BAB 4 - Lelaki sakit.

824 35 2
                                    

Pagi harinya, Kania bangun seperti jam biasa, mungkin sedikit lebih pagi dari kebiasaannya di rumah. Suaminya pasti sudah berangkat bekerja, itu adalah kebiasaan papanya jika berada di rumah, berangkat pagi lalu pulang saat malam mulai menjelang. Wanita itu belum berniat memberitahukan kondisinya kepada mama dan papanya. Ada rasa takut dengan ancaman Edwin, laki-laki itu jelas bisa melakukan apa yang sudah dia ucapkan. Selain itu juga, Kania memilih untuk lebih mengenal Edwin lebih dulu daripada langsung mengambil sebuah keputusan bertindak. Masih ada harapan besar bahwa laki-laki itu tidak sekejam yang Kania pikirkan.

Kania membawa langkahnya ke dapur, mencoba mencari-cari makanan yang bisa digunakan untuk sarapan. Bibirnya mendesah pelan saat melihat isi lemari pendingin. Hanya ada beberapa telur, sayuran dan bumbu yang sama sekali tidak bisa dia manfaatkan. Lebih tepatnya bukan tidak ada bahan yang bisa dia masak, tetapi Kania memang tidak bisa masak. Selama ini dia selalu di layani, tidak pernah sekalipun dirinya berada di dapur untuk memasak.

"Lakukan sesuai rencana."

"..."

"Yaa, apapun itu lakukan."

Suara Edwin dengan derap langkah kaki menuruni tangga. Kania menautkan matanya ke arah suaminya, tetapi Edwin tidak melakukan hal yang sama. Mata laki-laki itu hanya melirik ke arah Kania sekilas lalu beranjak pergi.

"Aku butuh makanan," ucap Kania mencoba menghentikan Edwin yang berniat pergi.

"Aku rasa ada beberapa bahan makanan yang bisa kamu masak."

"Aku tidak bisa masak."

Edwin membalikkan tubuhnya menghadap Kania. "Aku rasa kamu punya dua tangan untuk memasak, atau jika perlu aku musnahkan saja kedua tanganmu itu jika tidak bisa dimanfaatkan."

Refleks Kania menyembunyikan kedua tangannya ke belakang tubuhnya, lalu menjauh dari Edwin. Tetapi laki-laki itu justru semakin mendekat dengan derap langkah yang menakutkan.

"Aku tidak sedikit pun berniat ikut campur tentang bagaimana kamu mendapatkan makanan, kamu tidak makan pun aku tidak peduli. Jadi, jangan menghambat waktuku untuk ke kantor," desis Edwin penuh ancaman.

"Apa tidak ada pembantu di apartment ini?"

Edwin menatap Kania dengan malas, seperti keberadaan Kania hanyalah seonggok daging yang tidak berguna. "My wife, sebelum menikah seharusnya kamu mengenal calon suamimu dengan baik."

"Aku tipe laki-laki yang tidak suka terlalu banyak orang asing di sekitarku, termasuk kamu, aku bisa saja menyingkirkanmu dengan mudah kalau keberadaanmu membuatku semakin muak."

Kania semakin mundur satu langkah tetapi kaki Edwin maju dua langkah, menipiskan jarak diantara mereka berdua.

"Kamu ti .. dak, tidak menjawab pertanyaanku. Aku hanya bertanya tentang pembantu," ucap Kania.

"Hanya ada pembantu dua hari sekali, itu pun hanya untuk membersihkan apartment. Jadi, berhentilah menjadi anak manja dan penuhi kebutuhanmu sendiri." Laki-laki itu tak mengucapkan sepatah kata lagi, melenggang pergi begitu saja.

Kania merosotkan tubuhnya ke lantai, Edwin terlihat menyeramkan. Dalam hatinya dia takut, dia hanya pura-pura memberanikan diri. Selama ini Kania hidup berlimpah kasih sayang, di kelilingi orang-orang yang memujanya. Lalu takdir membawanya hidup bersama dengan laki-laki yang sedikit pun tak mengenal rasa sayang bernama Edwin.

Tak cukup lama, Kania memilih berdiri kembali, mencoba tegar dan berjalan dengan kakinya sendiri. Lagipula, perutnya sudah tidak tahan karena lapar. Setelah semalam mereka sampai di apartment, Kania memilih mengubur dirinya di dalam kamar. Bunyi keroncongan semakin membuatnya tidak fokus untuk bersedih.

Love Me, Heal MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang