Tak Sengaja 1

21 0 0
                                    

Aku baru memasuki parkiran kampus saat segerombolan mahluk hidup meneriakiku untuk segera bergegas. Memilih posisi parkir paling strategis–supaya tidak terhimpit dari belakang dan susah keluar–dan mengunci ganda motor matic yang kupelihara sejak awal SMA.

Sesudahnya aku berlari kecil melewati beberapa mahasiswa yang tidak kukenal dan mengganggu sebentar yang kukenal. Sudah cukup hebat aku bisa mengenal nama dan wajah hampir semua dari 233 mahasiswa jurusanku.

Untuk jurusan lain urusan belakanglah, kapasitas daya ingatku belum ditambah. Toh sekarang baru 4 bulan aku menjadi mahasiswa baru.

"Gimana rapatnya?" Bisikku pada Puput begitu duduk di sampingnya.

"Baru mulai, dengerin aja," ujar Puput.

Aku diam setelahnya dan mendengarkan petuah senior di tengah lingkaran yang terbentuk untuk rapat kali ini. Sebenarnya tidak begitu kudengar, toh nanti pas hari-h orientasi akan ada pengarahan lagi.

Ya benar, ini rapat angkatan dari senior jurusan kami mengenai jadwal orientasi untuk kami. Rencananya 3 hari 2 malam.

Tetapi mataku lebih memilih fokus pada dua cowok yang duduk di depanku, duo gondrong yang rambut gondrongnya sudah mencapai leher. Aku suka melihat gondrong mereka berkilau cantik di bawah matahari.

Bahkan rambutku jauh lebih ikal dari itu. Huhu

Dan tepuk tangan menjadi penutup rapat sore itu, sementara senior senior pergi, kami memilih berkumpul mengisi waktu sebelum kelas siang.

Aku masih menatap Diwan dan Agi yang bercengkrama di bawah pohon bersama teman-teman lainnya. Sangat gemas dengan rambut mereka.

"Lea, sini!"

Aku menatap teman dekatku, Nindi yang memanggil tadi. Ia bersama Diwan dan Agi dan teman-teman lainnya menoleh padaku.

Aku tersenyum dan mendekati mereka setelah menarik Puput untuk mendekat. Aku memilih duduk di bangku panjang yang kosong di tepi, berhadapan dengan Agi, sementara Diwan disampingku.

"Rambut kalian kok cantik banget sih?" Gemasku pada Agi, lalu menatap Diwan bergantian.

"Dirawatlah makanya bisa gini," celetuk Diwan. "Pake sampo, pake kondisioner, pake vitamin. Ya gini hasilnya."

"Wedew, kondisioner? Punya aja gak," keluhku.

Yah memang, aku belum menemukan kondisioner yang cocok dengan rambutku, bukannya bagus, rambut frizzy semakin kerontang karenanya.

Dan teman-teman lain ikut membahas terkait tips dan trik Diwan maupun Agi dalam mengurus rambut.

Wajar sih rambut mereka bagus, perawatannya sesuai. Bukan cuma modal sampo saja sepertiku.

Sebuah ide terlintas kala anak rambut Agi mengganggunya.

"Gi, aku kepang ya?" Pintaku.

"Hah? Adoh, jangan deh, ya," sanggahnya lembut.

Sedari aku kenal Agi, belum pernah kudengar dia berkata kasar kepada perempuan manapun.

"Ayo dong, pengen," aku merengek dengan menggoyangkan tangannya yang di atas meja. Tanpa sadar aku malah menggenggam kedua tangannya.

"Ya ya ya?"

"Terserah terserah," Agi pasrah yang kuangguki girang.

Aku berdiri dan segera mengepang rambutnya. Benar-benar rambut sehat, halus dan kuat.

Anak-anak lain ikut heboh menyaksikan aksiku, bahkan Nindi iku mengepang rambut Diwan. Ada yang menyodorkan karet bekas somay ataupun ikat rambut kecilnya pada kami.

"Kalau rambutku dipegang gini bikin ngantuk lah," celetuk Agi sambil memejamkan matanya dengan menopang dagu.

"Iya kan Gi, aku juga hha," Diwan menimpali setuju.

Aku dan Nindi masa bodoh, bahkan kedua korban kami ini sudah menidurkan kepalanya di atas meja.

Setelah selesai 4 kepangan dari depan ke belakang di kepala Agi, aku tertawa puas. Dan kami setuju, wajah Agi yang dasarnya tampan terlihat imut sekaligus cantik di saat yang bersamaan.

Agi hanya menanggapi candaan kami masih dengan kepala ditidurkan.

"Ngantuk, Gi?" Tanyaku iseng dengan niat jahil.

"Iya, gara-gara kau nih," ia berusaha ketus tapi tidak sesuai dengan lembut bicaranya.

"Uluu, bobo ya bobo, jangan bangun lagi," ejekku sambil mengusap anak rambut di keningnya yang menengadah ke atas.

"Awas nanti aku ketiduran gak jadi kelas, kau kusalahin!" Ujar Agi lagi.

Aku tertawa saja sambil memuji betapa cantiknya Diwan dengan kepang 2-nya. Teman teman lain sibuk memotret lelucon kami, terkhususnya Diwan.

Sementara tanganku tidak beranjak dari kening Agi. Tanpa aku ingat kapan usapan itu sudah menjadi elusan di anak rambut dahinya.

Aku tidak pernah tau, dari situlah semua bermula.

***

Tak SengajaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang