I needed you to stay
But, I let you drift away
I surrender
(Natalie Taylor)
•••Kematian merupakan jelmaan dari sebentuk keabadian.
Begitulah kata penyair yang sering Ranu dengar. Namun, entah kenapa ketika kematian itu semakin dekat justru menusuk jantung Ranu dalam-dalam. Seharusnya ia senang akan terbebas dari dunia yang melelahkan ini. Seharusnya ia bersorak karena penderitaannya sudah cukup sampai di sini. Tapi, ternyata tidak juga.
Laki-laki berkisar umur 40-an bersneli putih itu mengarahkan tatapan iba pada Ranu yang menunduk. Jujur, ia sudah tidak asing dengan suasana ini. Suasana kelam yang menyelimuti pasiennya saat kabar menyedihkan ini bersarang di telinga dan merampas isi kepala.
"Jadi, menurut prediksi Dokter ... sampai kapan saya bertahan?"
Sang Dokter sudah tidak terkejut lagi ketika Ranu justru bertanya dengan senyum merekah di wajah. Ia tahu, bahwa wanita di depannya ini tengah menyamarkan luka. Dokter menggeleng lembut seraya menghela napas. "Hanya Tuhan yang tahu batas usia manusia."
Dokter tertawa ganjil sebelum melanjutkan, "Saya sedikit tidak suka jika harus memprediksi usia manusia. Jika melakukan itu, saya hanya memupuskan harapan mereka, bukan?"
Ranu menunduk lagi. Kini, senyumnya semakin lebar. "Dokter tidak mau bertaruh dengan saya? Saya bisa pastikan kalau saya bisa bertahan lebih lama dari dugaan Dokter."
Kini, Dokter bernametag Hanung Dewantara itu sedikit tersentak. Ia meletakkan pulpen dalam genggamannya ke meja. "Kamu masih punya kemungkinan untuk sembuh kalau mau melakukan pengobatan. Hubungi pihak keluarga dan biarkan saya yang bicara."
"Berapa persen?" sergah Ranu tepat ketika Hanung menyelesaikan ucapannya. "Berapa persen kemungkinan itu?"
Lengang. Atmosfer ruangan semakin terasa beku. Hanung masih memilih bungkam seraya menatap mata Ranu dari jarak yang dapat ia jangkau. Sulit diterka. Dokter Hanung tidak berhasil menggali perasaan Ranu melalui iris cokelat madu itu.
Sepersekian menit tak juga dapat jawaban, Ranu menyentak punggungnya pada sandaran kursi. Ia terpejam dan lagi-lagi tersenyum membuat Hanung merasakan hawa horor.
Ranu masih ingat kapan terakhir menginjakkan kaki ke bangunan serba putih ini. Yaitu, ketika umurnya masih 8 tahun dan menangis kencang untuk seorang wanita yang telah terbujur kaku pada brankar rumah sakit.
Ia selalu benci dengan aroma rumah sakit yang menusuk cuping hidungnya. Seolah semua hal tentang rumah sakit hanya menghadirkan luka. Dan, sepertinya memang begitu.
"Sampai mana Dokter mau terus membual? Saya nggak sebodoh itu untuk mengerti." Ranu menggeleng, bahunya masih rileks dan menyuguhkan tatapan mengejek pada Hanung.
"Saya nggak akan melakukan pengobatan apapun."
Satu kalimat yang meluncur dari mulut Ranu tidak juga membuat Dokter Hanung memanas. Bukan hanya satu dan dua orang yang mengatakan ini padanya. Menekuni profesi sebagai Dokter Onkologi selama puluhan tahun sudah cukup membuat Hanung mengerti dengan dunianya ini.
"Kalau kamu menolak, kamu semakin memperkecil kemungkinan itu. Percaya, saya akan berusaha untuk lakukan yang terbaik."
Ranu bergidik bahu dan duduk tegak. Ia tersenyum kecut. "Nggak masalah. Saya sudah sekarat, Dokter."
Kini, Hanung tak bisa mengelak. Pun, dirinya juga tidak punya hak untuk memaksa. Meski sedikit menyayangkan keputusan Ranu, nampaknya Hanung memilih untuk mengalah. Ia mengangguk layu dan tidak bersuara lagi.
"Resepkan saya obat pereda nyeri saja. Saya sudah terlalu muak kalau serangan sakit kepalanya tiba-tiba datang." Ranu menghentak-hentakkan kepalanya pada telapak tangan, lantas meregangkan leher yang memang terasa kebas sejak ia berada di ruangan ini.
Hanung nampak menuliskan sesuatu pada lembaran kertas persegi panjang. Tangannya menari dengan cepat hingga membubuhkan beberapa kalimat yang sulit dibaca oleh mata orang awam.
Ranu meilirik sekilas kertas pemberian Hanung, lantas berujar, "Terima kasih, Dokter. Saya permisi."
Tepat ketika Ranu beranjak dari duduknya, Hanung mulai bersuara lagi. Sedikit parau, "Ranu, jika kamu berubah pikiran, segera temui saya. Saya siap membantu kamu kapanpun."
🍀
11 Desember, 2021
KAMU SEDANG MEMBACA
Pemilik Sayap Patah
Romance[Tentang dia yang fana, sekaligus abadi] . Sejak kepergian ibunya, Rintik Ranu harus tinggal bersama bibi dan paman di Bogor. Setelah menyelesaikan kuliah, ia memilih untuk merantau ke kota metropolitan sebagai wartawan tabloid demi menghidupi adik...