"Selamat siang Tuan Muda Lee."Beberapa karyawannya membungkuk ketika dirinya lewat. Perasaannya kali ini buruk. Buruk sekali. Ingin rasanya ia mengobrak-abrik ruangan kerjanya jika tak ingat sepupu kecilnya yang juga bekerja di sini.
Jeno hanya terus melenggang tanpa mempedulikan siapapun. Yang ada di pikirannya kali ini adalah pekerjaan yang harus segera diselesaikan lalu pulang, tanpa membawa beban apapun.
Sebenarnya yang membuat perasaannya memburuk adalah tempo hari, media mengungkapkan jika ada salah satu kompetitor bisnisnya yang berhasil menyepakati pembelian tanah. Bukan masalah besar sebenarnya, hanya saja yang membuat milyuner itu kesal tentu saja karena Choi Soobin yang memenangkan tanah yang menjadi incarannya sedari dulu.
Tidak, sebenarnya bukan masalah objeknya yang menjadi bentuk kekesalaan Jeno. Hanya saja selalu orang sialan ini yang sulit ia singkirkan. Sejak beberapa tahun lalu, hingga detik ini. Ditambah lagi masalah percintaannya yang kacau.
Entah kenapa orang-orang seperti ingin menghancurkannya bersamaan hingga tak bersisa..
"Lempar saja semua barang-barangmu jika itu mampu membuatmu tenang." Sarkas Renjun.
Berada dalam satu ruangan dengan sepupu kecilnya ini tidak membuat suasana menjadi membaik. Jeno sekuat hati menahan emosinya ketika kakinya melangkah masuk—ini ia lakukan karena Renjun akan menjadi pribadi yang sangat menyebalkan ketika dirinya marah. Dan benar saja ucapan pedas pria manis itu keluar seperti peluru yang ditembakkan.
"Aku mau memberikan report pekerjaan. Suka atau tidak suka kau harus membacanya." Ia lantas menaruh—setengah membanting map diatas meja si pria Lee.
Beberapa detik membaca, emosi Jeno meninggi (lagi). Salah satu masalah yang masih ia selesaikan saat ini adalah sengketa tanah miliknya. Cukup serius, mengingat lawannya membawa massa dan bisa dipastikan Jeno akan kalah jika dirinya tak kuat secara hukum. Salah satu pengalihan issue yang dirinya buat tempo hari ternyata tak cukup untuk meredam seuasana selagi Jeno bertindak menyelesaikan di belakang tangan.
"Choi group.. sialan. Licik sekali membawa massa untuk menimbulkan kericuhan."
"Lokasinya sangat menguntungkan. Aku mengerti kenapa mereka sampai memilihmu sebagai lawan. Kau tau, Choi Seungcheol sengaja memberi mereka uang untuk tetap melawanmu." Ucap Renjun berusaha menyulut api.
Jeno memijit pelipisnya lelah. Ucapan Renjun sama sekali tak memberinya ruang untuk bernafas. "Diamlah, aku akan memikirkan caranya nanti."
"Oiya Jaemin—"
"Ada apa dengannya?!" Potong Jeno dengan mata yang berkillat marah.
"Diam dulu brengsek!" Bentak Renjun dengan nada tak kalah marah. "Aku berencana menjemput Jaemin di tempat kerjanya nanti. Jadi aku ijin pulang lebih cepat."
"Dimana? Kapan?"
"Hotel Raftel, jam 12 siang nant—hei!"
Renjun berteriak ketika Jeno tiba-tiba mengambil jas dan kunci mobil yang baru ia lempar beberapa menit lalu. Meninggalkan sepupu kecilnya yang berteriak sambil menunjuk-nunjuk kearahnya.
Ini mudah, hotel Raftel tempat pria manisnya bekerja adalah milik salah satu teman bisnisnya. Satu jam lagi ia dan teman-temannya akan menggelar meeting kecil dan Jeno memiliki ide cemerlang untuk mengatur pertemuan ini dengan semulus mungkin.
Dan tentu saja Jaemin tak akan menaruh curiga.
Ia langsung menghubungi sekretarisnya, mengubah planning siang ini menjadi meeting sekaligus makan siang. Karena Jaemin bekerja di bagian dapur, tentu yang melayaninya nanti adalah pria itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ideapolism
Non-FictionEntah Jeno yang terlalu memonopoli atau Jaemin yang terlalu idealis