Episode tujuh

400 39 1
                                    

Rumah Pak Hasan

Selesai asar, aku dan Mimi bergerak menuju rumah Lia. Tidak sulit menemukan rumah Lia, karena di ujung komplek hanya rumah Lia satu-satunya yang paling besar dan memiliki lantai dua.

Sekitar lima meter, Aku melihat Lia sudah melambaikan tangan. Dia semringah menyambut kedatangan kami berdua. Dan kecewa karena yang datang hanya Aku dan Mimi.

"Cuma berdua?" Tanya Lia tak percaya.

"Iya, kak. Yang lain mungkin sibuk." Jawab Mimi.

Lia mencebik. "Ya udah, yuk, masuk! Kita ketemu sama Mama dan Papaku dulu." Lia menuntun kami ke dalam rumahnya yang luasnya melebihi luas rumahku. Bahkan teras rumahnya saja hampir sama luasnya dengan ruang tamu dan ruang keluargaku.

Setelah mengucap salam, aku dan Mimi disambut Mama Lia yang datang dari arah belakang. Mama Lia pribadi yang hangat. Tapi berbeda dengan Papa Lia. Aku melihat tatapan intimidasi dari mata beliau. Seakan tidak suka dengan kedatangan kami. Setelah cukup berbasa-basi, Lia mengajak kami ke rumah pak Hasan. Ternyata di belakang rumahku yang dimaksud Lia itu tidak persis di belakang rumah Lia. Tapi butuh berjalan kaki sekitar tiga puluh meter lagi. Dan jalan yang ditempuh juga sedikit berlumpur. Sungguh miris dan membuat ujung gamisku kotor.

Tak ada yang bicara. Aku sibuk dengan pikiranku sendiri. Bahkan Mimi berulang kali melantunkan istighfar setiap jalan yang dilewati mengotori sendal yang dia pakai.

"Itu rumahnya!" Tunjuk Lia. Tak susah mengetahui rumah Pak Hasan. Hanya itu satu-satunya rumah yang ada di sekitar sini. Rumah pak Hasan dikerubungi oleh kebun pisang yang sudah tidak terurus. Kebanyakan pisangnya sudah dipanen hingga menyisakan batangnya saja. Lalu ada juga pohon singkong yang tertata rapi tersusun tak jauh dari kebun pisang tadi. Bisa dipastikan kalau pohon singkong di tanam oleh Pak Hasan.

Kami berjalan menghampiri rumah yang sungguh tidak layak dikatakan rumah itu. Aku dan Mimi saling tatap. Kemana saja Aku selama ini, sampai tidak tahu ada tetangga yang kondisi rumahnya memprihatinkan seperti ini? Rumah itu tidak bisa dikatakan rumah karena tidak ada sekat-sekat seperti rumah pada umumnya. Bahkan dinding yang seharusnya menutupi agar tidak terlihat malah bolong dimana-mana. Tiang-tiang penyangganya seperti sudah berulang kali dipermak hingga membuat tampilan rumah itu sedikit turun ke bawah. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana kalau seandainya terjadi gempa.

Hanya ada anak perempuan dengan pakaian lusuh sedang mengupas ubi di depan rumah. Rambutnya kusut. Terlihat kurus dan tidak bermaya. Tapi satu hal yang pasti, begitu melihat kami dia tersenyum dan melepaskan ubi di tangannya.

"Assalamualaikum..." Aku memberi salam.

"Waalaikumsalam." Jawabnya.

"Bapak ada?" Tanyaku, lembut, berjalan menghampirinya.

"Bapak sedang keluar." Jawab anak perempuan itu. Aku mengangguk.

"Kalau boleh tahu, nama adik siapa ya?" Tanyaku.

"Santi, kak."

"Oke, sekarang selain Santi, siapa yang ada di rumah?"

"Kak Mira."

"Bisa tolong panggilkan?" Tak perlu basa-basi, Santi bergegas masuk ke dalam. Hanya lima menit, perempuan yang bernama Mira sudah ada di hadapan kami. Dengan tampilan yang tidak jauh beda dari Santi. Hanya tubuhnya yang lebih jangkung dari Santi. Selain itu, mereka sama-sama lusuh. Aku menatap mereka lama.

KITA ISTIMEWA DENGAN CARANYA MASING-MASING ( Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang