5

12 7 15
                                    

"Ya Allah, Rista, kamu ini gimana, sih? Tangannya bisa melepuh begini, aduh diobatin pake apa coba?"

Ninik kelimpungan melihat tangan anaknya yang melepuh lebar di bagian punggung tangan sebelah kanan. Malam ini wanita itu menghantarkan susu coklat hangat ke kamar putrinya seperti malam biasanya.

"Tadi udah dikasih salep bu sama Saka. Nggak pa-pa,"jawab Rista tenang. Dia membaca buku bahasa untuk persiapan hari besok ujuan akhir semester.

"Tetep aja tadi udah kebawa mandi sama kamu. Coba ibu liat."Ninik melihat tangan putrinya, menelitinya lamat-lamat dengan raut bersalah. Dia gagal lagi menjaga anaknya.

Ninik benar-benar tidak bisa melihat putri yang kehilangan kasih sayang ayahnya ini terluka. Dia sebisa mungkin berusaha memberikan yang terbaik, memberikan kasih sayang sebanyak yang dia punya, melindunggi semampu yang dia bisa. Tapi tetap saja di suatu waktu kecolongan, seperti sekarang.

"Ibu nggak usah lebay ah, Rista nggak apa-apa."Rista tertawa kecil melihat ibunya meniupi luka bakar itu. Padahal dia tidak merasakan sakit seperti pertama tersiram minyak panas tadi.

"Nggak apa-apa gimana? Bentar ibu mau minta lidah buaya sama bu Lail, katanya itu bagus buat luka bakar."

Rista sudah menolak. Tapi ibunya tetap pergi.

Ini udah malem bu, batin Rista sedih.

Sedikitnya setelah Rista belajar menyalakan kompor dan masak telur ceplok mengerti bahwa jadi seorang ibu tidaklah mudah. Mengurusi segala hal tak kenal lelah, apalagi ayahnya sudah tiada. Seharusnya Rista tahu sejak dulu, ibunya pasti lelah mengurusnya dan bekerja setiap hari untuk membiayai hidup keluarganya.

Sayangnya Riata masih kekanakan. Dia hanya terlalu dimanjakan ibunya, atau dianya yang tidak tahu diri?

"Iya bang, Rista nggak manja lagi."

Rista menutup sambungan telpon dengan abangnya. Matanya terarah pada segalas susu buatan ibunya. Bahkan dia selalu manja soal  dibuatkan susu yang segampang itu. Rasanya Rista ingin menangis mengingatnya.

****

Rista berusaha mati-matian mengerjakan 30 soal pilihan ganda yang di sodorkan guru pengawas beberapa menit lalu. Mata pelajaran bahasa ini lebih sulit ketimbang soal saat penilaian tengah semester waktu itu. Rista jujur, semalam dia tidak sungguhan belajar. Waktu sebelum ibunya masuk dia hanya merombak seluruh cerpen yang dia buat pagi kemarin. Alhasil, soal bahasa yang seharunya mudah, menjadi sulit ditambah lagi tangannya yang kesulitan menggores pulpen.

Pengawas pergi di saat penilaian itu karunia. Tapi tidak dengan sekarang, ada CCTV yang mengintai di langit-langit belakang. Alhasil, semua yang memiliki niat buruk hanya bisa menghela napas termasuk Rista. Pada akhirnya dia mengerjakan soal dengan jurus silang indah.

"Sumpah, soal bahasa sama persis sama kisi-kisi. Nggak nyangka, Pak Jono yang killer sebaik itu."

Rista rasanya ingin memutar waktu jika tahu begitu."Sial! Gue semalem nggak buka kisi-kisi."

Salma menyerit curiga."Lagian lo semalem ngapain aja? Mentang-mentang HP baru jadi nggak belajar?"

"Bukan gitu," cicit Rista. Apa benar begitu? Kan dia jadi merasa. Kenapa dia jadi serba salah begini?

Selama pergantian menuju mata pelajaran ke dua, Rista hanya berdiam di kelas. Menatapi luka di tangannya, bukan belajar untuk penilaian selanjutnya. Salma sudah kembali dari kantin hanya menggeleng melihat teman dekatnya, lalu duduk membaca buku.

"Lo nggak belajar? Nanti nyesel lagi,"ujar Salma pada akhirnya, sudah jengah melihat aktivitas temannya.

"Pada akhirnya juga tetep nyesel kalo ujung-ujungnya nemu soal susah dijawab silang indah."

"Yaa, seenggaknya lo usaha kek. Nantinya lo juga mageran kalo disuruh remidi."

Rista diam saja. Mungkin dia juga lupa janji pada ibunya untuk mendapat nilai bagus di semester ini.

****

Rista sudah bertekad untuk memenangkan lomba cerpen pertamanya ini. Setiap saat ada ide yang datang, dia selalu menulisnya di ponsel, di perbaiki setelahnya. Sekarang dia sudah dapat 3 part, paling tidak Rista harus menematkan 10 part.

"Nggak pulang?"

"Nanti."Rista sudah tahu suara siapa itu. Jadi, dia tidak perlu mendongok dari kegiatan menulisnya.

Rista merasa ada orang lain yang duduk di sampingnya, di halte bus sekolah ini. Tapi apa padulinya ketika dia sedang menulis?

"Masih sakit tangannya?"

Untuk kali ini Rista mendongok, menemukan sepasang mata gelap yang menatap lukanya."Baru sekarang tanya gitunya? Kemarin waktu kesiram marah-marah nggak jelas, bilang nggak ati-ati lah. Gue 'kan baru pemula."

Rista berdecak karena Saka hanya berdehem. Jadi, sekarang dia tidak mau peduli lagi dengan cowok itu. Perubahan Saka paadanya itu bagai pagi sama malam, waktu pertama mereka ketemu sampai sebelum dia membeli ponsel, Saka itu sangat hangat, baik. Bahkan kalau bisa Rista sudah jatuh cinta. Tapi sekarang?

"Tapi nggak kapok, kan?"

Tuh kan, bukannya minta maaf?

"Trauma iya, tapi kapok nggak."

Saka tersenyum miring."Bagus kalo gitu. Nanti belajar lagi."

"Lo kenapa sih peduli banget sama gue?"

"Ya, karena gue peduli."

"Cih, nggak kreatif!"

****

Kebumen, 3 Januari 2022


Bakti Terakhir | RistaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang