1

1.3K 137 64
                                    

.
.
.



Mark menatap sekeliling dengan tatapan bosannya, tak mengindahkan gadis-gadis di meja sana yang tengah berlaku centil ---tak hentinya melambaikan tangan, mengedipkan mata, juga mengibaskan rambut mereka--- pada Mark yang bahkan sama sekali tak peduli akan eksistensi mereka.

Elaan napas sekali lagi lolos dari belah bibirnya, melirik tak minat ponselnya yang hari ini tampak sepi, tidak seperti hari-hari biasanya.

Biasanya ponsel pintar itu selalu ramai dengan notifikasi dari kekasihnya ---gadis cantik dengan surai coklat gelap dengan tekstur bergelombang dan pipi gembil, bernama Haevanya Characella Putri, atau yang lebih akrab disapa Caca, atau Anya--- namun kini ponsel itu nampak sepi, seolah kehidupan sosial sang empu minus, alias anti-sosial, padahal kenyataannya tidak separah itu.

Tepukan diterimanya di bahu, menoleh dan mendapati Lukas, teman sejawatnya sejak zaman SMP. Lelaki tampan dengan tinggi menjulang itu tersenyum, lebih seperti tengah mengejeknya.

"Sepet amat tu muka, kurang gula apa pas emak lu ngubur ari-ari lu?" Dengan aksen Betawinya yang kental Lukas meledek sahabatnya yang membalas dengan dengusan.

"Gosah bacot ya, jing." Sahut Mark ketus.

Mark Aydan Liandoro, pemuda berdarah campuran Indonesia-Kanada itu kembali membuka kunci layarnya, berharap ponselnya rusak alih-alih berspekulasi bahwa gadisnya masih marah padanya.

"Kenapa lagi ibu negara, Mark?" Kali ini yang bersuara adalah Minanti Faudziah atau yang lebih akrab disapa Mina, satu-satunya teman perempuan karib yang ia punya sejak zaman TK. Yang mana selalu menjadi bahan pertengkarannya dan sang pacar. Gadis berdarah Sunda itu duduk di samping Lukas, mengambil tanpa izin beberapa cookies di meja, pesanan Mark.

Menggaruk kepalanya yang kembali terasa pusing kalau mengingat kejadian kemarin, sumber kemarahan gadisnya.

"Ga tau, marah kaya nya sama gue dah. Duh, pusing. Kenapa ngurusin cewek satu ribetnya ngelebihin ngurusin sapi tiga puluh ekor, sih?!"

Mina tertawa geli, Lukas tertawa heboh, membiarkan mereka menjadi bahan tontonan para pengunjung Cafe lainnya.

"Ya itu mah lu nya aja kali ga becus. Contoh nih gue, cewek ada 5 pada akur semua." Lukas menepuk dadanya dengan bangga, dagunya meninggi.

Mark dengan senang hati mendorong kepala sang sahabat setelah mendengus sinis. "Dasar buaya pala item lu."

"Tau lu, buaya kamvret." Timpal Mina, menepuk keras lengan lelaki tinggi itu.

Mark kembali melirik ponselnya yang masih tak menunjukkan notifikasi apapun, kemudian akhirnya memutuskan untuk menghubungi gadisnya. Ia harus menyelesaikan masalah ini secepatnya.

Satu kali.

Dua kali.

Tiga kali sudah Mark mencoba menelepon gadisnya, namun semuanya berakhir sama, ditolak. Ya, pacarnya baru saja menolak panggilannya, hal itu jelas membuat kepalanya langsung berdenyut sakit.

Memijat kening, Mark meneguk habis lemonade yang dibelinya hingga tandas, hanya menyisakan beberapa butir batu es.

"Kenapa sih lu? Gelisah banget?" Tanya Mina heran, alih-alih langsung menjawab, Mark mengacak surainya.

"Kemaren Caca mutusin gue,"

"Hah?!" --Lucas.

"Kok bisa?" Mina tak habis pikir dengan temannya itu, bagaimana bisa lelaki itu masih duduk santai di sini sementara hubungannya berada di ujung tanduk, alih-alih menemui pacarnya, mengemis ampun.

Know Me Too Well (MarkHyuck GS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang