Prolog

71 13 19
                                    

“Harus hari ini banget berangkat nya kak?” Javiar bertanya setelah mengemas seluruh pakaian yang akan dibawanya.

“Iya, kalau nunggu besok-besok, kita nggak tau pesawatnya bisa terbang atau enggak, kamu liat aja sekarang aja hujan terus, kalau kita tunda lagi, yang ada kita di sini selamanya.” Agnes menanggapi sembari menggulung kabel charger miliknya.

“Ya nggak papa dong, itung-itung Viar bisa ketemuan sama kembaran Viar, Jeongwoo EXO.” Javiar terkekeh.

“Eh, Jeongwoo udah ganti group apa gimana, bukannya kemaren masih di Twice?” Agnes menghentikan aktivitasnya, menatap sang adik dengan raut wajah bingung.

Javiar melempar boneka beruang yang ada di sampingnya hingga tepat mengenai wajah Agnes. “Kenapa bercandanya di seriusin sih?” lantas Agnes tertawa.

Ia duduk di samping Javiar, memeluk adiknya yang hanya berjarak dua tahun di bawahnya itu, tetapi sudah lebih tinggi darinya.

Sebulan yang lalu, Agnes mengajak Javiar untuk berlibur ke Korea, sekalian untuk melihat kampus mana yang sekiranya ingin Javiar masuki, karena sebelumnya Javiar mengatakan ingin berkuliah di Korea.

“Lepasin nggak? Sesek tau.” Javiar meronta meminta dilepaskan.

“Aduh, Javiar wangi banget sih, tadi mandi pake sabun baby yang kakak beliin ya?” Agnes semakin mengeratkan pelukannya sembari mencium leher Javiar, sehingga anak itu menggeliat karena geli.

Please kak, aku udah gede, udah kelas 2 SMA, jangan buat aku kayak bayi gini.” Javiar mendorong wajah Agnes menjauh.
Lagi-lagi, Agnes hanya tertawa mendengar ocehan sang adik.

“Yuk, berangkat sekarang. Entar kita ketinggalan pesawat.”

Mereka beranjak dari duduk, berjalan menggeret koper dan meninggalkan hotel tempat mereka menginap.

“Selanjutnya, kita mau liburan kemana lagi?” tanya Agnes saat mereka berdua berada di dalam taxi menuju bandara. Javiar yang duduk di sebelah Agnes menoleh, menatap wajah sang kakak yang sangat antusias memilih-milih negara mana yang akan mereka kunjungi kelak.

“Ke Mekah aja sih kak, kalau menurut aku, sekalian umroh, ajak Ibun sama Abah.” Agnes melirik Javiar, lantas tersenyum mengangguk.

“Ide bagus, itu artinya, kakak harus kerja keras supaya kita bisa umroh bareng.” Mereka berdua bertos ria di dalam taxi, sedangkan supir taxi yang tidak mengerti dengan apa yang dua saudara itu bicarakan hanya menyimak sembari terkekeh.

“Assalamualaikum Bun.”

“Waalaikumsalam ganteng.”

“Bun, Viar udah sering bilang ke Ibun kalau jangan panggil Viar ganteng, geli tau,” terdengar suara kekehan dari seberang sana. Sedangkan Agnes yang berdiri di sebelah Javiar justru semakin menggoda Javiar dengan sebutan ‘adikku yang ganteng’ sehingga ia mendapatkan pukulan dari adiknya itu.

“Udah berangkat? Sebentar lagi jam 6 sore kan di sana?” Bunda bertanya lagi.

“Pesawatnya delay bun, di sini tadi hujan deras, tapi sekarang mataharinya muncul lagi.” Asmita membuang napasnya, beristigfar dalam hati.

“Hati-hati ya sayang, kalau pesawatnya udah berangkat bilang sama Ibun, dan kalau udah sampai juga bilang ya?” Javiar mengangguk meskipun ia tahu kalau Ibun tidak bisa melihatnya.

“Ibun, nanti kalau Viar dateng buatin bubur sum-sum pakai mutiara ya, pokoknya harus buatan Ibun, nggak boleh beli ke mang Idin,” pesan Javiar.

“Siap, kak Agnes mau dibuatin apa?”

“Kak, Ibun nanya, kalau sampai rumah mau dibuatin apa?” Javiar beralih bertanya pada Agnes.

“Kue serabi aja sih, kakak lagi pengen makan kue serabi.”

“Denger nggak bun?” tanya Javiar memastikan.

“Nah, kalau gitu Ibun langsung berangkat ke pasar buat beli bahan-bahannya. Viar jangan jauh-jauh dari kakak ya, di gandeng kakaknya.”

Agnes merebut ponsel Javiar. “Bun, kakak udah gede, si Viar tuh yang masih kecil, harusnya Agnes yang gandeng Viar, bukan Viar yang gandeng Agnes.”

Asmita tertawa mendengar ocehan Agnes. “Iya iya, terserah kalian aja. Inget ya kalau udah sampai bilang Ibun, biar nanti di jemput ke bandara. Ibun tutup dulu teleponnya, Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam Ibun.”

Setelah telepon ditutup, terdengar pengumuman yang mengatakan bahwa pesawat menuju Indonesia akan segera berangkat. Membuat Agnes dan Javiar menundukkan kepala dan berdoa agar diberi keselamatan selama berada di perjalanan.

“Kak Agnes,” panggil Javiar tiba-tiba.

“Hmm?”

Javiar menatap wajah Agnes lamat, kemudian tiba-tiba memeluknya. “Kak Agnes tau kan, kalau Viar sayang banget sama kakak? Viar juga sayang banget sama Abah sama Ibun?”

Agnes mengangkat alisnya tak mengerti dengan pertanyaan adiknya. “Ngomong apa sih?”

“Nah, nggak tau kan, makanya itu Viar terlahir ganteng.” Javiar melepaskan pelukannya dari Agnes, kemudian berlari meninggalkan Agnes menuju pintu kabin.

“Anak aneh. Viar, awas ya kamu.”

To be continued

Teume ayo merapat, kasih kesan kalian terhadap cerita ini ya...

Dan kalian tau cerita ini dari mana

Terima kasih

Orange Flight (End) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang