Bab 5 : Dilema Bapak

32 2 0
                                    

"Pak, Kinanti hanya minta waktu dua hari saja buat menemani sebelum akad dan pada saat akad. Masak iya tidak bisa? Selama ini Kinanti sudah banyak mengalah tidak pernah menuntut kehadiran Bapak. Tapi ini momen penting Kinan, Pak?"

"Apa nggak bisa ditunda, Nduk? Situasi lagi seperti ini," tanya Darma pada Kinanti. Lelaki menatap sedih pada Kinanti tapi dia juga bingung.

"Ya nggak bisa Pak? Semua sudah direncanakan, salah Bapak kenapa susah dihubungi, kenapa juga nggak bilang kalau punya istri dan anak lagi. Dua puluh tahun lebih Kinanti diam, Pak … Ki nurut sama ibu tapi ini pernikahan. Apa mau bapak Ki anggap meninggal sehingga digantikan wali hakim."

"Kinan nggak boleh begitu, dia tetap bapakmu. Jangan bicara sembarangan dan nggak pantas begitu!” Kinanti kaget mendengar ibunya bicara agak keras padanya. Padahal selama ini ibunya sangat lembut dan selalu memahami dan menenangkan dirinya.

"Kurang pantas bagaimana, Bu. Bahkan saat orang-orang menghina Kinan nggak punya bapak, Kinan tetap membela kalau bapak Kinan sedang berjihad. Bapak Kinan orang baik, suka menolong dan tidak mungkin tidak pulang. Walau kenyataannya hanya datang kepada ibu sekali kemudian jadi aku dan setelah itu tidak pernah datang lagi. Salah Pak, jika Kinan sekarang mau sama Bapak?”

Gadis manis dengan jilbab pasmina itu bicara dengan suara bergetar. Semua yang di ruangan itu terdengar menghela nafas berat. Begitu juga dengan Tini yang ada di dalam kamar. Dia mendengar semua pembicaraan karena jarak kamar dan ruang tamu tidak jauh. Ria juga sama, dia mulai punya rasa kasihan pada gadis yang  seumuran sama dia.

"Kenapa bisa sama pernikahan kalian, Kinanti di Bogor Barat dan Rinjani di Bogor Timur terus Bapak harus mengejarnya dalam sehari," ucap Darma sambil mengusap mukanya.

"Kenapa baru sekarang Bapak berpikir, pada saat Bapak menikahi kedua istri Bapak apa tidak kepikiran? Silahkan Bapak datang pada mereka tapi setelah menceraikan ibu," ucap Tini yang keluar kamar memandang sebentar pada kedua madu dan anak tirinya kemudian masuk kamar lagi. Pram meraih bahu ibunya dan menamaninya ke kamar.

"Kalian pulang dulu, Lasmi kamu tenangkan Kinanti. Liana kamu juga, Amran kamu anak laki -laki Bapak juga bantu Bapak dengan menyediakan waktu lebih. Beri penjelasan pada Nadia, Bapak akan cari solusi terbaiknya."

Suara Darma lirih, matanya menatap istri dan anaknya satu persatu. Tapi semuanya tidak ada yang bergerak dan bicara.

"Bapak juga tidak mau seperti ini, semuanya sudah  terjadi," lanjut Darma.

Semua masih diam dan ditempatnya masing-masing.  Hanya mata mereka yang saling pandang. Tidak ada yang berani bicara maupun pergi meninggalkan tempat duduknya. Lasmi dan Liana kedua istri yang selama ini jarang dikunjungi terlihat sedih. Ada harapan di mata mereka bisa  bahagia bertemu  dengan suaminya. Tapi semuanya sirna, harapan tinggal harapan. Mereka malah dihadapkan dengan permasalahan yang pelik. Jangankan untuk bercengkrama sekedar cium tangan saja tidak bisa. Hanya mata mereka yang mengharap lebih.

"Baiklah ... kalian lebih suka Bapak tiada? Kalian sudah tidak menganggap Bapak dan tidak mau mendengar ... Bapak yang pergi!"

Darma bicara agak keras, setelah itu bangkit berdiri dan melangkahkan kakinya keluar rumah. Ira yang menyadari bapaknya pergi segera menyusul.

"Bapak mau kemana? Rumah Bapak di sini?"

Pertanyaan Ira tidak didengar Darma. Lelaki paruh baya itu pergi dengan tergesa tanpa membawa apapun. Hatinya juga sangat terluka, walau sadar kesalahan ada padanya tapi dia juga tidak bisa menolak takdir.

"Puas bapaknya pergi? Atau mau bapaknya seperti kemaren pagi? Berada antara hidup dan mati? Aku bisa membuatnya," ucap orang yang memakai pakaian serba hitam. Lelaki itu tersenyum tipis kemudian berlalu begitu saja. Ira bengong tidak tahu apa yang dimaksud. Dia melihat bapaknya yang sudah menghilang dengan cepat.

Istri-Istri BapakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang