#11 One Man Down

393 65 0
                                    

"Ayo kita pulang." Jisoo segera menarik ujung baju Lisa, membuat sepupunya itu hampir terjatuh.

"Kenapa? Katanya aku tidak boleh meminta pulang cepat-cepat sekarang malah kau yang seperti ini." Lisa menatap tubuh Jisoo yang berjalan sangat cepat mendahuluinya dan tidak menjawab sepatah kata pun pertanyaan yang ia lontarkan.

"Sudah kita pulang saja, lagian sudah hampir malam juga. Kau tidak ingin paman dan bibi marah karena jam segini kita belum pulang dan mandi kan? Nanti kau di siram lagi pakai selang." jantung Jisoo masih berdegup cepat, adrenalinnya tidak turun seperti biasanya, ada perasaan lain yang sekarang ia rasakan dan ia berusaha menutupinya dari Lisa.

"Itukan karena kau yang menyiramku bukan mereka."

***

Semenjak hari itu, Jisoo selalu diliputi dengan rasa penasaran sekaligus amarah yang memuncak di saat-saat tertentu dan kebanyakannya tidak tepat waktu. 

"Kenapa jam segini kalian tidak menerima pesanan hah? Aku sangat buru-buru dan konsumenku sedang ingin minum kopi kalian." seorang lelaki yang bekerja sebagai kurir makanan mulai memaki Jisoo yang sedang membersihkan station kerjanya saat kafe ini sudah tutup, bekerja di shift sore memang sedikit menyebalkan karena selalu saja ada konsumen yang datang di saat kafe sudah tutup dan dengan jelas papan di depan menuliskannya dengan tulisan besar. TUTUP.

"Sudah aku katakan kalau kafenya sudah tutup kan?"

"Ya setidaknya buatkan dulu untuk konsumenku ini satu saja pesanannya." ia menunjukkan nama pesanannya namun Jisoo menolak untuk membuatkannya.

Brakkk..

"Apa kau tidak diajari oleh atasanmu untuk menghargai konsumen hah? Aku disini juga untuk membeli kopimu, kau juga di gaji dari hasil penjualan ini kan?" bentak lelaki itu. Jisoo hanya menghela napasnya pelan kemudian berjalan pergi ke gudang untuk mengambil sisa stok kopi tapi bukan untuk lelaki itu.

"Sebaiknya kau mengusirnya Seulgi-ya sebelum aku yang melakukannya sendiri." Jisoo mengatakan itu dengan nada yang sangat dingin ketika Seulgi hanya bisa menggeleng pelan melihat konsumen yang seperti itu.

"Apa tidak kau berikan saja apa yang dia minta?"

"Akan aku berikan, lagi pula aku tau alamatnya jadi biar aku yang memberikannya langsung, aku sudah malas melihat tampang lelaki itu. Sungguh." Seulgi pun berjalan menghampiri lelaki tadi, memberitahukan keadaannya dan menolak permintaannya dengan halus, meskipun lelaki itu tidak berhenti membentak Seulgi namun ia bisa sedikit lebih sabar menghadapinya ketimbang Jisoo.

Jisoo membuatkan pesanan itu dengan sepenuh hati, entah kenapa ia sangat senang membuatkan pesanan yang dibeli konsumen itu sambil mendengarkan lelaki kurir tadi terus mengoceh di telpon karena permintaannya di tolak oleh Jisoo.

***

"Hey, berapa gajimu sampai-sampai kau berlaku seperti itu di depanku hah? Dasar wanita tidak tau diri." sepanjang jalan Jisoo membawa kopi pesanan konsumennya lelaki tadi masih mengikuti Jisoo dengan sepeda motor yang ia tumpangi. "Pesananku tidak di bayar dan kau malah enak-enak pulang dengan tenang? Aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi padamu, kau harus membayar kerugianku." hardiknya tidak berhenti.

"Aku akan meminta dengan halus kepadamu Pak, bisakah kau berhenti mengikutiku karena aku sudah lelah mendengarkan ocehanmu."

"Kurang ajar sekali mulutmu itu, aku kehilangan uang karenamu."

"Iya dan aku kehilangan waktuku dengan percuma karenamu, impas kan?" Jisoo berusaha mencari sesuatu yang bisa ia gunakan untuk melawan lelaki itu namun tidak ada apa-apa disana. "Bolehkah aku membunuhnya saja?"

***

Jisoo berdiri di depan rumah yang sama seperti kemarin, rumah yang terakhir kali ia datangi. "Permisi.."

"Kenapa kau memberikan pesanan itu kepada konsumennya langsung hah? Harusnya kau memberikannya kepadaku agar aku bisa mendapatkan bayarannya, kau benar-benar tidak tau diri." Iya, lelaki itu masih mengikuti Jisoo meskipun jarak kafe dan perumahan itu tidak terlalu jauh tapi tidak ada sedikit pun niatan ia untuk pergi dan membiarkan Jisoo melakukannya sendiri.

"Jisoo-ya? Kau tau darimana alamat rumahku?" Jennie berjalan keluar dari rumah sambil memastikan kedua orang tuanya tidak terbangun.

"Kalau kau lupa biar aku ingatkan, kau pernah mengajakku kemari waktu itu." Beberapa kali Jisoo mengingat bagaimana letak posisi peralatan yang ada di rumah Jennie dan ia masih mengincar sang ayah untuk bisa membalaskan dendamnya. "Lelaki itu bilang kalau kau memesan kopi ini, tapi aku tidak bisa melayaninya karena kafenya sudah tutup jadi karena aku tau yang memesannya adalah kau, aku berinisiatif memberikannya secara langsung dan lelaki itu tidak juga membiarkan aku pergi." Jisoo memberi isyarat kalau kurir tadi tetap diam di depan rumah Jennie dan menatap ke arah mereka berdua.

"Hmm.." Jennie berjalan mendekat kemudian mengambil kopi pesanannya dan berbisik dengan lirih. "Kau tidak berniat membunuhnya kan?"

Jisoo mengendikan bahunya cepat, Jennie yang tau kalau Jisoo memang sudah menahan amarahnya sedari tadi hanya bisa terdiam dan berekspresi dingin.

"Aku akan segera pulang, kau tidak perlu membayar kopinya anggap saja itu hadiah dariku."

Grrrpp.

Jennie menarik tangan Jisoo, menatap Jisoo dengan tajam. "Kau tidak meracuni minumanku kan?"

"Kau tidak percaya padaku?" Jisoo merebut kopinya dan meminumnya sedikit. "Aku akan mati sebentar lagi kalau aku meracuninya dengan sianida."

Jennie hanya menyeringai, melepaskan genggamannya dan segera masuk ke dalam rumah, sekarang kembali menyisakan Jisoo dan si kurir menyebalkan. "Aku akan pulang, sebaiknya kau berhenti mengikutiku karena sejujurnya aku tidak suka diikuti."

"Kau sudah menghilangkan pendapatanku asal kau tau dan aku akan membuat semua kurir tidak lagi menerima pesanan ke kafemu." 

"Ya ya ya." Jisoo menganggap ucapan lelaki itu sebagai angin lalu. Malam ini ia sengaja tidak naik bus untuk pulang, ia memilih untuk berjalan kaki meskipun memakan waktu sekitar setengah jam.

Jalanan sudah terlihat sepi hanya ada Jisoo dan kurir itu, entah apa yang kurir itu inginkan tapi sepertinya ia tidak membiarkan Jisoo hidup tenang dalam kedepannya. Jisoo kemudian berjalan memutar dari rumahnya, mencari jalan setapak yang lebih sepi.

Gadis itu mengambil sebuah ranting dengan ujung tajam, kemudian mendengarkan kembali ocehan lelaki itu dan terdengar seperti langkah kakinya yang berjalan mendekatinya, Jisoo berbalik melihat lelaki itu hendak menamparnya.

Srrtt.

Darah berhamburan ke sekelilingnya, Jisoo segera menendang tubuh lelaki itu menjauh darinya sebelum ia ambruk ke arah Jisoo. "Leher adalah lokasi paling cepat dimana kau bisa menghabisi seseorang, leher adalah lokasi yang paling berbahaya kalau sampai kau terkena hantaman disana karena disana ada bagian tulang belakang penyambung semua saraf ke seluruh tubuhmu. Lokasi leher di bawah telinga pun bisa membuatmu hilang keseimbangan ketika seseorang memukul atau menendangmu di area itu, apalagi aku yang menancapkan ranting itu kesana, maafkan aku kalau kau harus mati, tapi kau tidak kunjung menutup mulutmu sebelum aku geram." Jisoo menyeret tubuh lelaki itu masuk ke dalam tempat sampah yang besar, menarik ranting yang menancap tadi dan membawanya untuk di buang terpisah.

"Sungguh, seperti inikah? Seperti inikah cara yang tepat untuk bisa selalu mengunjungimu Jen?" geleng Jisoo pelan sambil tersenyum ngeri. "Berapa banyak orang yang harus berkorban untukmu? Berapa banyak yang bisa menjadi perantara aku untuk mendekatimu? Lebih tepatnya, mendekati ayahmu." Jisoo melemparkan ranting tersebut ke pekarangan orang lain dan segera masuk ke dalam rumah lewat pintu belakang agar Lisa dan kedua orang tuanya tidak curiga dengan noda darah di bajunya.

***

Bloody LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang