3. Kehilangan Pekerjaan

392 23 1
                                    

Pagi ini, langit tak terlalu cerah. Awan-awan putih menyingkir ke pinggir. Enggan beradu dengan awan hitam yang garang. Mentari turut bersembunyi, sebab percuma bersinar bila tak sampai ke bumi.

Udara dingin menusuk tulang. Riana mendesah sebal. Berhubung semalam sudah membeli jaket, jadi Riana bisa menggunakannya sekarang.

Gerimis mulai turun, menari-nari dibuai angin. Sekarang, barulah ia teringat, kenapa tidak beli payung sekalian. Cuaca di Bandung akhir-akhir ini susah ditebak. Paginya mendung, siang masih terlihat cerah, sore hari tiba-tiba turun hujan.

Riana sedang berada di lobi hotel. Ia menunggu taksi online pesanannya, yang akan tiba lima menit lagi.

Ia menunduk, menatap perut yang masih rata. Ada rasa tak percaya, kalau dirinya sudah menjadi seorang calon ibu dari anak laki-laki yang pernah dicintainya.

Ya, pernah. Sekarang, sudah tiba waktunya Riana melupakan Niko. Riana sadar, meskipun sama-sama mencintai, mereka tak bisa bersama karena ada Indy.

Rasa bersalah pada sahabatnya baru terasa sekarang. Untung saja dirinya cepat sadar. Kalau tidak, Riana akan jadi wanita bodoh yang diperalat cinta selamanya.

Ia sudah tidak mementingkan cinta lagi. Di dalam pikirannya hanya ada cara menjelaskan pada Risa dan orang tuanya, saat mereka tahu kebenarannya.

Sebuah taksi dengan nomor plat seperti yang Riana pesan berhenti di depan lobi hotel. Riana setengah berlari menghampirinya dan langsung masuk ke dalam. Ia menyebutkan tempat pertemuan dan duduk dengan tenang.

"Wajahnya pucat, Neng. Bandung dingin pisan hari ini, ya?" tegur sang sopir.

"Iya, dingin."

"Harusnya, Neng di rumah aja. Jangan ke mana-mana. Saya suka kasihan kalau lihat perempuan kayak Neng harus ke luar sendirian."

"Emangnya kenapa, Mang?"

"Anak saya seusia Neng. Dia meninggal karena kecelakaan. Sopir taksi yang ditumpanginya ngantuk karena kondisi dingin kayak gini."

"Maaf, Mang. Saya gak bermaksud. Semoga anaknya Mamang diberi kebahagiaan di sisi-Nya."

"Aamiin. Terima kasih, Neng."

Percakapan singkat lumayan memberi hiburan walau sempat tersemat kesedihan. Setidaknya, Riana merasa diperhatikan. Ia tidak terkucilkan oleh lingkungan sosial sebab berbuat kesalahan, atau mungkin belum?

Riana tidak tahu. Ia sama sekali tidak siap dibenci oleh orang-orang yang disayanginya.

Ketika sudah sampai di tempat tujuan, Riana baru menyadari bila tempat pertemuannya dengan klien sangat dekat dengan Jembatan Antapani. Bahkan, jembatan penuh dengan warna-warni itu terlihat jelas di matanya. John Martono, pelukis jembatan itu, seperti menuangkan jiwanya ke sana saat melukisnya.

Sebuah cafe bergaya modern menjadi tempat pertemuan. Namun, klien yang dimaksud belum kelihatan di antara segelintir pengunjung yang sedang berbincang.

Rupanya, Riana terlambat membaca pesan. Saat mengecek ponsel, beberapa kalimat menghantam telak ulu hatinya. Riana segera menghubungi nomor tersebut. Terdengar nada sambung beberapa kali, sampai akhirnya terhubung.

"Selamat pagi, Pak. Apa kerja samanya bisa diteruskan? Saya sudah berada di lokasi meeting sekarang!" sapa Riana berusaha ramah.

"Pagi, Bu Riana. Anda belum membaca pesannya? Saya membatalkan kerja sama kita, karena saya sudah menemukan arsitek lain yang lebih hebat dan lebih kompeten dari Anda."

"Maaf, bagaimana Anda bisa membatalkan kerja samanya? Kita sudah menandatangani perjanjian hitam di atas putih, Pak. Bapak ini memang suka bercanda, ya?"

Karma Riana [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang