•
Liam aneh. Nggak tahu kenapa akhir-akhir ini sering banget nempelin aku. Ditanya, cengengesan. Diusir, ngegas. Bener-bener nggak kayak biasanya.
Biasanya mah boro-boro nempel, dipanggil aja melengos, lebih mentingin temen-temen nongkrongnya atau Adiba—cewek yang lengket banget sama Liam karena suka sama dia.
Yah, menurutku sih Adiba terlalu ngemis, karena dilihat dari sisi mana pun, Liam cuma nganggep dia teman. Nggak lebih. Sayangnya, Adiba merasa Liam menggantung harapannya. Makanya ngintil terus ke mana pun Liam pergi. Dan kampretnya, Liam nggak pernah nolak. Malah kesenengan. Pancen dasere wong edan.
Karena itu aneh aja mendadak, nggak ada angin nggak ada hujan, Liam super duper kuper. Adek Mas Lian itu kepalanya kayak habis kepentok kulkas di rumah Bunda waktu bantuin aku masak besar untuk arisan mingguan beberapa hari yang lalu. Atau kalau enggak, nabrak pintu di rumah Ayah sewaktu Ayah minta aku bantuin beliau renovasi kamar kakak tiriku.
Pokoknya aneh, deh. Kayak kemarin aja contohnya. Waktu aku lagi jogging—kebiasaanku pada sore hari—di sepanjang Jalan Brigjend Katamso, melewati alun-alun Kota Temanggung yang bersebelahan dengan pendopo, swalayan besar bernama Laris, dan Masjid Agung—tiba-tiba Liam yang jarang olahraga muncul, lengkap pakai celana training hitam, sneakers model terbaru, dan kaus abu-abu.
"Lari sendirian aja, Mbak? Nggak takut dibegal?"
Aku berdecih.
Edannya mulai kumat. Kalau dibiarin, entah gimana nasib sore hariku yang cerah, ditemani sepoi angin musim panas, saat daun-daun tembakau di Gunung Sindoro menguning, para petani di daerah atas senang bukan kepalang harga tembakaunya melangit sebab belakangan hujan seret—mengakibatkan kualitas tembakau mereka tergolong bagus.
"Aeysha."
Aku mempercepat lariku, memakai aerphone supaya suara Liam yang sering kedengeran di ruang musik sekolah nggak ganggu pendengaranku.
Sialnya, aku lupa Liam punya jiwa emansipasi yang setara dengan jiwa ibu-ibu hamil muda. Teman masa kecilku itu menarik paksa earphone di telingaku, menyenggol bahuku lumayan keras sampai aku ingin mengumpat, "As-"
-taghfirullah. Untung, aku ingat genderku perempuan. Rasanya nggak etis banget ngumpat di tempat umum gini.
Liam berlari di depanku, dengan badan menghadap ke belakang—otomatis larinya mundur. "Ayo balapan, Sha! Siapa yang telat sampai rumah, dia yang nyuci motor!"
Ealahhh, emang kurang ajar ini anak satu.
Awalnya aku nggak mau, tapi tampang semena-menanya buat aku tersulut.
"Oke! Siapa takut!"
Dan sore itu, saat langit semakin cantik tergores kilau jingga kemerah-merahan, aku terus mengejar Liam, berusaha mendahuluinya. Mendahului Liam, mantan atlet lari pada masanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Saat Remaja Kita Sering Bercanda (✔)
Teen Fiction[ L e n g k a p ] Saat remaja kita sering bercanda. Ngalamatnya bikin nyaman sampai baper sendirian. Nggak, bukan, bukan. Ini bukan friendzone, adek kakak zone, atau zona lainnya yang berbahaya. Ini cuma proses menuju dewasa. Kisah jatuh, bangun...