"Masih bisa bernapas hari ini saja sudah menjadi nikmat yang begitu luar biasa bagiku. Jangan lupa untuk tetap semangat dalam menjalani hidup, rencana Tuhan akan selalu indah tanpa bisa diduga"
- Gibran Athalla -
🎶 Play now || Tabu- Brisia Jodie
Happy reading>3
***'Plak!'
Sebuah tamparan melayang tepat di pipi mulus milik lelaki malang yang kini usianya telah beranjak tujuh belas tahun. Gibran Athalla, namanya. Badan lelaki malang itu kini telah limbung, terkulai tak berdaya. Cucuran cairan kental berwarna merah pun tampak muali mengalir dari sudut bibirnya.
"Sudah berapa kali saya peringati, masih saja diulangi! Dasar anak bodoh!" bentak Reno- Papa Gibran dengan suara baritonnya mendominasi seantero ruangan.
"M-maaf Pa ...," rintih Gibran memohon ampunan dari sang empu.
"Dasar bodoh! Simpan jauh-jauh kalimat maaf itu, saya sudah muak mendengar kalimat itu setiap hari!" bentaknya sekali lagi, dengan sepatu pantofel yang kini menginjak sempurna bahu Gibran, membuatnya meringis kesakitan.
"Dasar lemah. Sana pergi!" celetuknya kemudian menegakkan tubuh Gibran dan mendorong menjauh dari hadapannya. Kali ini sang ayah tengah berbaik hati untuk menghajarnya habis-habisan pagi ini. Syukurlah.
Setelah membersihkan bekas lukanya, dengan sekuat tenaga Gibran berjalan tertatih menuju gerbang rumahnya untuk menunggu kendaraan umum lewat di depan rumahnya. Ia tidak ingin kali ini terlambat lagi datang ke sekolah, walaupun itu adalah hal mustahil. Buktinya, baru saja ia sampai di gerbang sekolah, satpam telah datang menghadangnya.
"Pak, saya mohon sekali ini saja pintunya di buka ya, Pak ...," pinta Gibran memohon agar pintu gerbang di buka. Satpam yang ber-nametagkan Udin itu pun merasa iba melihat kondisi Gibran dan langsung membukakan pintu gerbang untuknya.
"Kali ini saya bukakan pintunya, tapi lain kali jangan telat lagi!" ucap pak satpam memperingati.
"Siap delapan enam, terima kasih, Pak." jawab Gibran antusias kemudian langsung melesat masuk menuju kelasnya.
Namun, belum sempat Gibran menginjakkan kakinya masuk ke dalam kelas, Pak Akbar- guru matematika yang terkenal 'killer' itu sudah berdiri tegak diambang pintu, siap menghadang Gibran masuk ke dalam kelas.
"Alasan apalagi untuk minggu ini?" tanya Pak Akbar garang sambil memainkan kumis melintangkannya.
"Maaf Pak, tadi pagi saya ketiduran karena begadang tadi malam," jawab Gibran sambil menundukkan kepalanya.
"Lihatlah, siswa yang dibanggakan sekolah perangainya seperti ini. Percuma saja kamu berprestasi, menang kejuaraan sana-sini tapi tingkat kedisiplinan kamu kosong. Karena saya tidak ingin menghabiskan emosi saya pagi ini, silakan kamu letakkan tasmu lalu berdiri menghadap tiang bendera sana sampai jam pelajaran saya selesai!"
"Baik Pak ...," jawab Gibran sambil mengganguk lemah.
Hampir dua jam pelajaran dilalui Gibran dengan sikap hormat sambil menghadap ke arah tiang bendera. Keringat mulai bercucuran membasahi seragamnya, kulitnya pun kini tampak mulai memerah karena terbakar sinar matahari. Pandangannya pun kini perlahan mulai mengabur, bergantian dengan kepala yang terasa begitu pusing. Hingga akhirnya...
Bruk!
***
"Argh ...." Gumam Gibran yang merasakan kepalanya masih terasa begitu sakit dan pusing. Pandangan yang tadinya kabur pun kini mulai terlihat sedikit lebih jelas.
"Saya dimana? Argh ...," tanya Gibran yang sesekali menggerang sambil memegangi kepalanya yang masih terasa sakit.
"Sekarang kamu berada di gedung kesehatan sekolah." jawab seorang suster yang masuk dari balik tirai bewarna tosca yang menutupi kamar, tempat Gibran saat ini berada.
"Saya mau keluar, ada banyak pelajaran hari ini. Saya tidak ingin jika guru BK lagi-lagi menghubungi orang tua saya." Sahut Gibran yang mulai melepaskan satu demi satu selang infus yang melekat di tangannya.
"Tenang, kamu istirahat saja dulu disini. Untuk masalah guru BK nanti saya yang akan urus. Kondisimu hari ini sangat mengkhawatirkan." Ucap sang suster mencoba menenangkan. Ada sedikit wajah khawatir menyelimuti sang suster. Entahlah, seperti ada yang sedang ia tutupi.
"Saya tidak peduli, yang saya inginkan saya keluar dari ruangan ini. Tempat ini membuat saya menjadi terlihat lemah." berontak Gibran. Kini ia mulai bangkit dari atas ranjangnya hendak berjalan keluar gedung kesehatan.
"T-tapi ...," sahut suster yang sudah tidak bisa lagi menahan Gibran.
"Permisi." ucap Gibran kemudian ia langsung keluar dari gedung kesehatan dan berjalan menuju kelasnya.
Tidak menghabiskan waktu lima menit, akhirnya Gibran bisa duduk tenang di dalam kelasnya. Sekarang adalah jam istirahat membuat kelas terasa begitu kosong. Namun itu tidak bertahan lama karena beberapa menit kemudian teman-teman Gibran telah mulai masuk ke dalam kelas.
"Lo ngga makan, Gib?" tanya Cleo-teman sebangku Gibran. Ia tampak iba melihat kondisi Gibran yang tampaknya masih lemah.
"Ngga bro, gue udah kenyang." jawab Gibran sambil memberikan senyum kepada Cleo. Tak bisa dipungkiri, wajah Gibran hari ini tampak begitu pucat.
"Oh oke, kalau lo mau makan nih ambil aja." putus Cleo sambil menyodorkan sebungkus roti ke hadapan Gibran.
"Ya, terimakasih," ucap Gibran berterimakasih dan langsung dibalas anggukan oleh Cleo.
Tak lama setelah itu, lonceng pertanda jam pelajaran telah dimulai kembali berbunyi. Seluruh teman-teman Gibran langsung bersiap diri untuk menghadapi pelajaran berikutnya.
***
Jam pelajaran hari ini telah usai, seluruh penghuni SMA Cakrawala telah berhamburan keluar dari kelas mereka masing-masing. Suara bising dari kendaraan mereka pun tidak dapat terelakkan lagi. Tampak Gibran sedang berdiri di atas trotoar yang dibelakangnya berdiri kokoh sebatang pohon besar."Angkot, Mas?" ucap seorang sopir angkot menawarkan angkotnya kepada Gibran. Melihat ada angkot yang berdiri di hadapannya, Gibran langsung beranjak masuk ke dalamnya.
Selama perjalanan pulang Gibran terus memandang ke arah luar, alunan musik dalam angkot yang begitu memekakkan menjadi terapis tersendiri baginya. Namun, tiba-tiba kepalanya merasakan kembali rasa pusing yang amat luar biasa. Tak lama cairan kental berwarna merah menyala mulai keluar perlahan dari kedua lubang hidungnya. Ia mimisan lagi. Buru-buru ia menghapus darah yang tak henti-hentinya bercucuran keluar dari hidungnya itu, untung saja angkot itu telah sampai di depan gerbang rumahnya. Setelah menyelesaikan pembayaran, Gibran langsung melangkah masuk ke dalam rumahnya.
"Assalamualaikum, Gibran pulang." ucapnya sambil membuka pintu dengan perlahan menampilkan kondisi rumah yang kosong. Sepertinya sang ayah masih sibuk dengan urusan kantornya.
Gibran tidak ambil pusing karena yang ia butuhkan sekarang adalah istirahat dalam kamarnya. Dengan segera ia melesat masuk ke dalam kamarnya, tanpa aba-aba ia langsung menjatuhkan badannya di atas kapuk dan .... Terlelap.
📖📖📖
TBC
Jangan lupa untuk klik 🌟 dan berikan komentar kalian dibawah ini👇👇👇
Ig : @wattpad.matcha
Tiktok : @binirenjun_00
KAMU SEDANG MEMBACA
About GIBRAN || Haechan
Ficção Adolescente"Ma, Gibran kalau sudah besar mau jadi seorang penulis, ya." Ucap seorang bocah laki-laki berusia delapan tahun kala itu. "Kenapa Gibran mau jadi seorang penulis? Bukankah menjadi dokter atau pengusaha jauh lebih baik?" tanya seorang wanita paruh...