah itu istirahat sejenak. Hari sudah senja. Seumur-umur hidup baru kali ini melewati malam di tempat orang. Di tempat mewah pula. Mungkin ini yang namanya rezeki disangka-sangka.
Waktu masuk ke dalam kamar mandi, baru sadar tak ada bak mandi dengan gayung. Adanya shower sama bathtub doang. Spontan tangan ini mengusap jidat yang berminyak. Bagaimana cara menggunakan ini semua?
Betapa menjengkelkannya kamar mandi tanpa gayung dan bak. Syukur-syukur ada ember, lah, ini hanya tersedia dua pilihan saja. Kalau tidak berendam, ya, berdiri di bawah pancuran.
Aku langsung keluar lagi dengan isi otak menguap setengah. Kembali kuambil ponsel dan mencari tutorial mandi pakai bathtub. Terlihat cukup ribet. Mandi pakai gayung tinggal guyur-guyur.
Mungkin nanti malam aku harus menyarankan ke resepsionis supaya menyediakan gayung dan ember. Kalau-kalau ada lagi yang menginap dan kaget dengan fasilitas begini sudah ada cara mengantisipasi.
"Ck, mending mandi pakai shower aja, lah. Timbang mandi doang ruwetnya minta ampun," omelku seraya kembali masuk ke kamar mandi.
Usai membersihkan diri aku rebahan sebentar menghabiskan waktu. Otot-otot merenggang rasanya kembali merenggang setelah delapan jam kaku. Gerak ke kiri dan kanan, tulang-tulang bergemerutuk riang. Ah, nyamannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dirgantara [Tamat]
Fiksi RemajaCatatan dari Mikhaela untuk Dirgantara Sengaja kutulis ini agar orang-orang tahu bagaimana sulitnya menjadi kita, terutama kamu. Cerita ini juga akan menjadi penebus rinduku yang menggebu-gebu. Apalagi sejak hari itu, kita tidak pernah bertemu lagi...