-00-

34 4 0
                                    

×××

Matahari tenggelam menuju peraduannya. Mata indah itu terpejam merasakan hembusan angin sore yang menerbangkan rambut pendek sebahunya. Lima belas menit berlalu dan dia hanya berdiri dan menikmati bentangan bendungan indah yang airnya berubah merah senja di atas sebuah jembatan kayu besar penghubung antara dua kota besar pula.

Senja? Gadis ini teramat membencinya. Ia benci ketika menghadapi kenyataan bahwa sampai senja kapanpun dia akan selalu dibohongi berkali kali oleh orang yang sama. Hampir setiap senja ia datang ke tempat ini dengan satu harapan yang sama meski ia tahu itu akan sia sia pada akhirnya. Tapi, bukankah hakikatnya manusia itu makhluk keras kepala yang tak akan percaya tanpa dicoba?

"Dilihat dari ramalan cuaca, akan turun hujan pada pukul setengah tujuh. Dan, lihatlah gadis bodoh ini! Ck, baju apaan ini?"

Tanpa menoleh ia sudah bisa menebak siapa pria pemilik suara berat namun cerewet di sampingnya. Siapa lagi kalau bukan Mahardhika Karya Agung sang penakluk hatinya selama hampir satu tahun.

Dengan cekatan, pria satu tingkat di atasnya itu membuka jaket kulitnya lalu memakaikannya di badan mungil Dea yang hanya memakai kaus oversize putih dengan rok pink se lutut.

"Kak.. ntar lu di–"

"Lu mau sakit atau mau sekalian mati? Lu kira gua gak tau lu gak minum obat pagi ini? Gua tau lu bego tapi jangan sampe situ lah bego nya."

Gadis itu bungkam. Hatinya menghangat mendapat perlakuan manis dan ungkapan kehkawatiran dari Dika.

Mata coklat nya menatap obsidian setenang lautan milik Dika. Sangat jelas ada rasa khawatir di sana. Ia tersenyum kecil lalu menggenggam erat tangan besar prianya.

"Maaf kak. Gua hanya capek."

Sebelah tangan Dika yang bebas membelai surai legam gadis mungilnya. Senyum hangatnya begitu tulus tercetak membuat Dea terus jatuh cinta pada sensasi kehangatan senyuman seorang Mahardhika Karya Agung.

"Gua tau lo capek De. Tapi, lu harus kuat dan mau usaha. Bukan malah terus terusan kabur dari usaha lo sendiri. Gua se khawatir itu pas mama lo telepon katanya lagi lagi beliau nemu obat lo di tong sampah kamar lu."

Gadis itu menunduk dalam. Pria ini memang benar, ia membuang obat mahal itu entah ke berapa kalinya dalam bulan ini. Ia hanya tak mau terus ketergantungan obat obatan yang menurutnya tidak membantu banyak.

"Gua minta maaf kak. Nanti nanti gua makan deh."

Dea menunduk dalam dengan sebuah perasaan bersalah.

"Bukan ke gua De. Tapi ke diri lo. Lo gak kasian sama nyokap lo apa? Dia kerja buat beli obat lo yang gua tau gak murah dan lo malah buang ke tong sampah? Gua tau lo cukup pinter buat mikir dimana letak kesalahan lo."

Dika adalah pria dewasa yang bisa membuatnya jatuh hati setiap saat. Entah bagaimana gadis sepertinya bisa mendapatkan seorang pria tampan berpikiran dewasa dan berperilaku dewasa sepertinya.

"Iya kak. Maaf"

"Dah jangan maaf sama gua. Oh iya nih.." Dengan cekatan entah dari mana pria itu menyodorkan segelas kopi hangat pada gadis itu.

"Itu vanila latte. Gua tau lu masih kedinginan kan?"

Gadis itu tersenyum lalu menerima uluran vanilla latte hangat dari tangan besar Dika. Tangan kirinya ditarik menuju sebuah bangku oleh pria jangkung itu. Mendudukkan diri di atas sebuah kursi taman yang menatap langsung pada hamparan bendungan yang mulai kembali berubah warna.

Dika duduk dengan Dea di depannya. Pemandangan indah bendungan menjelang malam tidak lah se candu raut wajah tenang gadisnya. Sesekali mereka menyesap kopi dalam kesunyian.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 24, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Suku-BangsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang