Tiga

56 7 0
                                    

‘Proses pengangkatan bangkai pesawat Korean Air di Pulau Jindo Korea Selatan masih berlangsung. Sampai sekarang, tim SAR masih berusaha mencari letak-letak bangkai pesawat tersebut di dasar laut. Pesawat ini sendiri seperti yang sudah diberitakan sebelumnya, mengalami turbulensi saat berada di udara sehingga pilot terpaksa mendarat di laut, semua penumpang berhasil selamat, namun ada satu korban yang tewas akibat belum sempat keluar saat pesawat meledak.’ Agnes memerhatikan berita tersebut, ia ingat bagaimana ia berjuang keluar dari pesawat itu saat berada di atas air.

“Viar, untung aja waktu itu kita berhasil keluar dengan selamat, kalau nggak bisa-bisa Ibun sama Abah ngadain tahlilan di rumah.” Sembari mengunyah kacang polong Javiar mengangguk membenarkan.

“Aku ingat banget waktu itu, banyak yang nangis ketakutan. Aku kayak pahlawan nggak sih kak, bantuin orang-orang keluar dari pesawat?” Agnes mengangguk.

“Waktu itu, kakak mikirnya mungkin kita bakalan mati, tapi sekali lagi kakak bersyukur karena Allah ngasi kita kesempatan sekali lagi buat hidup dan kumpul bareng keluarga.”

“Itu kejadiannya sekitar jam 6 kurang nggak sih kak? Waktu matahari mau tenggelam kan? Sunsetnya bagus banget waktu itu.” Agnes mengambil kacang polong dari stoples, memasukkannya ke dalam mulut.

“Seketika kakak inget lagu Orange nya Treasure. Kita sempat nonton Teu-day kan waktu itu?”

“Kak, lagu orange itu kan sedih ya, gimana ya perasaan keluarga korban waktu tau cuma dia sendiri yang nggak selamat? Aku ngebayangin itu sambil dengerin lagu orange, kayaknya banyak banget nggak sih yang pengen diungkapin sama dia, tapi matahari tiba-tiba pergi gitu aja tanpa pamit.”

Agnes masih mengunyah dan matanya kembali terfokus pada televisi. “Oneuldo orеnjiro muldeureoganeun neoreul yeojeonhi nan
Aswiwohamyeonseo jibe doragal geot gata
Naneun deo neowa hamkke hago sipeunde
 
Haega jyeodo gidarimyeon dasi tteudeusi
Naeildo bogopa
Nan seulpeohamyeonseo jibe doragal geot gata
Aswipge oneuldo noeuri boigi sijakaetda.” Agnes menyanyikan sepenggal lagu orange milik Treasure tersebut, Agnes bernyanyi sembari memejamkan matanya.

Asmita yang baru saja pulang melihat hal tersebut, ia tersenyum menatap Agnes. “Kak, ini obatnya, tadi Ibun liat obat kamu udah habis.” Ia meletakkan sebungkus obat di atas meja.

“Makasih bun.” Agnes meraih gelas kemudian membuka obat tersebut dan meminumnya.

Agnes beranjak menuju kamar dan langsung tertidur setelah meminum obatnya.

Asmita mengikuti Agnes ke kamar setelah itu menyelimutkan anaknya itu. “Kakak kangen sama dedek, iya?” Asmita mengelus rambut Agnes sayang. “Kamu bakalan nyanyiin lagu itu kalau kangen sama dedek.”

Asmita beranjak dari duduknya, ia beralih memasuki kamar yang lain. Pertama kali ia masuk, ia langsung disuguhi kondisi meja belajar yang berantakkan dengan sticky notes yang tertempel di setiap ujung layar monitor komputer. Tanpa terasa air matanya jatuh begitu saja. Asmita kembali keluar dengan menutup pelan pintu kamar tersebut.

~~~000~~~

Steven memasuki kelas dengan langkah malas, hari ini ada pelajaran matematika dan ia sama sekali tidak mengerjakan PR yang diberikan oleh Pak Argan, sebab ia tidak pernah suka dengan pelajaran tersebut. Oleh sebab itu, Steven memilih untuk berangkat sekolah lebih pagi dan berniat mencontek tugas dari Dirga atau Adam.

Belum sempat ia masuk ke dalam kelas, Steven melihat Jaevan yang tengah duduk di dalam kelasnya sembari menangis. Steven yang kebingungan langsung menghampiri. “Bang Jae, lo ngapain di sini?” tanyanya.

Jaevan menghapus air matanya. “Steven, lo udah masuk sekolah?” Steven mengangguk.

“Udah seminggu bang.”

“Oh iya bang, lo kenapa nangis? Mana duduk di kursinya Javiar lagi.” Steven menunjuk kursi yang diduduki oleh Jaevan.

Jaevan berdiri, ia menatap Steven lekat. “Steven, gue tau ini tega banget, maafin kita-kita yang nggak ngasi tau lo soal ini. Tapi, lo tau kenapa Javiar nggak masuk sekolah?”

Sebulan yang lalu saat liburan, Steven memilih untuk berlibur ke Jepang, ia mengatakan bahwa merindukan kakek dan neneknya yang berada di sana. Namun, sebelum pulang ke Indonesia, Steven mendadak sakit yang mengharuskan dirinya untuk opname di rumah sakit selama beberapa minggu.

Steven menggeleng menanggapi pertanyaan Jaevan. “Gue udah seminggu nggak liat dia. Lo tau bang, dia punya janji sama gue bakalan ngasi oleh-oleh dari Korea, gue juga udah bawa tiap hari oleh-oleh buat dia dari Jepang.”

“Steven, arti pertemanan bagi lo apa? Dan menurut lo, Javiar di mata lo seperti apa?” Steven terkekeh.

“Bang, pertanyaan lo seolah-olah gue ama Javiar pasangan homo tau nggak?” Steven menaruh tasnya di atas meja. “Javiar itu teman terbaik gue, waktu pertama kali gue datang ke Indonesia, dia orang pertama yang nyambut gue dengan hangat, waktu itu gue nggak bisa bahasa Indonesia sama sekali, tapi Javiar tiap hari ngajarin gue ngomong pakai bahasa Indonesia. Dia bukan hanya sekedar teman buat gue, tapi juga udah kayak saudara.”

“Gue nggak bisa kehilangan dia bang, tiap hari gue chat dia, tapi nggak pernah dibalas, terakhir gue chat-chat an ama dia, waktu dia bilang bakalan berangkat dari Korea dan dia bilang sunset bagus banget di Pulau Jindo. Habis itu dia nggak pernah chat gue lagi, dia nggak bilang dia udah sampai atau belum. Tapi kemarin, waktu gue liat kak Agnes ada di sekolah, gue percaya kalau mereka sampai dengan selamat.”

Jaevan mengeluarkan setumpuk bunga lily berwarna putih dari dalam laci Javiar. Steven yang melihat hak tersebut sontak terkejut. Ia mengetahui arti bunga itu.

“Ini, maksudnya?” Steven meraih bunga tersebut.

“Kenapa di laci Javiar banyak bunga lily putih?”

Tadinya Steven ingin menebak, di kepalanya terdapat banyak dugaan-dugaan yang tak masuk akal, ia tidak ingin memercayai apa yang ia lihat sekarang.

“Bang.”

“Javiar,” suara Jaevan tercekat.

“Javiar udah nggak ada Steven, dia meninggal sebulan yang lalu, pesawatnya meledak dengan Viar yang ada di dalamnya. Dan chat terakhir lo ama dia itu, sebelum mereka berangkat.” Steven terduduk di kursi milik Awan, matanya menerawang ke arah Jaevan, berusaha tidak percaya.

“Kak Agnes mengalami gangguan halunisasi, dia selalu mikir kalau Javiar masih hidup, makanya waktu itu pas di kantin, dia ngobrol seolah-olah di sana ada Javiar.”

Air mata Steven sudah tidak bisa dibendung lagi. “Lo nggak boong kan bang? Javiar nggak mungkin udah nggak ada, cuma dia satu-satunya temen gue, gue nggak mau kehilangan dia.” Steven memukul kepalanya kuat, Jaevan dengan sigap menarik tangan Steven hingga ia berhenti memukuli kepalanya sendiri.

“Ikhlas Stev, kita semua juga nggak percaya, tapi ini udah kehendak yang di atas. Javiar nggak bisa lama sama kita di dunia ini.”

“Huaaaaaaaa.” Steven berteriak dengan keras. Dirga, Adam, dan Awan yang baru sampai di depan kelas masuk dengan cepat saat mendengar teriakan Steven. Mereka melihat ke arah meja Javiar yang kini sudah dipenuhi dengan bunga.

“Ikhlas Stev, kita tau ini berat. Javiar orang baik, dia akan ditempatkan di tempat yang baik pula.”

To be continued

Orange Flight (End) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang