2

25 18 11
                                    

Di sekolah Rista sangat senang, merasa tidak insecure lagi jika berkumpul dengan teman perempuannya. Saling memamerkan apa yang di lalukan di ponsel pintarnya. Dia tertawa keras seolah lupa bahwa ibunya bekerja keras untuk membayar ponsel di tangannya yang bisa di bilang belum sepenuhnya miliknya. Belum di bayar.

"Liat ini Ris, ganteng banget nggak sih? Nggak salah sih cowok-cowok di kelas kita pada sirik sama dia."

"Siapa sih namanya?"

"Hah siapa ya? Eh kok gue pikun!"

Rista dan kedua temanya tertawa. Suasana kelas di saat jam kosong bahkan lebih enak ketimbang jam istirahat. Merasa bebas dari pusingnya mata pelajaran, dan tidak perlu capek-capek mikir.

Rista berhenti tertawa saat melihat notifikasi dari grup yang baru diikutinya beberapa menit yang lalu. Buru-buru dia mengecek apa isi notifikasi tersebut. Dan, matanya terbelalak melihatnya, grup kepenulisan yang diikutinya ternyata mengadakan lomba menulis cerpen.

Dengan semangat membara Rista segera membaca persyaratan yang tercantum di keterangan. Rista sangat suka menulis cerpen, dan segera saja dia mendaftar tanpa pikir panjang. Dia sih belum kepikiran ingin buat cerpen apa, tapi masa bodo yang penting ikut. Menang tidak menang urusan belakang.

"Eh Ris, mau kemana?"

Rista berbalik sebentar."Perpus."

"Eh! Bentar lagi jamnya Pak Yugo!

"Bentaran doang!"

Rista tidak tahu bisa semangat seperti ini ikut lomba cerpen. Biasanya dia hanya menulis untuk dirinya sendiri, tapi kali ini dia merasa ingin sekali karyanya di baca banyak orang.

Di perpustakaan hanya ada dua penjaga wanita dan beberapa orang berkunjung. Rista menyapa dua penjaga perpus itu, dibalas pula ramah. Rista menyusuri rak-rak buku fiksi. Tujuannya mencari bahan untuk cerpennya, siapa tahu mendapat inspirasi.

Saking fokusnya, Rista tidak menyadari jika di sampingnya ada orang yang sama hendak mengambil buku yang dia incar.

"Eh!"kejutnya melihat orang itu.

Cowok itu merampas buku dari Rista, dan pergi melewatinya dengan raut datar. Remaja 16 tahun itu segera sadar harus berbicara dengan Saka. Dia pun mengikuti cowok itu duduk berhadapan.

"Ka, thanks ya udah pilihin HP buat gue."Rista menunjukan HP barunya yang dibalas tatapan datar oleh Saka.

"Kakak gue yang pilih."Cowok itu fokus pada bacaannya.

Dahi Rista berkerut. Saka belum pernah tidak acuh begini padanya, dia selalu ramah, bahkan sering menawarkan tumpangan saat pulang sekolah. Ada apa dengan Saka? Pikiran Rista terbang pada ponsel barunya, adakah yang salah dengan ini? Masa iya Saka iri dengan ponsel barunya? Tidak mungkin, ponsel Saka saja lebih bagus.

"Gue ada salah ya?"

Saka berdiri dan menatapnya. Wajahnya masih tidak berekaspresi membuat Rista bingung.

"Bukan ke gue, tapi ibu lo."

****

Rista pulang dengan keadaan rumah yang sepi. Pintunya masih terkunci, dia menggunakan kunci cadangan yang dibawa. Apa ibunya belum pulang?

"Rista pulang bu."Gadis kelas 2 SMA itu clingukan  mencari keberadaan ibunya, melongok ke pintu dapur. Tapi tidak ada tanda ada seseorang."Apa ibu nggak pulang?"

Sesibuk apapun di pabrik, biasanya ibu akan pulang menyambutnya dan menyiapkan makan siang untuk Rista. Anak bungsu itu selalu di manjakan oleh ibunya. Seharusnya hidup yang sederhana bisa membuat Rista berinisiatif mengurus dirinya sendiri. Tapi dia tidak pernah mencobanya.

Dia hanya kurang didikan tegas seorang ayah dan kasih sayangnya. Atau dia saja yang tidak tahu diri?

"Halo!"

"Udah pulang, dek?"

Rista mendengar keramaian di ujung telpon. Dia menebak kakaknya sedang di kantin bersama teman-teman.

"Udah."

"Ibu mana?"

"Nggak pulang, mungkin. Lagi ngapain?"

"Di kelas nunggu dosen."Tebakan Rista salah."Ris, abang mau bicara baik-baik sama kamu. Kamu minta HP baru ke ibu?"

Mendengar pertanyaan kakaknya, Rista menautkan kedua alisnya."Kenapa sih, sejak Rista beli HP baru semua orang kaya nggak suka?! Tadi Saka, sekarang lo bang!"

"Rista! Nggak boleh bicara lo-gue sama orang yang lebih tua."

Kakaknya selalu saja begitu!

"Dengerin abang Ris. Kamu udah memberatkan ibu."

Di situ napas Rista terasa tercekat sendirinya. Apa benar begitu? Rista tidak pernah melihat ibunya mengeluh capek di depannya, atau sakit ibunya bahkan masih bangun pagi dan masak untuk sarapan. Pikiran Riata masih sangat pendek, dia belum beranajak dewasa sesuai usianya. Rista berpikir ibunya kuat, dan ingin membahagiakanya itu saja. Dan yang Rista lakukan hanya tersenyum dan tertawa, ketika mendapatkan apa yang dia inginkan.

Rista suka melihat ibunya tersenyum, karena tawa dan senyumnya. Sependek itu pola pikirnya.

"Sekarang lihat, ibu nggak pulang 'kan?"

Bakti Terakhir | RistaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang