|1|

91 15 1
                                    

Malam itu seharusnya terlalu dingin, tetapi ia sudah terbiasa.

Sanzu menutup sepasang matanya, terlalu lelah, terlalu muak, kalau boleh ingin mampus saja (tapi memangnya pendosa sepertinya bakal diakhiri begitu saja? Bermimpi. Tak mungkin, Tuhan tak bakal mengampuni). Dalam kegelapan gang sempit yang melingkupi, ia menyusupkan diri di antara sampah-sampah, berhimpitan dengan tikus sudah biasa, hanya makan angin sudah terlalu akrab, Sanzu sudah merasakan semua kejam di lidahnya.

Di tangan kanannya ada obat-obatan terlarang, baru saja dicuri, namun plastiknya sangat buruk, penuh debu, maklum saja obat murahan. Mana mau juga orang memberi plastik terlalu bagus untuk orang yang jelas-jelas tak memiliki sepeser uang pun, apalagi kepada orang yang jelas-jelas mencuri. Jari jemarinya memainkan obat-obatan, tampak bosan, tapi tampak ingin segera menelan, ingin segera bergabung dengan kesenangan tiada tara.

Melepas maskernya, ia melempar semua obat-obatan terlarang yang ia punya, menelan dosa, menelan hampa, menelan kesenangan yang bakal dihasilkan. Sanzu menelan pahitnya dunia, lidahnya mencoba manisnya zat adiktif yang merangsang saraf-saraf otaknya. Ia tertawa terbahak-bahak, memang sudah sinting, feromonnya membanjiri kemana-mana, tak peduli seseorang bakal terkena efek perbuatannya.

Bulan di atasnya terlalu bersinar, hampir membuatnya menyipitkan sepasang matanya. Sanzu mendecak, ada ketidak sukaan ketika kegelapan yang merangkulnya bakal diusir oleh cahaya bulan. Baginya, kegelapan itu rumahnya, satu-satunya yang ia anggap sebagai teman. Ia mencoba memasang maskernya, ketika sebuah rasa sakit mendadak terasa di pipinya.

Maskernya jatuh, menyapa daratan.

Obat-obatan yang akan ia telan termuntahkan.

Sanzu membeku. Pusing menyerang, dan tubuhnya reflek berusaha mengatur keseimbangan. Feromon tanpa henti keluar, membanjiri semua sudut-sudut gang tanpa melewatkan sedikitpun. Sepasang matanya berkedut, ia memandang sekitar, berusaha mencari-cari sosok yang mengganggu kesenangannya.

—dan ia menemukannya.

Pengganggu itu berdiri di antara senyapnya malam. Ada ketidak sukaan yang jelas berkilat-kilat di sepasang matanya yang terlapisi oleh kacamata. Wajahnya tertimpa cahaya bulan, nampak bersinar, berkebalikan sekali dengannya yang berdiri dilingkupi kegelapan. Helai-helai rambutnya yang nyentrik seperti es krim terasa sangat menarik atensi di antara gelapnya malam.

Sanzu merasa bahwa dia agak linglung—entah karena obat-obatan terlarangnya dihancurkan atau bagaimana—yang jelas kepalanya mendadak kosong sekarang. Ia menatap lamat-lamat pada sosok pengganggu di hadapannya, entah mengapa tak dapat melepas tatap barang sejenak. Atau barangkali, ia terpana oleh sosok yang tiba-tiba datang mengobrak-abrik dunianya.

"Jangan minum itu lagi."

Suara itu terlalu jelas, menampar keheningan yang menari-nari di gelapnya malam. Sinar bulan memercik, menyinari sepasang mata di hadapannya, tampak berkilauan. Telinga Sanzu berkedut, tapi ia tak dapat mengucap atau barangkali otaknya yang sudah kadaluarsa ini masih berusaha mencerna keadaan. Feromonnya tanpa sadar perlahan-lahan menghilang, menyusut, dan ia tak tahu mengapa (ia juga tak mengerti mengapa pihak lain sama sekali tak terpengaruh).

Seolah tak memperdulikan bahwa ia tak merespon, pengganggu itu kembali membuka mulutnya, membiarkan Sanzu mendengarnya dengan sangat jelas. "Ini Tsukimi, seharusnya kau menikmati bulan, bukannya sibuk dengan benda menjijikkan itu. Lebih baik kau makan dango ini, daripada mengonsumsi obat-obatan terlarang." Kemudian setelah mengatakan itu dengan datar, pengganggu itu merogoh kantong plastik yang ia bawa dan mengeluarkan buntelan putih yang dulu sekali Sanzu pernah lihat.

Aromanya menggunggah selera, meskipun ia masih mengawang di ketidak jelasan, perutnya yang sudah lama tak mengonsumsi makanan tak dapat berbohong. Pengganggu itu mendekat, menyerahkan buntelan putih itu langsung ke mulutnya, ketika ia sendiri masih bertanya-tanya.

"Seharusnya ini bagian kakakku, tapi akan kuberikan padamu."

Sanzu mengunyah perlahan, merasakan rasa asin bercampur manis yang asing meleleh di lidahnya. Ia memperhatikan, ketika kedua tangannya mendadak merasakan kehangatan. Aneh tapi entah kenapa ia tak ingin menepis, seolah-olah hal itu membuatnya nyaman. Dan Sanzu seolah dikendalikan, otaknya terobrak-abrik, seolah-olah dirinya telah digantikan jiwa lain.

"Tak punya rumah? Mau pulang bersama?"

Dan seolah-olah ia dirasuki, atau barangkali kewarasannya memang betulan sudah terkikis habis saat ini juga, Sanzu mengangguk. Pelan, tapi tak ada keraguan. Seolah-olah ia telah memikirkannya matang-matang, padahal mengangguk itu saja dia masih mengawang-ngawang di keanehan kepalanya.Tak ada sama sekali kesadaran.

Namun entah mengapa ia tak menyesalinya, karena selepas itu ia dapat merasakan kehangatan yang menyelimuti kedua tangannya menyebar begitu saja di seluruh tubuhnya, seolah-olah tak membiarkan dinginnya malam kembali merebutnya. Ada rasa aneh di dadanya, entah perasaan apa itu, yang jelas bukan sesuatu yang sepele. Dan Sanzu yang masih mengawang, terlena oleh kehangatan yang diberikan.

Ah yah, dipikir pikir ...,

sudah lama sekali semenjak ia merasa hangat.

Sanzu melirik, tanpa sadar mengagumi fitur wajah pihak lain dari dekat. Dilihat-lihat menggemaskan juga, apa ini malaikat yang dikirim untuknya? Tapi tak mungkin, Tuhan mana mau mengirimkan malaikat untuk iblis sepertinya. Hidup saja sudah seperti siksaan, seolah-olah semesta benar-benar jijik padanya dan tak membiarkannya mampus begitu saja.

"Hei."

Sanzu mengerjap, kembali menjajak ke bumi. Ia masih agak linglung, ketika menatap balik sepasang mata di hadapannya.

"Aku Rindou. Namamu?"

Rindou yah.

Ada rasa senang yang terlalu asing mengintip, ketika Sanzu membuka mulutnya, pertama kali mengeluarkan suaranya yang serak. "Haruchiyo." Dan di sisi lain semakin bertanya-tanya, mengapa ia menjawab dengan nama kecilnya.

Tapi tak apa, ia sama sekali tak ada penyesalan, sebab detik selanjutnya Rindou menggangguk dan menatapnya dengan sepasang mata yang berkilauan di balik kacamatanya. "Salam kenal, Chiyo."

Terpaku, Sanzu dapat merasakan degup jantungnya yang mendadak berdetak dengan kencang. Pipinya mendadak hangat, dan jari jemarinya agak menegang. Ada rasa senang menyapa, ketika telinganya menangkap nama kecilnya, dan seperti radio rusak, suara yang memanggil nama kecilnya itu terus diputar berulang-ulang di benaknya.

Malam itu tak seperti biasanya (karena bulan yang menyebalkan dan terlalu bersinar), juga bagaimana Haitani Rindou menjajak ke dunianya. Di antara senyap dan gelapnya malam, Sanzu diam-diam tanpa sadar menempatkan Rindou sebagai tujuan hidupnya.

Tsukimi || sanrin✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang