"Sini biar Rista aja yang seka ibu. Abang suapin ibu aja."Rista mengambil alih baskom dari Ardan dan mulai menggulung pakain panjang yang di kenakan ibunya.
Ninik tersenyum haru. Di kelilinggi putra-putrinya membuat Ninik merasa berharga. Ada rasa bangga melihat mereka tumbuh dewasa dengan kasih sayangnya. Jika dia boleh egois, Ninik tidak ingin melepas keduanya.
"Kenapa ibu nangis?"Ardan khawatir dan mengusap pipi ibunya menghapus jejak air mata.
"Udah bu marahin aja abangnya. Berhenti kuliah nggak izin ibu, kan."Rista menggeleng."Parah banget sih abang."
"Kompor lu!"Ardan mendorong kening adiknya hingga cewek remaja itu memberenggut tidak terima.
"Siapa ya yang selalu ceramahin kalo nggak boleh ngomong lo-gue sama orang yang lebih tua?"cibir Rista.
Respon Ninik tertawa tanpa suara, dan kedua anaknya kembali melanjutkan pertengkaran.
"Emang di sini siapa yang lebih tua?"
"Ya ibu lah. Lo gimana sih?"
Ardan mengalah, menghela napas panjang. Tidak akan ada habisnya jika dia terus meladeni adiknya.
"Kalian ini kalo udah bareng pasti bertengkar. Apa cuma kalo ibu sakit kalian baru kompak?"Ninik menggeleng, tersenyum heran.
"Jangan bicara kaya gitu bu ah nggak baik,"balas Ardan menyuapi ibunya lagi.
"Nggak, ibu hanya mau kalian selalu bersama jangan keseringan bertengkar ya. Ardan jagain adiknya. Rista juga harus nurut sama abang."
Rista yang sedang belajar berbakti pada ibunya, tentu saja mengangguk sangat semangat. Sarapan pagi ninik, berwarna kali ini. Dia berdoa semoga anak-anaknya selalu baik-baik saja.
****
Saat Saka bilang jangan; sia-siain kehadiran orang tua terakhir lo Ris, apalagi beliau surganya elo. Jujur dia sangat takut saat itu. Selama ini hidupnya lebih banyak bergantung pada sang ibu. Sejak ayahnya meninggal, dia tidak melulu merasa kehilangan karena moment bersama beliau hanya Rista rasakan sebentar saja. Meski, jika bisa dia juga ingin ayahnya bisa hadir untuk kedua kalinya.
Dan, hidup Saka kecil yang malang, mengingatkan Riata bahwa kehadiran ibunya yang terkadang membuatnya jengkel dan bosan sangat berarti untuk hidupnya. Tapi, sering kali abai terhadap kehadiannya. Membuat beliau menghela napas panjang setiap kali lalai dengan pertanyaan beliau. Juga beribu cara untuk bisa memenuhi kemauannya.
"Apa yang ingin lo lakukan seandainya waktu bisa diputar kembali?"Rista menerima minuman dingin yang disodorkan Saka. Cowok itu mengerutkan kening. Rista pun menambahkan,"moment sama orang tua lo. Di saat lo kecanduan game dan abai sama mereka."
"Banyak hal."Saka membuang napas."kalo mereka bisa diberi kehidupan kedua, gue ingin berbakti sama mereka. Cuci kaki ibu sama ayah."
Ada tawa peneyesalan setelah Saka mengatakan itu. "Udah terlambat."
Dan lagi-lagi ucapan Saka bikin hati Rista tergerak sekaligus takut. Takut apa yang terjadi pada Saka juga menimpanya. Rista tidak mau!
Tapi sepertinya ketakutan Rista perlahan sirna melihat perkembangan kesehatan ibunya yang membaik. Sore hari Ninik sangat antusias mencicipi sayur asem yang dibuat oleh Rista. Rista merasa hari-harinya akan lebih menggembirakan melihat senyum ibu seperti ini.
"Coba Rista bikin tadi siang, pasti seger pas cuacanya panas tadi."Ninik tersenyum sampul.
"Ah, bener juga. Ya udah besok Rista bikin lagi, bu."
Ninik mengangguk.
Seolah ada kehangatan menjalari dadanya melihat senyum ibu kembali tumbuh. Di bibirnya yang masih pucat, seulas garis itu sungguh ingin sekali Rista lihat selama-lamanya. Seperti ada medan magnet yang membuat mata Rista tak bisa menolak berpaling. Wajah ibunya seolah bercahaya. Mustahilkah dia meminta keabadian ibunya? Konyol!
Rista teringat perbincangan dengan Saka.
"Bu, izinin Rista cuci kaki ibu, ya."
Ninik diam lama.
"Em."
Kelakuan Rista di masa lalu, seperti apa itu, bagi Ninik adalah sewajarnya bagi seorang anak. Dia bolah manja, meminta seusatu meski keadaan tidak memadai, mengabaikan kehadirannya, malas di suruh ini-itu. Wajar. Baginya, seorang ibu, adalah mendidik dengan kesabaran dan kasih sayang.
Ninik hanya seorang ibu, yang tulus memberikan dua kasih sayang pada anaknya, sebagai seorang ayah dan ibu.
"Rista minta maaf ya bu buat semua kelakuan Rista yang nggak nurut sama ibu, nyusahin ibu, ngecewain ibu, minta ini minta itu. Doain Rista ya bu biar bisa banggain ibu nantinya."
Ninik mengelus puncak kepala Rista. Sesak menghampiri dada Rista seketika, dia menggigit bibirnya kuat. Bayang-bayang kematian ayahnya menghantui pikiran Rista. Dia takut. Banyak sekali hal yang ingin dia lakukan bersama kedua orang tuanya. Tersisa ibunya yang menjadi orang tua terakhir, surganya, dunianya. Rista mencoba berbakti, membanggakan ibu, menggapai surga di telapak kaki ibu.
Allah, tolong jangan ambil ibu sebelum Rista menunaikan baktinya.
Kata ibu, berdoa untuk mereka juga berbakti. Maka seterusnya Rista akan selalu menyebut nama ibu dan ayahnya di setiap untai doa.
"Hati-hati bu,"Rista membantu Ninik naik ke hospital bed.
"Rista istirahat juga sana. Ibu mau tidur."
Rista tersenyum menarik selimut untuk ibunya. Dia tidak berjanak dan duduk di kursi menggenggam tangan Ninik.
"Nggak papa bu, Rista mau temenin ibu."
****
Kebumen, 17 Januari 2022
KAMU SEDANG MEMBACA
Bakti Terakhir | Rista
Short StoryIni tentang Rista yang tidak tahu arti menghargai. "Maafin Rista bu, Rista mohon bangun. Biarin Rista berbakti sama ibu, biarin Rista mengabdi buat ibu, biarin Rista bahagiain ibu, biarin Rista menggapai surga di telapak kaki ibu. Rista mohon bu, b...