Perjanjian duel

10 1 0
                                    

Ruangan hening seketika. Semua orang saling melirik satu sama lain. Tantangan Tetsurou pada orang asing yang tidak terlihat dari sebuah Genk membuat orang-orang bingung. Tetsurou tidak pernah semerta-merta menarik pedangnya apalagi untuk orang asing.

"Woaa, duel lama!" Bisik Tanaka girang.

"Kau menantang ku?" Daichi menekuk sebelah lututnya memberikan tatapan tajam pada mata pedang.

"Tentukan dengan katana!" Tegas Tetsurou.

"Ayah!" Tsukki bersiap berdiri namun ia ditahan oleh Daichi.

"Baik, jika itu maumu!"

"Minggu depan, tengah siang." Tetsurou kembali memasukkan pedang pada sarungnya lalu meninggalkan ruangan. Satu persatu bawahan Tetsurou juga meninggalkan aula. Kai serta Tanaka pun menunjukkan kepatuhannya pada pemimpin klan. Dalam ruangan tersebut tersisa Daichi dan Tsukki.

"Apa yang kau pikirkan sebenarnya? Ayahku dia-"

"Sst! Aku tahu dia sangat kuat. Tapi pertarungan ini adalah urusan kami yang tidak bisa dihindari."

"Bagaimana kau akan mengalahkannya?"

"Kami sudah sama-sama tahu kelemahan masing-masing, tidak ada trik apapun yang bisa mengalahkan ayahmu. Kami bertarung sampai lelah baru dapat menentukan pemenangnya. Untuk sekarang sebaiknya aku bersiap!" Daichi bangkit, melangkah keluar tanpa melirik Tsukki yang sudah membuka mulutnya untuk melayangkan protes.

Ini bukan tentang cinta. Antara Tetsurou dan Daichi, mereka seperti air dan minyak, tidak dapat menyatu. Ini tentang harga diri, persaingan di masa lalu, dendam yang tidak perlu, menyisakan kebencian tanpa dasar yang melekat di hati keduanya.

"Oy, Daichi! Bersiap untuk mati!"

"Ha? Kuburanmu sudah digali?"

Dua kubu saling menyerang. Bertabrakan, saling menendang, memukul, melempar, hingga beradu senjata. Tanah tandus yang tak ubahnya medan perang untuk anak-anak yang bahkan belum lulus masa pubertas tersebut.

Apa yang terjadi? Mengapa semuanya terjadi? Tidak ada yang tahu pasti dendam apa yang sebenarnya mereka miliki, hanya para senior yang memulai yang tahu yang mungkin sekarang sedang sama-sama menjadi kuli. Dulu saling beradu jotos mungkin sedang bahu-membahu memanggul semen untuk bangunan yang tidak dapat ia tinggali jika sudah jadi.

Siapa yang paling kuat tahun ini, sekolah mana yang layak menjadi pemimpin untuk menundukkan sekolah lainnya di daerah tersebut? Setiap sekolah berlomba saling menaklukkan, menunjukkan taring masing-masing demi dikenal dan disegani.

Apa tanggapan masyarakat? Tak lain mereka hanya sampah tanpa masa depan, tidak perlu diremehkan karena sudah tentu hidupnya menyedihkan. Konon, anak-anak itu hanya remah, sisa-sisa makanan yang tertinggal dalam toples. Tidak ada yang ingin melirik potensi rasa baru yang unik yang telah bercampur jadi satu. Tidak lagi biskuit manis atau onigiri yang gurih, tidak ada rasa dominan, menjadi olahan dengan rasa yang berbeda. Ah, orang-orang pintar kebanyakan kuno selalu berpegang teguh pada teori lama. Yah, singkatnya mereka percaya bahwa apel itu buah bukan angka, meski saat belajar kita diminta menghitung berapa banyak apel dalam keranjang setelah dua diberikan pada ibu dan tiga diberikan kepada adik.

Dendam yang mereka tanam serupa tabung kosong, hanya rapat di tiap sisinya, tidak tahu-menahu apa yang ada didalamnya. Hanya berbeda seragam, almamater yang sering kali kotor dan terkadang berbau rokok oleh bocah-bocah nakal itu, dipuji dan diagungkan ketika berhadapan dengan murid sekolah lain. Apa yang mereka tahu tentang prestasi? Mereka punya mimpi tapi akhirnya mereka terbangun untuk menghayal bukan mewujudkannya dengan belajar. Salahkah? Siapa yang patut disalahkan? Anak muda yang tidak bisa mengontrol emosinya? Atau hidup yang selalu membuat mereka merasa tersiksa? Harus ada seseorang yang mengarahkan mereka, membimbing mereka menemukan jati dirinya, jangan sampai anak-anak itu terjatuh dengan berbagai pembenaran yang dibuatnya sendiri.

"Daichi!"

Baju compang-camping masih melekat pada tubuh yang sempoyongan, darah keluar dari mulut membuat gigi terlihat merah. Wajah sudah babak belur suara pun hampir habis. Pria muda sebaya di hadapannya juga terlihat babak belur, menekuk sebelah lututnya, pergelangan tangannya terlihat lebam karena posisi tulang pada sendi bergeser.

"Hah, kapan mereka akan berhenti? Mereka sudah melakukannya selama enam jam!"

"Kita pulang saja? Bapakku pasti sudah menunggu dengan katananya, dia akan membunuhku!"

"Bapak mu galak sekali?"

"Dia menyuruhku mengantar pesanan meja dengannya ke luar kota."

"Habislah kau!"

"Hei, kau bagaimana?"

"Ya, apa keluarga mu marah juga?"

"Iie. Ayahku sedang tugas diluar negeri dan ibuku biasanya masih di rumah temannya. Arisan."

"Enaknya jadi anak orang kaya!"

"Mm! Tidak perlu bekerja seperti kita."

Waktu menunjukkan pukul 9 malam. Para siswa di dua kubu telah lelah menunggu, resah ingin segera pulang sebelum orang tuanya mengomeli mereka. Dua pemimpinnya memang bukan untuk ditunggu ketika mereka bertemu.

"Sial! Apa harus kita hentikan saja?"

"Terserah nanti jika Daichi-san marah. Kau pikir si Kuroo itu lebih menyenangkan?"

"Apa kau ini, pengkhianat?"

"Hentikan itu! Lihat anak-anak sekolah musuh sudah mulai menarik ketuanya, ayo kita juga bawa Daichi-san! Tangannya patah itu."

Pertarungan usai tanpa pemenang. Perkelahian yang menghabiskan waktu berjam-jam membuat mereka menjadi lebih unggul dari teman-temannya yang lain. Terlatih karena terbiasa, nama Tetsurou dan Daichi dikenal seluruh kota tak ayal dua orang itu didatangi kelompok geng ternama bahkan mafia untuk menguji atau merekrutnya.

Pertarungan kali inipun diprediksi sama seperti sebelumnya, menghabiskan waktu yang lama. Meski mereka tidak lagi bertemu sejak lulus Sekolah Menengah Atas, pertarungan terakhir membuat keduanya dilarikan ke Rumah Sakit dan mengalami luka yang sangat parah sampai tidak menghadiri acara kelulusan. Beruntung mereka dinyatakan lulus karena ekstra kurikuler yang diikutinya.

Kini, puluhan tahun telah berlalu, akankah pertarungan mereka masih sengit?

_____________

Bersambung

My father-in-law is my old enemyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang