|4|

49 12 0
                                    

Semenjak kejadian itu, Rindou menepati janjinya. Di malam pertemuan mereka, Sanzu telah menceritakan semuanya, melampiaskan semua emosinya, membiarkan Rindou mendengar seluruh kisah hidupnya. Dan Rindou hanya menatapnya lembut, mendengarkan dengan tenang, membisikkan kata-kata penghiburan untuknya. Sanzu bukanlah orang yang mudah percaya dan terbuka, ia bahkan sangat tertutup dengan kehidupannya dan akan membawa semua rahasia kisah hidupnya hingga mampus. Tetapi ini Rindou, Rindou yang selalu ada di sisinya dan menemukannya, yang memberinya kehangatan, serta yang dicintainya.

Itu Rindou, orang yang ia sukai, dan otomatis akan Sanzu percayakan hidupnya padanya. Rindou yang tak memaksanya, dan memeluknya semalaman.

Rindou menepati janjinya, ia bahkan mengusir kakaknya (Alpha yang datang berkunjung kemarin, serta membuat trauma Sanzu keluar) untuk tidak masuk ke dalam rumahnya sembarangan. Dan jika ia ingin berkunjung, ia harus menyemprotkan pemblokir feromon. Ia selalu memastikan untuk tidak ada Alpha atau Omega yang mengeluarkan feromon seenaknya. Rindou meminta maaf kepadanya, bahkan mengajak kakaknya untuk ikut minta maaf, dan Sanzu yang geli melihat tingkahnya tentu saja memaafkan, juga ia tahu itu bukanlah salah Rindou atau kakaknya. Lagipula dengan ekspresi menggemaskan seperti itu, mana tega Sanzu marah padanya.

Rindou melindunginya, dan Sanzu juga akan melindungi orang yang sangat ia cintai. Ketika Rindou keluar di malam hari, ia akan merengek ikut, tetapi Rindou yang khawatir dengan trauma Sanzu akan menahannya untuk tetap di rumah. Pada akhirnya Ran yang kali itu berkunjung melihat semua itu, menemani adiknya pergi agar mereka tidak terus berdebat.

Tidak terasa sudah tiga bulan, Sanzu telah hidup bersama dengan Rindou. Perasaan yang ia rasakan semakin memuncak, dan Sanzu berpikir bahwa ia ternyata sangat menyayangi orang ini. Keduanya selalu menempel, siang dan malam, lebih tepatnya Sanzu yang terus menempel kepadanya, dan Rindou yang khawatir padanya juga akan membiarkannya menempel. Ran yang selalu berkunjung, bahkan menyindir keduanya yang mirip dengan kembar siam. ("Rin, hubunganmu dan Sanzu bahkan lebih akrab daripada persaudaraan kita," ujarnya suatu kali.)

Di malam hari, keduanya selalu tidur di ranjang yang sama. Sebenarnya Sanzu sudah memiliki kamar sendiri (bekas milik Ran), namun demi dekat dengan pujaan hatinya, ia merengek dan beralasan takut pada kegelapan malam. Rindou yang mendengar hal itu, hanya mendecak tak percaya, tetapi pada akhirnya menuruti kemauannya dan membiarkan Sanzu memeluknya setiap malam. Saat itulah, Sanzu pertama kalinya menyadari bahwa tidur bersama orang yang ia cintai sangat membahagiakan.

Malam ini, keduanya masih tidur bersama seperti biasa. Rindou memeluknya dengan lembut, menceritakan dongeng-dongeng yang ia baca untuknya. Sanzu dimanjakan dalam pelukannya, ia memeluk Rindou hingga orang yang memeluknya lebih dulu malah tenggelam ke dalam pelukannya. Namun Rindou sama sekali tak mempermasalahkan, ia hanya tersenyum lembut kepadanya, dan lanjut menceritakan dongeng hingga selesai.

"Tidurlah." Rindou menepuk kepalanya, merapikan surai vanillanya. Sanzu membalasnya dengan mengelus surai nyentrik Rindou yang seperti es krim.

Sanzu tiba-tiba ingin membuka mulutnya. Ia bersandar di bahu Rindou dengan nyaman. Suaranya mengawang di langit-langit kamar. "Rin, apakah kau percaya Tuhan?"

Rindou menatapnya dengan sepasang matanya yang lebar. Ia menarik sudut bibirnya, dan menepuk-nepuk kembali kepalanya. Ia tak menjawab pertanyaannya, namun tetap merespon, "Kalau Chiyo tak mempercayainya, aku tetap menyayangi Chiyo."

"Benarkah?"

Rindou mengangguk, dan terkekeh. Sanzu merasakan kesenangan yang bertebangan di hatinya, ketika melihat kekehan yang sangat menggemaskan itu. "Itu hak Chiyo untuk mau tak percaya atau percaya. Orang lain tak boleh mengomentari seenaknya."

"Tapi dirimu bukan orang lain, Rin." Sanzu menjilat bagian atas bibirnya, ia menatap orang yang dicintainya dengan penuh kasih sayang. "Kau lebih dari itu. Kau bahkan separuh kehidupanku."

"Itu cuma perumpamaan. Aku bisa menebak kau akan berbicara seperti itu. "

Sanzu tertawa. Ia kemudian menyengir lebar. "Lalu bagaimana dengan Ran?"

Rindou mengangkat kedua bahunya, hanya membalas dengan singkat dan ambigu, "Mungkin."

"Lalu ...." Sanzu menjilat bibirnya, ia menggenggam pergelangan tangan orang yang sangat ia cintai ini. "Bagaimana denganmu?" Ia mengulangi pertanyaannya, Sanzu menatap wajah menggemaskan di hadapannya.

Sanzu ingin mencubit pipi Rindou, ketika orang ini mengerucutkan bibirnya. Gemas, terlalu gemas. Pada akhirnya Sanzu tak dapat menahan diri untuk godaan tidak mencubit, dan dihadiahi tatapan tajam oleh kucing besar ini.

Rindou menghembuskan napasnya, dan Sanzu hanya balas menyengir semakin lebar. Dia menunggu dengan sabar, dan Rindou yang tak dapat marah kepadanya hanya dapat menatap tanpa daya. "Entahlah, coba tebak?"

Sanzu menutup mulutnya sebentar, kemudian membuka kembali. Sepasang hijaunya bersinar penuh kasih sayang. "Kau bingung." Itu pernyataan yang singkat, tetapi melihat senyuman Rindou, Sanzu tahu jawabannya ada benarnya.

"Entahlah dunia ini aneh, Chiyo. Mungkin aku percaya, mungkin saja tidak. Aku juga tak tahu harus menjawab bagaimana."

Sanzu mengangguk mengerti. Ia menarik Rindou kembali ke pelukannya, meletakkan dagunya di atas surai-surai nyentrik seperti es krim. Dalam diam ia mengendus, mencari-cari aroma segar yang selalu membuatnya tenang.

"Tidurlah, Chiyo."

"Mhm, selamat malam Rin."

Keduanya berpelukan di dalam kegelapan, saling merasakan kehangatan dan rasa nyaman yang tercipta. Rindou memeluknya semalaman, mengusir mimpi-mimpi buruk masa lalu yang selalu menghantuinya.

Malam itu, Sanzu memimpikan ia dan Rindou berdiri di atas bukit. Keduanya tertawa, dan terlihat bahagia, di bawah langit malam yang ditaburi bintang-bintang bersinar. Untuk pertama kalinya, Sanzu memimpikan hal-hal manis dan tak membuatnya ketakutan.

Ia benar-benar mencintai, Rin-nya.

Tsukimi || sanrin✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang