Me losing you, in this moment
I feel it, deep in my chest
I can't breathe
I can't let go
Broken yet holding on
(Roni Tran)
•••Bentangan langit biru yang menawan senada dengan air laut di bawahnya. Gulungan ombak raksasa terus bersahutan yang kemudian semakin menyusut ketika mendekati bibir pantai. Bali selalu menjadi magnet utama bagi mereka yang hobi menantang adrenalin, mengejek ombak yang menganga, seakan siap menelan para surfer bersama papannya sekaligus.
Sementara itu di tepian, tersorot seorang pria dengan setelan kaos putih dan celana jeans selutut yang membungkus tubuh atletisnya. Di balik kacamata legam itu, bola matanya berpencar, terus mengikuti salah satu surfer yang nampak asik berkejaran dengan ombak, berselancar dengan melakukan akrobatik sederhana.
Cukup lama ia berdiri di sana. Kemana surfer berpapan putih itu melaju, maka ke sana pula manik matanya mengejar. Sampai di rasa surfer itu mulai mendekati bibir pantai, maka sang pengamat juga turut menyingkir. Ia lantas berbaring di kursi pantai seraya mengaitkan kacamatanya ke atas kepala.
Dengan menggandeng papannya menepi, sang surfer berperawakan tegap itu layaknya pangeran yang baru saja keluar dari lautan. Di tambah lagi dengan sorot matahari yang semakin mendramatisir keadaan. Ketika mengibas rambut legamnya yang basah dilahap air pantai, sontak membuat beberapa mata kaum hawa dimanjakan dengan pesonanya.
"Sudah bosan?" Tanya pria pengamat tadi seraya melemparkan handuk kecil ke arah surfer tersebut.
Ia menangkap dengan sigap ketika handuk meluncur nyaris menampar wajahnya. "Sudah lama lo di sini, Tar?"
Pria yang ditengarai bernama Akhtar itu mengangkat bahu acuh, sedikit mengerucutkan bibir dan bersuara, "Lumayan, termasuk ngamatin para cewek-cewek yang ileran liatin lo dari tadi," cecarnya seraya melirik ke arah kerumunan perempuan yang tak jauh dari mereka berada. Mereka sedikit mencuri pandang, berebut kehaluan perihal siapa yang berhak menjadi pendamping sosok ethereal tersebut.
Yang diperhatikan justru bersikap acuh. Ia hanya berdecih kecil sembari mengacak rambutnya dengan handuk pemberian Akhtar. "Lo kapan balik ke Jakarta?"
"Gue masih ada bisnis di sini. Mungkin nggak pulang dalam waktu dekat." Dengan berbantal lengan, Akhtar menikmati kantuk yang perlahan merayap, membujuk kelopak matanya untuk tertutup.
"Kalau gitu, gue balik duluan hari ini."
Refleks ia memutar kepala pada lawan bicaranya tersebut. "Ngapain buru-buru? Katanya lo ambil cuti seminggu?masih ada sisa 5 hari lagi woe. Ada jadwal operasi?"
Pria itu termenung sejenak. Lantas memamerkan sumir kecil yang menghiasi rahang tegasnya. "Sejak awal gue cuti kan buat ketemu dia. Kalau sudah begini, gue nggak punya alasan lagi, Tar."
Akhtar terkesiap. Bagai dihantam palu godam, jantungnya sedikit terasa nyeri. Seperti ada jalaran iba yang menggerayangi ulu hatinya sekarang. "Soal itu ... gue minta maaf banget. Gue nggak tau kalau akhirnya bakal gini."
Pria itu bergeming. Menyisakan senyum tipis-tipis yang berusaha ia ukir setulus mungkin. Namun, pada dasarnya ia memang tidak pandai memainkan emosi. Sehingga Akhtar masih mampu membaca kekecewaan dari raut wajah sahabatnya ini. "Kenapa lagi lo yang minta maaf?"
Akhtar mengembuskan napas besar. Kemudian berdiri dan menepuk pundak pria itu dengan gerakan bersahabat. "Lo kenal dia dari gue. Dia sepupu gue. Kalau sejak awal gue nggak kenalin dia ke lo, pasti lo nggak bakal ngerasain ini. I'm so sorry. I know you are very dissapointed, Bro."
Tak mampu menepis ucapan Akhtar barusan, pria itu justru mengalihkan perhatian ke sekeliling pantai. Menyembunyikan sorot mata kekecewaan dari siapapun. Hingga perhatiannya berhenti pada hamparan laut yang seakan tak memiliki ujung. Sejenak, ia mengusap cicin yang melingkari jari manisnya dengan ibu jari. Kemudian di waktu bersamaan, ia mengepalkan tangan sekuat mungkin. Menyalurkan emosi yang tersimpan di kerongkongannya. Terlalu menyesakkan baginya untuk dijelaskan dengan sebentuk kalimat.
Meski begitu, pria ini menolak untuk dikasihani siapapun. Ia tetap kukuh untuk menjadi tegar dan baik-baik saja. "Lebay lo. Gue gampang move on, kok."
Akhtar hanya berdecak. Tak lagi mampu memberi perlawanan. Berdebat dengan seseorang yang sedang patah hati namun menolak rapuh nampaknya tak akan menguntungkan siapapun.
"Gue balik ke apartemen duluan ya." setelah menepuk pundak Akhtar dua kali, pria itu melangkah tipis-tipis. Membiarkan tumpukan pasir pantai menelan kakinya hingga nyaris mencapai tumit.
"Daiz!" Teriak Akhtar hingga membuat pria itu menoleh. Tanpa aba-aba Akhtar melempar card pintu apartemen berwarna biru tua ke arah pria itu. "Gue nyusul."
Setelah card mendarat tepat di tangkapannya, pria yang dipanggil Daiz itu hanya mengangguk sembari mengangkat jempol setinggi kepala.
Akhtar lantas hanya memperhatikan pundak berlapis t-shirt grey itu semakin menjauh. Ia tidak sepenuhnya yakin apakah Daiz mampu menghapus jejak mantan tunangannya tersebut dari jalan hidupnya. Sebab, selama puluhan tahun mereka bersahabat, Akhtar tahu betul bahwa Daiz tak pernah sejatuh ini pada perempuan manapun.
Hingga waktu itu tiba juga. Yaitu, ketika asa seorang Pramudana Izza dipatahkan oleh kenyataan. Pun, Akhtar tidak tahu apakah Daiz bersedia untuk membuka pintu hatinya kembali setelah dikecewakan sedemikian rupa. Yang ia yakini, siapapun sosok yang mengetuk pintu hati sahabatnya ini, dia adalah sosok istimewa yang tak akan mungkin Daiz lepas lagi.
🍀
07 Januari 2022
KAMU SEDANG MEMBACA
Pemilik Sayap Patah
Romance[Tentang dia yang fana, sekaligus abadi] . Sejak kepergian ibunya, Rintik Ranu harus tinggal bersama bibi dan paman di Bogor. Setelah menyelesaikan kuliah, ia memilih untuk merantau ke kota metropolitan sebagai wartawan tabloid demi menghidupi adik...