11

3 2 0
                                    

Rista duduk di ruang depan harap-harap cemas. Beberapa menit yang lalu ibunya baru saja pergi untuk mengambil rapor ke sekolah. Dia sudah pesimis duluan. Dengan bagaimana dia mengerjakan soal dengan jurus silang indah sudah pertanda nilainya akan buruk. Meski pada akhirnya nilai rapor adalah akumulasi nilai tugas juga ulangan harian tetap saja, kebanyakan nilai Rista pas KKM.

Selain harap cemas menunggu nilai rapornya. Riata juga tengah menunggu pengumuman pemenang cerpen yang akan diumumkan siang nanti. Bagaimana tidak berdebar jantungnya sekarang menunggu hasil kerja kerasnya yang sangat dia nantikan?

"Ris, besok abang dapet gajian. Kamu minta nomor rekeningnya bu Samah ya biar abang transfer ke beliau."

Ada sedikit keuntungan abangnya telpon. Tapi tidak juga mengurangi kecemasannya.

"Iya bang kalo sempet,"jawab Rista cepat.

"Kenapa kamu?"

"Nungguin nilai rapor. Gila aja gue sampe tremor."Abangnya di sebrang sana tertawa. Ardan pasti sedang membayangkan wajah lucu adiknya.

"Emang nggak belajar?"

"Iya belajar. Belajar buka buku doang. Gimana kalo nilainya jelek bang?"

"Ya mau gimana? Salah kamu nggak belajar. Nyesel juga 'kan ujungnya."

"Iya-iya gue salah."

Bertepatan saat abangnya mengakhiri panggilan, suara ketukan pintu terdengar. Jantung Rista semakin berdebar keras. Dia tahu kalaupun nilainya jelek ibunya tidak akan marah padanya. Masalahnya, ini beda, Riata baru ingat jika punya janji untuk mendapat nilai bagus semester ini. Janji yang dibuat jika dia mendapat ponsel baru.

Sudah pasti, Rista akan amat sangat menyesal bila nilainya jelek. Apalagi jika ingat kata-kata Saka kemarin. Ah, bodoh!

"Bu?"Rista memanggil takut-takut, Ninik hanya melewatinya saja saat dirinya membuka pintu.

Rista berdiri seperti patung. Ibunya sudah duduk di kursi, kapalanya bersandar sembari memijit pelipisnya.

"Nggak mau tahu nilai rapotnya?"

Rista sebenarnya takut melihat hasil nilainya tapi mau bagaimana dia juga penasaran. Jadi, dia mencondongkan badan meraih buku bersampul hitam dengan tulisan berwarna emas tersebut.

Ada tiga nilai dengan keterangan C. Itu berarti buruk. Rista pun menghela pasrah, sesuai dugaannya.

"Bu..."Rista bertekuk lutut di depan ibunya."Rista minta maaf."

Jika Rista tahu rasanya akan menyesal seperti ini, melihat wajah ibunya yang kecewa. Seharusnya kemarin Rista belajar lebih banyak, serius. Dan mendapat nilai yang baik, membuat ibunya bangga. Tidak seperti ini.

"Rista waktu itu janji 'kan sama ibu?"Suara ibu terdengar dalam. Menyaratkan kekecewaan mendalam terhadap putrinya yang dia rawat begitu baik.

Kepala Rista terus menunduk, air matanya turun dengan sendirinya. Seolah ada tangan tak kasat  meremas jantungnya sangat kuat, kukuknya menancap. Sangat sesak dan menyakitkan. Suara ibunya ini lebih menakutkan ketimbang beliau marah besar padanya.

"Ibu nggak marah soal nilai Rista jelek. Rista udah janji sama ibu, tapi Rista mengingkari. Ibu nggak pernah ajarin Riata buat bohong 'kan?"

Tangan Rista semakin kencang. Ninik memeluknya dengan dekapan paling hangat yang tidak bisa digantikan olah siapapun bagi Rista.

"Besok buat lebih baik lagi, ya."

Nyatanya mau sekecewa dan sefatal apapun kesalahan anaknya, seorang ibu akan selalu membukakan pintu maaf selembar-lebarnya. Sekalipun seorang anak tidak memintanya.

******

Siang hampir sore. Pintu rumah Rista di ketuk berulang kali. Tidak ada jawaban dari bawah selimut dimana Rista menyembunyikan diri. Telinganya seolah dia un-fungsikan. Isakan-isakan kecil masih keluar dari bibirnya. Wajah kecewa ibunya saat berpamitan ke pabrik masih saja terngiang di kepalanya.

"Maafin Rista, bu. Maafin Rista, bu. Maafin Rista, bu."kalimat itu terus berulang keluar dari bibirnya.

Tiba-tiba ponsel Rista berdering tapi dia enggan bergerak barang sedikitpun. Sampai orang yang sedari tadi mengetuk berteriak kesal.

"Permisi ini ada paket atas nama Rista Kalea dari komunitas Pasti Bisa Menulis! Kalau tidak ada orang paketnya saya bawa pulang aja ya!"

"Sialan."Rista melompat dari bawah selimutnya dan berlari ke pintu depan. Seolah tidak peduli keadaan rambut dan wajahnya yang mengenaskan, Rista tanpa pikir panjang langsung membuka pintu.

"Sini!"Sekonyong-konyong Rista langsung merampas kotak coklat tersebut dari tangan Saka. Meski heran kenapa bisa Saka yang menghantarkan bukan tukang pos. Tapi Rista lebih penasaran apa isi paket hadiah lomba cerpenya.

"Serasa mimpi gue bisa menang lomba cerpen!"Sehabis nangis dia tersenyum lebar. Rista meningkat tinggi piagam sertifikat dan medalinya, masih ada uang senilai 5 ratus ribu, dia menjadi pemenang ke dua.

"Nggak ada pengorbanan yang sia-sia. Gue bangga sama lo."Saka ikut tersenyum menepuk puncak kepala Rista dua kali.

"Thank you."Rista duduk dan menepuk sisi sampingnya bermaksud menyuruh Saka duduk juga.

"Lo tahu nggak karena kata-kata lo kemarin gue jadi takut banget."Rista menunduk melihat hadiahnya lagi."dan sekarang beneran terjadi, gue ngecewaiin ibu gue gegara nilai semester ini anjlok banget. Padahal gue udah janji buat dapet nilai bagus kalo gue dapet HP baru."

"Dan lo nangis berjam-jam sampe kurir pos dateng ke rumah lo aja nggak denger?"Saka tertawa pelan.

Refleks, Rista menyentuh rambut beserta mukanya."Berantakan banget ya gue?"

"Ya."

"Sumpah, lo jujur banget! Nggak ada baik-baiknya apa hibur gue dikit?"

Saka tertawa, rambut Rista yang berantakan membuat tangannya gatal untuk tidak merapihkannya."Gue yakin ibu Ninik pasti bangga sama lo, Cewek Manja."

Saka mengangkat rambut Rista tinggi hingga kepalanya terlihat seperti memiliki telinga panjang layaknya kelinci. Tawa Saka datang lagi, namun Rista tidak. Hingga Saka menyadari lelucon yang dia buat tidak lucu bagi Rista. Mereka saling menatap, dengan tangan Saka masih di atas kepala Rista.

Waktu seolah berhenti, membiarkan mereka menyelami dunia yang berbeda. Saling lebih mengerti oleh pancaran rasa yang tersirat di bola mata. Yang sebenarnya saling mereka tutup dan seolah pura-pura lupa bagaimana cara membaca. Rista-Saka berjanji, tidak akan ada rasa yang saling diungkapkan.

Saka berdehem.

"Lo nggak ada iket rambut apa? Perasaan rambut lo kaya mba kunti setiap hari."

"Cih! Mba kunti siang bolong. Kagak ada!"Rista memberenggut lalu menepis tangan Saka. Kontak mata yang terjadi pun berakhir. Dan kecanggungan sirna ketika suara ponsel Rista berdering.

"Halo?"

Hanya satu kata itu terucap dari bibir Rista dan semuanya menjadi abu-abu. Pandangan Rista mengabur, air mata itu turun lagi tanpa mengedipkan matanya. Ponsel yang tergenggam jatuh seperti kertas.

"Bu.."

****

Apa yang terjadi sama ibunya?

Kebumen, 12 Januari 2022

_To be continue_

Bakti Terakhir | RistaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang