"Terkadang apa yang benar-benar didambakan akan menjadi hal yang sangat mustahil. Namun, jangan jadikan itu sebagai tolak ukur hidupmu. Ingatlah! Tuhan sedang menyusun alur yang indah untukmu."
- Gibran Athalla -
Play Now || Harmoni- Rizky Febian 🎶
Happy reading>3
***Malam kini mulai menjelang, mentari telah kembali ke peraduannya berganti dengan rembulan yang menyinari malam ini dengan begitu indah. Dari sudut jendela tampak Gibran tengah duduk bertengger memandangi langit malam yang bertabur gemerlap bintang. Sesekali senyuman kecil terbit dari sudut bibirnya sambil membentuk rasi bintang dengan tangannya.
"Oh iya kelupaan diary hari ini belum diisi." Gumamnya, kemudian beranjak mengambil sebuah buku kecil bertuliskan inisial namanya dari dalam lemari meja belajarnya.
Dengan lihainya Gibran menulis sesuatu dalam buku itu, merangkai satu demi satu kata dengan begitu indah. Tak membutuhkan waktu lama akhirnya ia telah selesai. Tampak jam dinding telah menunjukkan pukul tujuh, namun masih belum tampak kedatangan sang ayah. Perutnya pun kini mulai merasa keroncongan, sepertinya cacing dalam perutnya tengah berdemo meminta jatah makan malam. Dengan segera Gibran bangkit, berjalan menuju dapur berharap masih ada sisa makanan untuknya.
"Alhamdulillah masih ada sebungkus mi instan." ucap Gibran. Tidak membutuhkan waktu lama untuk memasaknya, mi tersebut telah terhidang dalam sebuah mangkuk berukuran cukup besar.
"Bismillah ...," gumamnya sebelum menyeruput mie instan buatannya. Namun, belum sempat makanan mengandung karbohidrat itu masuk ke dalam mulutnya, langkah kaki yang terdengar kasar itu langsung menendang sebuah kursi yang berada tepat di depan Gibran.
"Bagus! Rumah sudah seperti kapal pecah, anda malah asyik-asyiknya makan. Dasar anak tidak tahu di untung!" bentak Reno dengan tatapan penuh intimidasi terhadap Gibran. Sontak hal itu membuat Gibran menjadi sedikit takut. Tak lama setelah itu Reno mendekati Gibran, melempar mangkuk berisikan mi instan itu ke lantai. Tak cukup sampai disitu, kemudian ia mengangkat tubuh Gibran dan membantingnya ke bawah dengan begitu tidak manusiawi lagi.
"Itu balasan untuk anak yang tidak tahu di untung seperti anda!" sahutnya kemudian menendang perut Gibran sebelum ia benar-benar pergi dari dapur.
"Argh ...," rintih Gibran sambil memegangi perutnya yang terasa begitu nyeri. Dengan sekuat tenaga ia mencoba untuk berdiri, membersihkan beling bekas pecahan mangkuk tadi.
***
Pagi menjelang, sayup-sayup terdengar suara kokokan ayam yang begitu bising pagi ini. Sinar mentari pun sudah tidak malu-malu untuk merembes masuk, menyilaukan kamar Gibran. Namun, walau penerangan sudah sangat menyilaukan, sang empu masih belum terjaga. Sesekali terdengar suara rintihan seperti orang menggigil kedinginan. Astaga, Gibran sekarang demam.
"Ya Allah, kuatkan Gibran." Gumamnya disela-sela gigilannya. Bahkan, selimut tebal sudah tak mampu lagi meredakan kedinginannya. Memang semenjak tadi malam setelah melaksanakan sholat isya, kepalanya mendadak pening disertai dengan suhu badannya yang naik drastis. Mungkin ini efek sebab ia tidak makan kemarin, bahkan kini untuk membuka mata saja rasanya sangat susah, deru nafasnya pun kini sudah tidak beraturan.
Hingga tiba-tiba ...
Byurr
"Dasar pemalas! Sudah mahal-mahal saya biayai anda untuk bersekolah, tapi sekarang anda malah enak-enakan jam segini masih tidur. Memang benar-benar anak yang tidak tahu di untung!" bentak Reno dengan tangan menjinjing sebuah ember hitam yang digunakan untuk mengguyur Gibran tadi. Kemudian ia langsung menarik kerah baju sang anak dengan kasar dan menyeretnya masuk ke dalam kamar mandi.
Setelah selesai merapihkan badannya, Gibran langsung keluar menuju gerbang rumahnya untuk menanti angkutan umum dengan wajah yang sangat amat pucat. Hingga setibanya di sekolah, banyak orang yang mengkhawatirkan kondisinya. Bahkan, Pak Akbar- guru matematika yang terkenal killer pun ikut mengkhawatirkannya.
"Kamu sudah makan, Nak?" tanya Pak Akbar ramah. Ini mungkin pertama kalinya seorang guru ter-killer di SMA Cakrawala seperhatian ini kepada muridnya.
"Sudah kok, Pak." Jawab Gibran dengan wajah lesu dan suaranya pun kini berubah pelan, tidak bersemangat.
"Kamu serius? Hari ini kamu pucat sekali, loh." Tanya Pak Akbar meyakinkan sekali lagi jika kondisi muridnya ini benar baik-baik saja hari ini.
"Ngga papa kok Pak, ini mungkin efek saya begadang tadi malam." Jawab Gibran lagi-lagi, berbohong.
"Saya permisi masuk ke dalam kelas dulu, Pak." Ujar Gibran berpamitan kepada Pak Akbar, namun hanya dibalas anggukan penuh kekhawatiran olehnya. Dengan sekuat tenaga, Gibran masuk ke dalam kelasnya. Berharap semoga hari ini ia benar baik-baik saja.
Pelajaran pertama pun telah dimulai. Bu Wahid- guru Kimia sedang menerangkan materi pelajarannya. Tiba-tiba, cairan kental merah lagi-lagi merosot bebas dari hidung Gibran. Hal itu sontak membuat Cleo, yang pada saat itu tidak sengaja melihat ke arah Gibran langsung tersentak olehnya.
"Gib, hidung lo ...," celetuk Cleo sambil menunjuk-nunjuk ke arah hidung Gibran. Sang empu pun langsung mengelap area hidungnya, dan benar saja cairan kental berwarna terang itu lagi-lagi muncul untuk kedua kalinya.
Suara Cleo yang sedikit lantang langsung menjadi pusat perhatian seisi kelas, tak terkecuali bu Wahid. Ia seketika histeris mendapati muridnya dengan hidung yang tengah mimisan. Detik itu juga ia langsung menyuruh Cleo untuk mengantarkan Gibran ke gedung kesehatan.
"Cleo, tolong hantarkan Gibran ke gedung kesehatan!" ucapnya dengan nada khawatir.
"Baik Bu." jawab Cleo sigap, dan langsung membopong tubuh Gibran berjalan menuju gedung kesehatan.
***
"Kamu harus istirahat yang cukup, dan harus minum obat ini dengan teratur." Ujar seorang wanita paruh berjas putih, yang merupakan dokter yang sedang bertugas di gedung kesehatan sekolah hari ini.
"Baik Dok, terimakasih." sahut Gibran berterimakasih dan langsung dibalas anggukan oleh sang dokter.
"Kalau begitu kami permisi dulu, Dok." kini giliran Cleo yang berpamitan kepada sang Dokter.
"Iya, silakan ...," jawab sang dokter dengan nada ramahnya.
Kemudian Gibran dan Cleo keluar dari gedung bernuansa serba putih itu dan langsung berputar haluan menuju kantin, karena tepat saat itu bel istirahat telah dibunyikan. Dengan segera mereka berjalan menuju sebuah "MeJok" tempat mereka biasa nongkrong dan langsung memesan makanan disana.
"Pak saya siomay komplitnya satu." Sahut Cleo memesan makanan dari tempatnya duduk saat ini.
"Oke Mas," jawab penjual siomay yang tengah sibuk mengurusi pesanan siomay dari yang lain.
"Lo mau pesen apa, bro?" tanya Cleo.
"Samain aja." Jawab Gibran lesu.
"Oke. Pak ralat, siomay komplitnya dua ya!" Sahut Cleo lagi dan dibalas acungan jempol dari sang penjual.
Tidak menghabiskan waktu sepuluh menit, pesanan mereka pun telah sampai tepat dihadapan mereka masing-masing. Cleo pun kini tampak tengah sibuk menuangkan saus sambal ke dalam siomaynya. Sedangkan, Gibran langsung memakan siomay yang sudah berbumbu kacang itu, karena ia tidak bisa makan makanan yang pedas. Tidak ada obrolan diantara mereka, hingga tiba-tiba suara rintihan memecah keheningan.
"Aduh, maaf kak ...," ucap seorang gadis cantik berpakaian berbeda dengan yang lain, bisa di prediksi ia adalah anak baru.
"Iya ngga papa," jawab Gibran yang langsung mengambil tissue dan membersihkan bagian lengan kanan bajunya yang terkena tumpahan bumbu kacang. Namun, ada sesuatu hal yang janggal ketika Gibran melihat gadis itu. Sepertinya mereka pernah bertemu sebelumnya.
📖📖📖
TBC
Jangan lupa klik 🌟 dan komentar kalian dibawah ini 👇👇👇
Instagram : @wattpad.matcha
Tiktok : @binirenjun_00
KAMU SEDANG MEMBACA
About GIBRAN || Haechan
Novela Juvenil"Ma, Gibran kalau sudah besar mau jadi seorang penulis, ya." Ucap seorang bocah laki-laki berusia delapan tahun kala itu. "Kenapa Gibran mau jadi seorang penulis? Bukankah menjadi dokter atau pengusaha jauh lebih baik?" tanya seorang wanita paruh...