BAB 1. Rasa Iba

14 3 0
                                    

            Sang raja siang tengah menerobos masuk ke netraku melalui celah pepohonan. Biasnya yang semakin naik membuat silau lensa mataku. Sesekali aku mengangkat tangan mencoba menutup mata untuk mengurangi silau. Kedua kakiku terus melangkah menyusuri trotoar jalanan kota Surabaya yang panas. Hiruk-pikuk dan asap kendaraan semakin menambah penat. Kurang satu belokan lagi aku akan sampai pada pondok pesantren tempatku mengabdi selama kurang lebih tiga tahun ini sembari menyelesaikan kuliahku yang kurang dua semester lagi.

            Langkahku terhenti kala melihat sebuah pemandangan yang berhasil menyita netraku. Seorang gadis kecil berpakaian lusuh tengah berdiri di depan gerobak penjual roti pinggir jalan. Mengusap perutnya perlahan sembari menatap penuh harap bisa memakan jajanan roti itu. Menunggu sekitar tiga menit aku melihat gelagat aneh darinya, matanya dengan jeli menatap manusia yang berlalu lalang. Perlahan ia menggiring kaki kecilnya mendekati gerobak itu.

            Khawatir akan dugaanku benar, segera aku mendekat ke arah penjual roti itu. Berpura-pura membeli beberapa macam roti. Hal itu otomatis membuat si gadis kecil tersebut menunda niatnya dan menatapku sinis. Selesai membayar aku mengampiri gadis tersebut dan mengajaknya menjauh dari gerobak itu untuk duduk di bangku beton di bawah pohon mangga yang teduh. Lagi-lagi menatap roti yang ku beli dengan tatapan penh harap melahapnya.

            "Kamu sudah makan?" tanyaku melihat keadaan tubuhnya. Wajah putihnya terkena beberapa cemong berwarna hitam tipis. Pakaian coklat tua terlihat kusut, kumuh, dan terdapat beberapa yang sobek kainnya. Rambut hitam sebahu yang dibiarkan tergerai pun terlihat kumal seperti beberapa hari tak tersentuh shampoo. Gadis itu diam.

            Aku mengambil satu bungkus roti selai nanas dan sebotol air mineral, ku sodorkan ke arahnya.

            "Makanlah satu roti ini dan sisanya bawalah pulang."

            Dengan gercap ia mengambil roti dan air mineral itu dari tanganku. Menyobek bungkusnya dengan tak sabaran kemudian melahap dengan gigitan besar. Bibir mungilnya mengerucut denga pipi menggembung akibat isi mulutnya yang penuh mengunyah. Tak butuh waktu lama habis sudah sebungkus dan segera minum agar tidak tersedak.

            Kali ini gadis kecil itu mendongak, menatap wajahku lamat-lamat. "Kakak namanya siapa?"

             "Aira. Alishba Juhaira." Jawabku sambil tersenyum kepadanya.

             Gadis itu segera menyodorkan tangan mengajak bersalaman dan mencium tanganku. Masyaallah sopan sekali, batinku.

            "Namaku Ana," senyumnya tulus. "Terima kasih kak roti dan minumnya, enak sekali. Aku tadi sangat lapar tapi tidak punya uang untuk membelinya."

            Aku tertegun mendengarnya. Sungguh malang sekali nasibnya.

            "Rumah kamu di mana?"

            Aku melihat raut wajahnya yang berubah sendu. Sepertinya aku salah bertanya.

            "Aku tidak punya rumah." Jawabnya lirih menundukkan kepala menatap kaki lusuhnya yang tak beralas.

            "Keluarga?"

            "Aku sendiri ...." Cukup lama ia terdiam mencoba mengumpulkan keberanian untuk bercerita, "... Ibu dan Ayah sudah meninggal sewaktu aku umur tiga tahun. Pakdhe dan Budhe sudah tidak perduli, bahkan aku diusir oleh mereka."

            Deg! Rasa iba tumbuh dalam hatiku mendengar betapa malangnya nasib anak ini. Kufurnya aku yang hanya mendapat cobaan kecil sudah mengeluh dan menangis.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 01, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Selarik Rasa #WRITONwithCWBPTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang