Hubungan dua manusia ini bukan cinta biasa itu tarik ulur antara kendali dan ketakutan, antara luka dan kenyamanan.
Ketika rahasia masa lalu, tekanan keluarga, dan luka-luka tersembunyi mulai terkuak, keduanya terjebak dalam hubungan yang tak jelas...
Kadang dunia terlalu cepat menilai, terlalu mudah menuding. Padahal luka dan cinta orang lain... bukan urusan siapa-siapa.
__Author keceyyy__
Mereka bilang kami terlalu muda untuk menikah, padahal mereka tak tahu—kedewasaan tak ditentukan umur, tapi oleh luka yang kami pilih untuk di sembuhkan bersama.
Revan&Viona
___🌻🦋___
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
____❤️✨____
Sepulang sekolah, Viona meminta Revan untuk mampir ke supermarket terlebih dahulu. Persediaan makanan di rumah mereka sudah menipis, dan ia merasa tidak ada pilihan lain selain belanja hari ini juga.
Begitu mereka memasuki supermarket, suasana langsung berubah. Beberapa pasang mata memperhatikan mereka. Tatapan-tatapan penuh asumsi dan bisik-bisik kecil yang samar tapi menyengat mulai bermunculan. Dua orang ibu-ibu yang sedang asyik memilih sayuran segar terlihat jelas menatap ke arah mereka, lalu saling berbisik—atau lebih tepatnya, bergosip tanpa malu-malu.
"Anak zaman sekarang pacaran mulu yang diurusin, bukannya sekolah yang bener," celetuk salah satu dari mereka, nadanya keras, seolah sengaja ingin didengar oleh siapa pun yang lewat.
"Iya, Bu. Emang anak zaman sekarang itu pada ga bener, taunya cuma pacaran." sahut yang lain dengan tatapan menilai, tertuju lurus ke arah Viona dan Revan.
"Harusnya fokus sekolah, kejar cita-cita. Mumpung masih muda. Lah ini yang dipikirin cinta-cintaan doang. Nambah beban orang tua aja," lanjutnya sambil menggeleng pelan, ekspresinya sinis.
Langkah Viona terhenti beberapa meter dari posisi mereka. "Hati-hati, Bu," ucap Viona dengan senyum tipis, nada suaranya terdengar santai tapi menyimpan tekanan halus. "Kadang yang paling ribut ngomongin orang, justru yang hidupnya paling gak rapi."
Ia berhenti sejenak, menoleh sedikit ke arah dua ibu-ibu itu. Tatapannya tidak marah, hanya datar—tapi justru itu yang membuat suasana terasa lebih menusuk.
"Kita aja gak kenal, kok Ibu bisa-bisanya ngomentari seenaknya? Hebat banget, bisa nilai orang dari pandangan sekilas."
Kemudian ia melanjutkan langkahnya dengan ringan, "Gak semua yang Ibu lihat itu bener, kan? Kadang mata bisa salah... apalagi mulut."
Ia sempat menoleh sekilas, tetap tenang. "Lagian, kita berdua itu bukan lagi pacaran. Kita udah nikah." Ucapannya ringan, bahkan terdengar ramah, tapi mengandung ketegasan tak terbantahkan.