2 ; Shamaratih dan senyumnya

36 30 8
                                    

Bulan Desember, penghujung tahun yang sangat- entahlah Candra tidak tahu. Hujan dan Bunga Flamboyan menjadi khas bulan Desember, setahu Candra seperti itu. Kalau Desember dua tahun lalu, dia harus menyiapkan ulang tahun Laras, mantan kekasihnya. Sekarang tidak, ia tidak perlu membuang-buang uang untuk perempuan. Candra dulu tertarik dengan perempuan, namun tidak untuk sekarang. Dia cukup trauma dengan seorang perempuan, karena Laras kepergok selingkuh saat Candra sudah repot-repot menyiapkan ulang tahunnya. Sakit mungkin, tapi Candra bersyukur sudah tak lagi dengan perempuan itu.

Ini bukan lagi tentang Laras, mantan kekasihnya. Ini tentang perempuan dengan teguh mencintai Candra. Entah itu kutukan atau apa. Hampir satu tahun Candra sering melihat senyum Shamara. Iya, Shamara hampir tidak lupa menunjukan senyumnya saat bertemu Candra. Wajah cantik dengan senyum manis, Candra akui. Namun sulit bagi Candra membuka hati lagi.

Tak habis pikir Candra, kenapa Shamara rela menghabiskan satu tahunnya hanya untuk dia. Rela memasak setiap pagi hanya untuk diberikan kepadanya. Shamara cantik, pasti pria lain tidak akan menolak jika dia melakukan nya untuk pria lain. Candra pernah menolak Shamara terang-terangan. Candra terkejut, bukan berhenti, Shamara malah menjadi rutin memberinya bekal makan.

Ia sadar betul jika Shamara mengamatinya dalam diam. Candra sadar jika Shamara anak fakultas kedokteran itu mempunyai perasaan untuknya. Tapi sekali lagi, ia sulit membuka hati. Candra berharap jika Tuhan tidak membiarkannya membuka hati, tolong Tuhan jangan biarkan Shamara jatuh cinta semakin dalam.

Dan sekarang ia dapat melihat jelas. Shamara berdiri dengan Renjuna, entah berbincang apa. Tanpa berhenti berjalan, Candra melihat Renjuna pergi. Menyisakan Shamara yang berdiri dengan memainkan kakinya.

"Makasih.", Ucap Candra tanpa berhenti terlebih dahulu. Sikap Candra selalu seperti itu, namun Shamara masih tersenyum jelas.

"Besok lagi ya, Can. Hati-hati.", Jelas sekali teriakan itu. Suara Shamara memang halus, tapi jika teriak, cukup berhasil membuat tutup telinga orang yang mendengarnya.

"Ga bosan-bosannya.", Candra tak pernah menanggapi kata-kata Shamara. Berbicara santai pun jika itu keadaan mendesak. Seperti menanyakan hal yang disampaikan dosen, atau hal penting lainnya.

Awan mendung tadi siang menjadi lebih pekat. Gerimis kecil berhasil turun dengan suka rela. Jujur Candra suka hujan, namun tidak suka basah karena hujan. Ia bergegas menuju parkiran. Ingin mengumpat kala ia lupa membawa jas hujan. Ditambah gerimis berubah menjadi hujan yang sedikit lebat. Akhirnya ia berpasrah menunggu hujan mereda.

Ngomong-ngomong tentang bekal Shamara, apa ia makannya? Iya, Candra makan bahkan menghabiskannya seorang diri. Masakannya enak mana bisa Candra menolak makanan enak. Terlebih saat ia lapar. Jika Candra juri lomba masak, dan Shamara peserta lomba. Candra memilih Shamara pemenangnya. Emang enak kok masakannya. Jika ada yang bertanya, masakan mama atau Shamara? Jelas Candra memilih keduanya. Tidak ada alasan, untuk mengatakan masakan mereka berdua tidak enak.

"Can, belum pulang?", Candra tersadar dari lamunannya. Ia hafal itu suara siapa. Bagaimana tidak hafal, kalau ia mendengarnya setiap hari. Iya, suara Shamara.

"Hmm.", Candra hanya mendehem sebagai jawaban. Udara dingin berhasil tercipta oleh hujan. Menerobos masuk dari celah-celah benang kemeja Candra. Candra enggan menatap Shamara yang berdiri dengan netra kearah hujan. Entah, gerak-gerik apa yang dilakukan Shamara.

"Ini jaket milikku, dipake ya Can. Aku takut nanti kamu masuk angin.", Shamara mengetahui jika Candra sedang kedinginan. Terlihat dari telapak tangan yang ia saling gesekan. Setelah mantelnya di tangan Candra, Shamara meninggalkan Candra, tanpa kata pamit. Berlari kecil menembus hujan. Shamara ingin bertemu Irma, lebih tepatnya nebeng ke kos-kosannya. Gapapa, Shamara memang anak hemat jika bukan untuk Candra.

Perihal Rasa SesalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang