9 ; Tinggal menilas (end)

25 22 4
                                    

Tentang semua hal di dunia ini, tidak ada yang tahu. Bagaimana kita lahir, sampai mati. Semua sudah tersusun rapi dirancang oleh Tuhan. Kita hanya mengikuti apa yang Tuhan arahkan, selebihnya kita hanya menikmati. Apapun itu, kita dipaksa untuk mau menerima. Tidak memandang sepahit apa keadaannya. Begitu Candra berpikir.

Berjalan tiga hari setelah kepergian yang sesungguhnya oleh Shamara. Tidak ada lagi perempuan itu. Hanya tinggal menilas kenangan. Candra menyesal bukan main. Perihal perasaan dia dan kenangan yang tercipta diantara mereka tak begitu indah.

Ingin rasanya Candra turut hilang di bawa mati oleh Shamara. Katanya, Jika bahagia tidak abadi maka sedih juga tidak selamanya. Candra percaya akan hal itu. Namun perihal kehilangan Shamara ia tidak menduga-duga. Terjadi begitu saja, seperti angin yang datang di sore hari menerbangkan daun jatuh dari ranting.

Tiga kali sudah Candra datang di stasiun sejak kepergian Shamara. Berdiri dengan mawar putih di tangannya. Seperti ingin melamar seseorang. Sampai akhirnya ia lempar mawar itu dan hancur terlindas kereta.

Hari itu hampir sama dengan hari ini. Langit tak berwarna merata. Peron yang tak begitu ramai. Yang membedakan hanya Shamara tak lagi di sisinya. Candra berdiri menatap gamang kelopak mawar yang hancur. Ayolah siapa yang kuat dengan keadaan seperti ini. Kehilangan seseorang yang belum sempat ia sebut miliknya.

Ia sadar selama tiga hari ini, ia hanya ingin mengingat lebih dalam bagaimana senyum indah Shamara. Berharap ia akan pulang kembali kepadanya. Sempat berpikir jika ia keras kepala tidak mengijinkan Shamara pergi, mungkin wanitanya masih ada di sini. Namun apa daya, takdir berjalan lain.

Katanya lagi, yang pergi biarkan pergi, yang tinggal sudah sepatutnya di jaga. Dengan itu Candra genggam erat ingatannya tentang Shamara. Ia akan jaga baik-baik kenangan Shamara. Entah akan hilang sedikit demi sedikit oleh waktu.

Untuk itu demi shamara, Candra ingin mengikhlaskannya.

"Sha, aku ikhlas. Jangan lupa aku cinta kamu. Tunggu aku."

Dibawah guyuran hujan sore hari ini. Candra menangis persis hari itu. Kereta yang katanya hanya memudahkan sejauh Jakarta. Berakhir membawa Shamara pergi jauh hingga tak pulang kepada Candra lagi.

Rintik-rintik hujan yang mengalir tak akan menghapus jejak kepergian Shamara. Cukup dalam luka yang di torehkan hingga tak sanggup lagi ia tahan, tangisnya pecah.

Candra mengerti sekarang. Tuhan sudah sangat adil. Mengajarkan bahwa penyesalan itu datangnya di paling akhir. Memberi pelajaran yang sangat menyakitkan namun berharga. Memahami betapa lelahnya Shamara dahulu berjuang.

Tidak ada tangis juga tawa yang bertahun-tahun tak memudar. Semua akan hilang, hanya menunggu waktu yang menunjukan. Dengan begitu, Candra memutuskan menunggu waktu ia menghilang untuk bersama Shamara. menunggu waktu itu, ia akan jalani hidup pahit tanpa shamara disisinya.

Dengan cerita hidupnya, Candra tahu. Bahwa rasa sesal tidak akan tertoreh, jika dirinya lebih dahulu sadar. Menyadari keberadaan Shamara. Untuk itu, ia berserah kepada Tuhan untuk kedepannya.


•♪•


Dari awal cerita ini hanya mengisahkan cinta bak lagu sendu yang di putar. Berputar detik demi detik hingga berakhir. Berakhir yang hanya menyediakan sendu saja.

Hidup hanya perihal menyambut dan melepas. Menyambut kedatangan dan melepas kehilangan.

Jika sebuah rasa senang tak ada yang abadi, begitu pula rasa sedih. Jika kemalangan dengan senang hati singgah, tidak apa-apa nikmati saja. Hingga berakhir hilang karna bosan.

Tidak ada yang istimewa dari rangkaian kata ini. Saya harap kita bisa bercerita di sini.

Dengan ini,
Tentang rasa sesal, tamat.

tertanda,
bentalapilu.

Perihal Rasa SesalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang