Bab 3

21 0 0
                                    

Di KBMAp.lebih cepet ya

Ria menerobos masuk kemudian menatap wajah bapaknya dengan tajam. Gadis dua puluh tahun yang biasanya manis itu terlihat sangat garang.

"Jadi Bapak sudah membohongi kami selama dua puluh tahun lebih ... hick hick. Bapak tega menghancurkan nama baik keluarga kita. Selama inii kita turuti kemauan Bapak, menjaga nama baik keluarga ... tapi apa sekarang? Semua lelaki yang selama ini Ria tolak pasti akan tertawa puas dan meledek. Mereka akan mencibir dan menghina Ria, Pak. Kenapa Bapak seperti itu?"

Pak Darma diam tertunduk, sedangka Bu Tini memegang dadanya. Ira dan Pram yang ikut masuk juga hanya diam saja. Dua anak pertama itu mencoba memahami dan menjadi penengah.

"Ira tolong bawa adikmu keluar dulu."

"Bu ... Ibu masih mau bersama dengan lelaki ...."

"Ria, dia bapakmu ... biar Ibu yang menyelesaikan masalah ini. Kalian tunggu saja," sahut Bu Tini.

Ketiga anaknya kaget melihat sang ibu berkata agak keras. Dengan sigap, Pram menarik tangan Ria yang memberontak. Ira mengikuti dan menutup pintu kamar orang tuanya. Mereka menuju kamar Ria.

"Sudahlah, Dek semua ini sudah terjadi ... Bapak menikah dengan mereka. Anak-anak mereka berarti saudara kita. Secara hukum islam juga sah-sah saja bapak memiliki istri tiga."

"Tapi Bapak nggak ijin sama Ibu atau kita, Mas?"

"Itu bukan rukun menikah Ria, jadi ...."

"Karena Mas laki-laki, kan dan nanti juga akan seperti bapak, begitu?"

Pramono diam menunduk, lelaki yang wajahnya sama persis dengan bapaknya itu mengusap muka. Terlihat sedih dan kacau.

"Nggak begitu juga, Dek. Tapi semua ini sudah terjadi ... terus kita sebagai anak tidak bisa mengatur orang tua kita tunggu saja keputusan bapak dan ibu."

"Mas Pram benar, Ri. Mbak juga shock mendengar dan melihat semua ini, tapi mau bagaimana lagi?"

"Nama baik keluarga kita hancur, Mbak."

Ira menggeleng, dia mengusap punggung adik perempuannya kemudian menjelaskan kalau apa yang dilakukan bapaknya tidak semuanya salah di mata Allah. Berulangkali Ira meyakinkan adiknya kalau orang tuanya tetap yang terbaik. Selama ini bapaknya juga memberi kasih sayang yang tidak kurang bahkan secara materi mereka juga selelu berkecukupan. Bahkan semuanya bisa mengenyam pendidikan yang sangat layak.

Sementara itu di dalam kamar, Bu Tini duduk di lantai dekat jendela. Pak Darma yang tadinya di ranjang duduk di depan istrinya. Dia menjelaskan jika pernikahan dengan istri ketiga karena diajanda beranak tiga dan ditinggal mati suaminya. Dia diusir warga karena suaminya meninggal karena penyakit menular.

"Bagaimana Bapak bisa punya anak dengan mereka? Pati tetap melakukan hubungan suami istri, kan? Jadi selama ini ...."

Bu Tini tidak sanggup menyelesaikan kalimatnya. Dia menutup mukanya dengan kedua tangan, isakannya kembali terdengar. Badannya terguncang cukup keras karena dia menahan tangisnya agar tidak terdengar sampai di luar.

"Maaf Bapak tidak berani terus terang pada ibu. Bapak tidak mau ibu tahu karena Bapak tidak mau pisah dengan Ibu. Selama ini mereka hanya bertemu jika Bapak kebetulan berniaga ke kampungnya dan tidak pernah sengaja mengunjunginya."

"Apa Bapak tidak merasa berdosa seperti itu?"

"Kalau Mamanya Amran menerima dan sesuai kesepakatan di awal dengan Pak Haji. Bapak hanya melakukan akad nikah, jika terjadi kontak fisik karena Bapak takut dosa tidak menafkahi batin pada dia."

"Dia kan cantik, bersih dan anak orang kaya."

Darman menyenderkan badannya ke tembok menatap istrinya yang sangat kacau penampilannya. Tangannya mau menghapus air mata tapi tangannya ditepis sama Tini. Perempuan itu memilih berdiri kemudian memberingkan tubuhnya di ranjang menghadao tembok. Darma mengikuti berbaring di belakangnya. Tangannya sudah terulur dan mau meletakkannya di perut istrinya seperti biasa, tapi dia takut. Lelaki itu memilih meluruskan badannya dan menatap langit-langit kamarnya.

"Bu, mau minta apapun asalkan tidak bercerai," ucap Darma lirih.

"Bagaimana pilihan Ibu hanya bercerai?"

"Bapak nggak mau pisah dengan ibu ... kalau ibu mau, Bapak akan menceraikan mereka."

"Apa dengan menceraikan mereka. Luka ibu langsung sembuh?"

"Terua jika ibu yang bercerai dengan Bapak, apa ibu bisa sembuh juga?"

"Setidaknya tidak bersama dengan orang yang telah berkhianat. BApak pernah janji sama Ibu kalau tidak akan menduakan."
Lidah Darma menjadi kelu, dia menarik napas dengan sangat berat kemudian menghempaskannya. Air matanya menetes dari sudut mata, dadanya terguncang tapi tidak berani mengeluarkan suara tangisnya. Dia sadaar kesalahan ada pada dirinya.

"Berarti Ibu sudah tidak mendengar kata Bapak lagi? Ibu sudah punya jalan surga yang lainnya? Padahal pernikahan itu Bapak lakukan karena menghindari zina. Ibu tahu sendiri bagaimana Bapak, terus apa jadinya berjauhan dengan ibu. Jika teman yang lain memilih dengan cara yang tidak halal, Bapak tidak, Bu. Jika pada akhirnya Allah memberi jalan pernikahan Bapak bisa apa? Seandainya hari itu bisa menolak Pak Haji dan tidak punya rasa kasihan pada Mamanya Kinanti, semua ini tidak akan terjadi."

"Jadi Ibu yang salah?"

"Bukan begitu, Bu ... intinya Bapak tidak mau bercerai dari ibu. Sekarang mau bicara apapun Bapak pasti salah."

Darma memiringkan tubuhnya membelakangi istrinya. Kali ini dia yang memilih diam. Tini merasa aneh apalagi dia merasa tidak ada pergerakan dan desahan nafas dari suaminya. Dia segera membalikkan badan, memanggil nama suaminya dan menggoyangkan tubuh terlihat kaku.

"Pak, jangan pergi ... Pak, kenapa? Barusan nggak papa kok. Bapak jangan tinggalin ibu. Ya Allah, Ampuni hamba-Mu ini. Hamba masih ingin mendapat ridho suami agar bisa memasuki syurga-mu Ya Allah. Pak!!!"

Tini memeluk suaminya dengan air mata yang terus menetes dan mulut memanggil-manggil suaminya. Saat dia tak berkata lagi, sebuah tangan kekar mengusap punggungnya.

"Makasih, Bu ... ternyata Ibu tidak bisa kehilangan Bapak," ucap Tini lembut.

Tini segera menarik diri dari pelukan sang suami. Dia menjauh dan berdiri mematung di dekat jendela. Darma ikut bangun kemudian mendekati sang istri memeluknya dari belakang. Istrinya berontak, tapi Darma tidak perduli. Lengan kekar itu terus melingkar, apalagi tubuh dan tenaganya tidak sebanding. Suaminya tinggi besar sedangkan Tini tinggi tapi langsing.

"Bu ... semuanya masih sama dan tidak akan pernah berubah."

"Tidak mungkin karena ada anak-anak kamu dari perempuan lain. Aku juga yakin kalau anak kita terutama Ria tidak akan terima begitu saja."

"Anak kita akan selamanya menurut sama kita, Bu."

"Bisa lepasin ibu, Pak?"

"Bapak tidak akan melepas ibu."

Benar saja, Darma mengeratkan pelukannya. Kata maaf terus diucapkannya, tapi Tini tetap bungkam. Dia masih memilih berpisah. Walau jelas hatinya tidak siap. Tindakannya barusan memang membuatnya sedikit ragu untuk berpisah. Dia juga nggak tahubapa jadinya jika beneran berpusah dengan Daema.

Sementara itu di teras Amran sedang bicara dengan Haidar.

"Kondisinya belum kondusif, Bapak belum keluar kamar."

"Bilang saja, Mas maubketwmu sebentat, habus itu pulang."

"Mau apa ? Mau membawa bapak kami pergi. Puas sudah membuat malu keluarga kami? Nggak malu ibunya jadi pelak ...."

"Tutup mulutmu, walau bagaimanapun ibu tetep istri bapak. Entah bagaumana awalnya," sahut Amaran. Ria yang tiba-tiba keluar tambah emosi. Dia berusaha meraih tubuh Mama Amran tapi Haidar segera memeluk kakaknya. Tia makin histris bahkan berteriak tak pantas. Ira, Pram dan tetangga dekat jadi pada keluar melihat mereka.

Istri-Istri BapakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang