"Tolong aku."
Suaranya yang terdengar putus asa dan tak berdaya membuatku terdiam beberapa saat.
Bukan Ai?
Sesaat aku melihat jari-jari kedua tangannya yang terlihat merah dan lecet. Dia melakukannya, berarti dia sedang bingung memilih jalan yang mana.
Aku bangkit, mengambil kotak P3K yang berada di atas meja, lalu ikut duduk di lantai.
"C'mon, Lyn yang aku kenal tidak putus asa seperti ini," Ucapku seraya menggeser kotak P3K itu tepat di bawah kepalanya yang menunduk dalam.
"Btw, obatin dulu tanganmu."
Dia tersentak, lalu menatap jari-jarinya.
"S-sejak kapan...?" Tanyanya bergetaran.
Tanpa kusadari, aku tersenyum kecil. Aku mengambil kotak P3K itu lagi, membukanya, mengambil betadine dan perban putih.
"Darah..." Gumamnya masih menatap jari-jari tangannya sendiri.
"Masih takut?" Tanyaku seraya meraih kedua tangan itu dan meneteskan betadine di jari-jarinya yang terluka.
Ailyn mengangguk kecil, "Mereka berwarna merah."
"Tapi bajumu juga warna merah tahu."
Setelah selesai meneteskan betadine, aku memperban luka itu dengan perlahan.
"Beda To! Bajuku merah tidak pekat, tapi mereka merah pekat," Ucapnya kesal.
"Selesai."
"Ngg?" Ailyn yang baru menyadari bahwa aku mengobati lukanya sedari tadi hanya bisa terdiam. Lebih tepatnya bingung.
"Wahh sejak kapan?" Tanyanya.
"Mengalihkan perhatian mu akan lebih cepat menyelesaikannya," Jawabku sembari memasukkan betadine dan sisa perban putih itu.
"Nah, sekarang jelaskan kedatangan mu."
"Ah... Itu..."
"Itu?"
"Besok aku akan masuk kuliah, aku bingung harus di mulai dari mana," Ucapnya pelan.
"Hanya itu?" Aku menaikkan sebelah alis.
Ailyn mengangguk singkat, "Mama memang menyelesaikannya dengan mudah, tapi sekarang masalahnya ada pada diriku sendiri. Aku gak mau menyulitkan Mama. M-maka dari itu! Ajarkan aku bersosialisasi dengan mudah dan aku akan mendengarkan perintah Tio mengenai itu!"
Ucapannya sangat kuat, tekadnya untuk memiliki teman sudah ia bulatkan dengan matang. Tapi...
"Apa kau yakin aku bisa membantumu?" Aku menatapnya serius.
Masalahnya juga ada padaku.
Aku hanya mahasiswa biasa yang bisanya hanya buat onar saja.
"Tio! sudah Bapak bilang jangan main game saat Bapak sedang menjelaskan di depan!"
"Duh Tio, sudah berapa kali Ibu bilang jangan bolos dan malah pergi ke atap untuk main Game!"
"MANA TIO?!! BERANINYA LU NGALAHIN GUE!!!"
"TIO!"
"TIO!"
"TIO!"
"Liat noh, namaku cuman dipanggil pas ada masalah doang."
Dia hanya menyengir tak jelas, "Ahahaha tapi bukannya itu malah membuat nama Tio terkenal seantero Kampus ya?"
"Gak enak loh punya nama yang dikenal banyak orang, apalagi terkenalnya bukan karena pendidikan tapi pembuat onar."
"Keren tau!" Ucapnya sembari berjalan dan berhenti di depan alat elektronik bermain ku.
"Keren?" Aku terus mengawasinya.
"Ya. Ngomong-ngomong..."
Aku memicingkan mataku, nada bicaranya tidak selembut Ailyn tadi. Jangan-jangan...
TAK!
Sebuah mouse mendarat tepat di depan wajah ku, tentu saja sudah kutangkap dengan sigap.
"Kenapa aku berada di tempat seperti ini lagi?" Dia menoleh, menunjukkan sorotan mata yang tak biasa.
Apa hanya itu kemampuan bertahan Lyn untuk mencegah Ai keluar?! Yang benar saja! Padahal tadi tekad Lyn seperti tak terkalahkan.
Aku mencengkram mouse itu dengan kuat, bahkan aku mendengar suara retakan pada mouse ku itu.
"Kau kesal? Aku juga." Dia menatap kedua tangannya, dimana jari-jarinya terperban kain putih.
"Hahhh... Padahal aku tidak ingin ke sini, tapi ya... Dia memaksaku dan mengambil alih. Bukankah ini kesempatan ku untuk tidak memberimu kesempatan dua kali? Aku juga tidak pandai untuk bersandiwara agar aku sabar. Aku tidak tahan lagi, cepat berikan 'dokumen itu' agar aku tidak bertemu lagi denganmu!" Ucapnya tenang.
Sudah kuduga dari awal, dia memang mengincar dokumen itu. Bagas masih belum menyerah juga, dia memilih untuk egois dan mengorbankan anak-anak nya demi keuntungannya sendiri.
"Tidak segampang itu—"
BRAK!
"Ukh!"
Dengan satu tendangan kaki mungilnya, dia berhasil membuatku terpental sampai pintu. Dia kuat. Aku tidak boleh meremehkan nya.
"Padahal aku tidak mau menggunakan kekerasan, tapi kau yang memulainya."
Dia menempatkan sebelah kakinya di perutku, aku hanya menatapnya tajam menahan nyeri di punggung ku dan perutku."Padahal Lyn berusaha agar kau menerimamu! Padahal Lyn menginginkan namanya bersatu! TAPI KAU—AKH!"
Lagi, aku mengeluarkan cairan merah di mulut ku begitu kakinya menekan kuat perutku."Lihat. Kau memulainya.
Padahal yang ku tahu, hidupku seperti di dalam sebuah game. Kalau kau ingin hidup, belilah senjata yang paling kuat dan bertarung dengan sekutumu. Tapi kalau kau menginginkan kematian, kau bisa mengabaikan senjatamu dan lari. Dan, itu terjadi pada kami.Kau tidak tahu apa-apa tentang kami, jangan mengusik Lyn, aku tidak suka hanya berdiam diri di sana. Biarkan aku menyelesaikannya tanpa melukaimu, ah tapi kau sudah terluka, tapi itu salah mu. Jadi, dimana dokumen itu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
LIFE IS A GAME
FanfictionMenurutku kehidupan itu sama seperti game. Kamu tinggal pilih continue atau exit, itu akan menentukan alur selanjutnya.