Kecurigaan

37 2 0
                                    

Bu Tini sangat kerepotan, sudah jam sebelas malam tapi Ria belum mau tidur. Bayi mungilnya sering menangis kalau tidur cuma sebentar dan bangun lagi. Bahkan tidak mau ditaruh di kasur, maunya digendong terus.

"Kamu kangen bapak, Nduk? Memang seharusnya bapak sudah pulang, tapi nggak tahu kenapa? Tidak ada telpon juga," ucap Tini sambil mengusap dahi bayinya yang terlelap. Dia mencoba menidurkan lagi, tapi Ria kembali menangis. Kali ini bayi itu dibiarkan menangis. Selain capek, Tini juga kepengen ke kamar mandi.

"Kenapa Bu?" tanya Ira. Anak keduanya muncul di kamar diikuti anak sulungnya Pramono.

"Rewel, Ibu mau ke kamar mandi dulu, tolong dijagain."

"Boleh Ira gendong?" Bicah enam tahun itu menawarkan diri. Tapi sang ibu ragu. Walau pernah menggendong tapi kondisi saat ini beda. Ira juga terlihat ngantuk begitu juga Pram.

"Kamu jagain saja sebentar."

"Kasihan adiknya menangis terus," ucap Pram.

"Nggak papa, le ... kadang memang perlu menangis agar lega dan tidak nyesek. Ibu akan ke kamar mandi dulu."

Sang ibu keluar kamar tanpa menunggu jawaban kedua anaknya. Ria masih terdengar menangis. Setelah dari kamar mandi, Tini duduk di ruang makan. Mengambil air hangat dan meneguknya. Badannya sedikit segar tapi pikirannya ke mana -mana.

‘Seharusnya kamu sudah pulang, Pak? Tapi kenapa belum pulang juga? Kamu tidak menelpon, ibu juga bingung harus menghubungi kemana? Biasanya jika beli gabah di kampung sebelah, bapak mampir di pesantrennya Abah. Tapi kenapa tidak bisa menelpon jika memang sedang ada di sana? Bukankah biasanya juga bisa pinjem telpon pesantren? Apa bapak sudah di jalan? Ada apa Pak? Tidak biasanya bapak seperti ini?’

“Bu … ibu baik-baik saja?” tanya Pram yang sudah ada di depannya. Sang  ibu menggelenggan kepala kemudian pamit ke kamar. Sampai di sana Ria tertidur digendongan Ira, Tini langsung mengambil dan       berusaha menenangkan. Setelah bisa ditidurkan, Ira diminta kembali ke kamarnya. Tini sendiri membaringkan badannya dengan sangat perlahan. Matanya yang sudah sangat ngantuk, terlelap dengan cepat. Tangannya memegang kedua telapak kaki Ria, jika bayi itu bergerak Tini juga akan menggoyangkan seperti diayun.

Perempuan yang baru melahirkan dua bulan itu kaget saat badannya merasa hangat. Sebuah tangan melingkar di perutnya. Dia segera bangun, saat mengetahui suaminya yang sudah ada di sampingnya dia segera berbalik dan memeluk dengan erat.

“Maaf, Bapak terlambat pulang.”

Bukan menjawab permintaan maaf suaminya Tini, menjauhkan pelukannya kemudian bangun. Dia mengamati suaminya dari ujung kaki sampai ujung kepala. Dia menanyakan apapun tentang suaminya, apakah suaminya kecelakaan atau diculik orang.

“Bu, Bapak baik-baik saja … baru pulang karena pak haji sedang hajatan. Bapak disuruh singgah, maaf ya?”
Tini memperhatikan suaminya yang dia rasa berbeda, wajahnya terlihat bersih. Rambutnya juga klimis dan terlihat habis dicukur.

“Nggak usah dipandangi saja, Ria pulas kan tidurnya? Bapak kangen.”

Dua insan itu meluapkan kerinduannya, Tini yang sejak semalam khawatir merasa lega dan bahagia. Apalagi suaminya memperlakukan dia dengan sangat berbeda. Dia merasa dipuja dan dimanja. Saat ditanyakan pada suaminya, lelaki yang semakin gagah di usianya yang berkepala tiga itu menjawab lagi kangen berat. Entah kenapa Tini merasa suaminya seperti berhati-hati.

***

"Bu, makan ya?"

"Jadi Bapak menikah dengannya ketika pulang terlambat saat Ria baru dua bulan?"

"Iya."

"Katanya Pak haji hajatan itu menikahkan Bapak? Tega banget Bapak bohongin Ibu? Malam itu Ria sangat rewel ternyata dia merasakan kalau bapaknya sedang berbulan madu dengan ...."

Tini kembali menangis histeris, sejak bangun lagi dia mau pergibtapu ditahan suaminya. Bahkan semua anaknya suruh keluar dan pintu dikunci dari kamar.

Setelah tadi memastikan Ria baik-baik saja dan meminta Pram dan Ira menjaga adiknya itu. Ria memang paling histeris dan frontal saat mengetahui bapaknya punya dua orang istri lagi dan empat anak dari kedua istei tersebut.

"Ibu mau keluar, Pak ... Ibu mau pergi! Hick  hick, ceraikan Ibu saja. Jadi selama ini ..."

Tini tidak bisa melanjutkan kalimatnya, tangannya memegang dada. Tini terlihat kesakitan, Darmawan berusaha mendekap tapi selalu ditepis.

"Jangan sentuh aku, Pak. Ternyata tanganmu dan seluruh tubuhmu juga buat bersentuhan dengan wanita lain. Dua orang ... itu menyakitkan."

"Maaf, Bu ... mereka tidak seperti Ibu. Selama ini Bapak selalu banyak di rumah. Walaupun merekaistri Bapak tapi prioritas Bapak selalu Ibu. Cinta dan sayang Bapak hanya untuk Ibu ...."

"Kalau cinta dan sayang kenapa tega mengkhianatai?"

Tini kembali menangis, kali ini Darma berhasil memeluknya. Entah sudah kehabisan tenaga atau Tini yang sudah pasrah dan lelah. Matahari sudah meninggi, cahayanya sudah masuk kamar mereka. Darma tidak membuka jendela tapi membuka hordengnya.

"Ibu ingat ketika Bapak mau pergi berdagang? 'Jaga pandangan, hati dan jauhi zina.' Bapak melakukan semua itu, diselamatkan dari zina. Tidak sedikit teman Bapak yang tidak tahan dan masuk ke lokalisasi. Tapi Bapak memilih masjid untuk menjag pesan ibu. Tapi apa yang terjadi? Anak Pak Haji ditinggal pergi saat akan akad nikah. Bapak yang sedang berdzikir di masjid didekati dan dimintai tolong. 'Hanya akad nikah saja,' ucap Pak Haji kala itu. Bapak yang belum cukup ilmu mengiyakan dengan niatan menolong."

Darma menghentikan ceritanya, dia merasakan pergerakan tubuh Tini dalam pelukannya mengendor tidak berontak seperti tadi.

"Jadi semua salah Ibu? Jika memang hanya akad buat apa mereka datang meminta Bapak menjadi wali nikah. Terus untuk Ibunya Kinanti apa menolong juga? Menolong dengan mengirbankan perasaan Ibu. Bahkan menjadikan Ibu orang bodoh sekarang. Julukan keluarga harminis hanya kedok."

"Bapak yang salah, Mama Kinanti Bapak nikahi karena ...."

Tok tok tok

Darma diam menatap pintu yang diketuk sangat keras dan terlihat bergetar. Suara Haidar memanggil nama bapak dan ibunya.

"Astaghfirullah ... apalagi Ya Allah. Jika sekarang saatnya hukuman datang padaku aku rela. Asalkan cukup aku dan di dunia saja hukuman itu Ya Allah. Aku memohon pada-Mu."

Istri-Istri BapakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang