Menyatukan dua pemikiran manusia sejatinya bukan hal mudah. Meskipun ada kesamaan dari mereka yang sejalan namun tetap—selalu ada perbedaan yang melatarbelakangi.
Sungguh, Jeno sekalipun tidak pernah diremehkan dalam hidupnya. Tidak sekalipun. Namanya selalu dijunjung tinggi sebagai pebisnis muda sukses, bahkan ketika umurnya masih baru dua puluhan. Semua orang memandangnya ke atas, mengadahkan kepala memandangnya dengan sorot memuja.
Siapa yang tak tau dirinya?
Siapa yang tak jatuh padanya?
Tidak, kecuali satu orang.
Manusia berotak dangkal—Jeno menyebutnya demikian—yang selalu bepikir ia bisa melewati semuanya sendirian. Yang berpikir ia mampu berdiri menyangga hidup dengan sebatang kayu lapuk yang bisa saja sewaktu-waktu patah mengenaskan.
Pemikiran bocah milenial yang berbahaya
Namun anehnya ia bisa melewati itu semua
"Apa dia pergi lagi Jen?" Sahabatnya, Renjun menepuk bahunya prihatin. Di tengah kesibukan kantor yang mencekik, Sahabatnya itu datang ke ruangannya untuk menanyakan hal yang sama.
Jeno mengangguk. Ia memijit pangkal hidungnya lelah. "Kau tau ia bahkan tidak bisa dilarang."
"Ya.. cukup sulit berbicara dengan orang yang tak sejalan. Dengan yang sejalan saja belum tentu sepaham."
Pria cantik itu kemudian mengambil pena dari atas meja Jeno dan mulai menuliskan sesuatu di kertasnya. "Ia hanya tidak mengerti bagaimana jalan pikiran orang-orang sepertimu. Kau tau, perbedaan kalian begitu jauh. Ibarat langit dan kaos kaki." Ia terkekeh di akhir kata.
Jeno merotasi bola matanya malas. "Jangan memandang dari status sosial."
Renjun mengangkat bahunya tak peduli. "Aku tidak bermaksud. Aku belum pernah berada di posisinya selama ini." Ia kemudian menyobek kertas yang ditulisnya untuk diberikan kepada Jeno.
"Jamuan pesta untuk para miliuner. Jangan lupa datang atau relasimu akan hilang."
Jeno bertopang dagu seraya menatap sahabatnya dalam sebelum akhirnya merengek di ujung kata.
"Renjun-ah.. kau tau kau yang paling ahli. Kumohon bantu aku."
Yang diajak bicara tertawa dengan keras. Jarang sekali melihat Jeno memohon untuk dibantu karena masalah yang sepele. Biasanya pria matang ini berlagak seperti patung. Keras, dan tak bisa diubah dengan mudah. Kepribadiannya yang kaku membuat look nya terlihat seperti gunung es yang sulit untuk dilelehkan.
Hanya pada beberapa orang tertentu saja ia bisa sebebas ini..
"Kau tau, kau meminta pada orang yang tepat Tuan Lee. Apa yang kau inginkan? Membujuknya untuk ikut serta, atau membujuknya agar bersedia naik ke ranjangmu?" Ucapnya Jenaka.
Jeno mendengus tak menggubris.
"Baiklah, sampai jumpa di pesta perjamuan jam tujuh malam." Lanjut Renjun sebelum pria cantik itu melangkahkan kakinya keluar.
Mengemban tugas dari si pria kaku Lee sebenarnya bukan perkara sulit. Sebenarnya ini bisa diatasi dengan cepat, jika Renjun mampu menaklukkan lawannya. Masalahnya, orang ini bukanlah orang biasa.
Orang ini berbeda, manusia yang memiliki pemikiran aneh diluar nalar. Dengan Renjun saja kadang tak bisa sejalan, apalagi dengan Jeno yang jelas-jelas karakternya sangat susah ditembus oleh peluru manapun.
Lantas mobilnya memasuki area perkampungan pinggir kota dengan pelan. Jalanannya sedikit berbatu—sangat mengganggu Renjun jika ia boleh jujur. Pria manis itu mengernyit ketika melihat kubangan air lumpur tepat di bawah kakinya saat membuka pintu mobil. Dengan langkah lebar, ia kemudian turun menuju satu-satunya rumah yang berdiri dengan beberapa tumbuhan yang hidup merambat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ideapolism
Non-FictionEntah Jeno yang terlalu memonopoli atau Jaemin yang terlalu idealis