Mama adalah segalanya.
Mungkin sebagian besar hal itu benar. Tapi terkecuali untukku.
Aku yang selalu berharap tinggi membuat ku tidak ingin mempunyai harapan lagi. Aku takut untuk mengetahui bahwa harapan itu akan hancur begitu saja. Seperti dulu...
"Ai memang anak pintar. Putri kesayangan Mama."
Kata-kata itu terbesit di benakku ketika melihat bingkai foto Aku dan Mama berdiri tegak di panggung yang mengumumkan bahwa aku adalah seorang Siswi pertama yang meraih nilai paling tinggi di SMP itu.
***
Setelah selesai berfoto dengan para Juara siswa terbaik, Ai dan Sang Mama kembali duduk di tempat semula. Tak lama kemudian, Mama membawanya ke belakang Gedung acara.
"Ai pintar kan Ma?" Tanya Ai riang tidak sabaran sedari tadi ingin menanyakan hal itu sembari memegang erat kertas ujian yang telah memecahkan rekor itu.
"Ya. Ai memang anak pintar. Putri kesayangan Mama." Sang Mama mengelus puncak kepalanya.
Ai terdiam. Detak jantung nya berdetak cepat lebih dari biasanya.
'Mama pegang rambut, Ai,' batinnya gembira.
Tidak. Ai tidak sedang ketakutan, melainkan kesenangan mendapatkan elusan di kepala Ai. Baru kali ini Ai diperlakukan lembut oleh Sang Mama, biasanya Ai hanya mendapatkan senyuman saja.
Akhirnya... Akhirnya kerja kerasnya tidak sia-sia.
Ai tersenyum lebar, mengingat dia telah berusaha keras untuk mendapatkan nilai ini. Walau darah mengalir di anggota badannya karena waktu belajar Ai melalui batas, Ai tidak peduli lagi. Itu masa lalu.
"Tapi... Nilai B. Inggris Ai kenapa? Mama kan sudah bilang, nilai Inggris dahulu yang Ai naikkan, Ai lupain tugas Ai bersekolah di sini ya? Ai anak penurut kan? Ai gak akan kecewakan Mama lagi kan? Oh atau Ai udah lupakan tugas Ai di sini?" Tanya Mama mempertanyakan setumpuk hal yang tak ingin Ai dengar.
"Nilai Matemat—"
"Ai anak Mama kan?" Mama memicingkan mata menatap Ai, tersenyum kecil. Senyuman yang bisa di artikan, "Harus jawab iya."
"Y—ya. Ai anak Mama," Jawab Ai dengan suara yang bergetar.
"Nurut sama Mama?"
"Ya."
"Kalau gitu, tiga tahun ke depan biar Mama yang urus. Ai tinggal jalanin lagi tugas yang sudah Ai lewatkan. Oke?"
Ai terkejut dalam diam, harapan dia tiga tahun ke depan bukan seperti yang Mama atur. Jika Mama puas dengan nilai akhir ini, Mama akan membiarkan Ai memilih sekolah sendiri dan membebaskan Ai dalam kurungan. Tapi, Mama tidak puas. Harapannya untuk bebas hancur begitu saja.
"I—iya Mama yang urus." Ai tersenyum dan tak sadar air mata mengalir di pipinya.
"Ah... Ai terharu? Kenapa nangis? Sini Mama peluk." Mama mendekat dan memeluk Ai.'Mama belum puas. Aku kira Mama membawaku ke sini karena ingin memberikan hadiah, tapi sebaliknya ya...'
"Jangan nangis lagi ya," Ucap Mama sembari mengusap pipi Ai yang basah.
"Yuk masuk lagi takut Papa sama Kakak cariin kita." Mama menggandeng tangan kiri Ai dan menuntunnya masuk, tapi tiba-tiba Ai menghentikan langkahnya.
"Kenapa Ai?"
"Ai mau ke toilet dulu bentar," Ucap Ai berbohong.
"Ok, jangan lama-lama ya..." Mama melepaskan pegangan tangan Ai dan membiarkan Ai pergi sendiri.
Ai mulai berjalan menjauh dari keberadaan Mama, langkahnya terhenti ketika melihat tong sampah.
Dilihatnya tong sampah tersebut dengan lekat sembari merobek-robek kertas ujiannya dengan kecil, "Jaga kertas ku yang tidak ada nilainya."
Dengan tatapan dingin, Ai membuangnya ke tong sampah itu lalu pergi.
***
Masa lalu yang tidak pernah Aku lupakan. Sudahlah. Mengenangnya tidak akan membuatku kembali ke sosok 'Matahari' karena aku tidak akan pernah bisa memencet tombol "Next" Itu.
Aku menatap kertas ujian yang masih utuh di foto yang terbingkai cantik itu, "Reply-an yang memuakkan."
KAMU SEDANG MEMBACA
LIFE IS A GAME
FanfictionMenurutku kehidupan itu sama seperti game. Kamu tinggal pilih continue atau exit, itu akan menentukan alur selanjutnya.