1

45 21 7
                                    

Gadis itu cemberut sejak tadi, membayangkan kejadian di sekolah. Semua teman-temannya punya ponsel yang bagus, dan keren-keren. Dia menginginkanya juga, tapi harus bagaimana? Rista mengerti keadaan perekonomiannya yang pas-pasan. Semua keinginanya harus di pertimbangkan apa itu benar-benar penting atau sebaliknya.

"Bu, kalo Rista beli HP baru boleh nggak?"Ada segelas susu coklat di depanya, tapi Rista mengbaikanya.

"HP kamu bukannya masih bisa dipake."Ninik beranjak dari meja makan ke bak cucian  membawa piring kotor."Ibu cuma buruh pabrik rumahan, Rista. Jangan minta yang aneh-aneh. Bisa biayain kamu sama abang kamu sekolah aja ibu bersyukur."

"Yah, tapi temen-temen Rista semua HP-nya bagus-bagus, bu. Rista ingin juga, beliin ya?"

"Nanti minta abangmu kalo udah kerja, ya. Udah malem, emang Rista nggak ada tugas sekolah?"

"Nggak ada."Gadis remaja itu beranjak dari kursinya, tanpa menengguk susu coklat buatan ibunya. Melewati ibunya tanpa sepatah kata.

Ninik menghela sabar. Gadis remajanya itu memang sedang dipuncak-puncaknya bergaul. Seminggu yang lalu anak itu meminta sepatu baru, dengan alasan yang sama. Sekarang meminta ponsel baru seperti meminta susu saset di warung. Kalau saja hidupnya berkecukupan, pasti dia akan membelikan apa saja permintaan anaknya.

Sayangnya Tuhan memang adil, memberinya hidup sederhana, namun dikaruniai anak yang tampan dan cantik.

****

Pagi hari, Rista bangun sendiri tidak seperti biasanya harus menunggu ibunya berteriak dari dapur. Setelah berkemas, memakai seragam, juga sepatu dia mencangklok tas dipundak melangkah ke dapur. Aroma telor dadar daun bawang kesukaanya mulai menggelitik perut Rista. Dia tidak akan selapar pagi ini jika semalam meminum susu coklat itu.

"Rista bangun, Nak! Udah siang!"

"Rista udah bangun bu."

Wanita hampir setengah abad itu terlonjak, mengusap dadanya."Ngagetin ibu kamu! Ayo sarapan dulu, ibu buatin telor kesukaan kamu."

Wanita itu dengan telaten menyiapkan piring untuk putri bungsunya. Senyumnya tak luntur sejak melihat tumbuh kembang anaknya yang sangat baik. Sayangnya, sesekali dia harus menelan pil pahit mengingat kejadian yang meregut nyawa suaminya. Ada rasa sesal mendalam terhadap putrinya karena tidak bisa merasakan kasih sayang seorang ayah sejak usia 7 tahun.

"Semalam susu coklat kamu nggak diminum, ibu anterin ke kamar malah kamu udah tidur. Jadi, ibu minum sendiri."

Sebenarnya Rista belum tidur, tapi malas bicara dengan ibunya.

"Kenapa sih bu, abang pake kuliah segala? Bagusan kerja bantuin ibu 'kan?"

"Ibu nggak mau anak-anak ibu jadi seperti ibu. Ibu ingin kalian, Rista sama abang lebih hebat dari ibu."Ninik mengatakan penuh tekad, sedikit tegas, tapi membuat jiwa Rista tergatar dan terenyuh. "Besok Rista juga harus kuliah, apapun yang terjadi."

"Nggak ah! Rista mau kerja aja biar punya uang sendiri."

"Boleh ya bu beliin Rista HP baru. Rista janji deh akan belajar rajin dan banggain ibu di semeater ini. Ya, ya?"

Ninik yang lembut hatinya tersenyum dengan kegigihan anaknya."Janji, HP-nya digunain buat hal bermanfaat?"

Putri lucunya itu mengangguk, membuat rambutnya bergerak.

Tanpa dia duga, ibunya mengeluarkan benda dari bawah meja. Rista tercengang, dia buru-buru mengambil benda itu dan melihatnya dengan saksama. Menatap ibunya tidak percaya, bagaimana secepat ini?!

"Ini ibu belinya kredit ke Bu Samah. Nggak papa dicicil sedikit nanti juga lunas. Riata suka nggak? Itu anaknya Bu Samah yang pilihin."

Ponsel ini bahkan lebih bagus dari ekaspetasinya. Karena kesenangan Rista sampai lupa mengucapkan terima kasih pada ibunya. Dia sudah pergi setelah berpamitan berangkat sekolah. Ingin segera memamerkan ponsel barunya pada teman-teman.

Ninik tidak perlu mendapat ucapan terima kasih. Melihat anaknya tertawa dan tersenyum dia sudah sangat senang.

"Ardan, jagain Rista terus ya."

Begitu bunyi tulisan di sepucuk kertas usang yang anak dia letakan di kamar putra sulungnya.

*****

Kabumen, 31 Desember 2021


Bakti Terakhir | RistaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang