Dua kali Lima = Ten

418 61 7
                                    


Happy Reading

Chika jadi pusat perhatian di gelanggang olah raga ketika turun dari mobil menggunakan kursi roda. Ia diantar Mama Aya, Mira, dan Vivi menuju bangku penonton. Mengenakan pakaian basket dan memangku sebuah bola basket, membuat suasana haru segera menyambut kedatangan Chika. Beberapa anggota tim basket memeluk dan menciumi pipi Chika. Pantas menangis bagi Chika, walau matanya memerah dan genangan di pelupuk mata.

"Chika minta maaf."

"Maaf untuk apa?" kata Flora, teman sekelasnya. Ia ditunjuk sebagai kapten tim sebagai pengganti Chika.

"Aku ngga bisa ikut tanding." Chika menunduk lesu.

Flora duduk berlutut di hadapan Chika, ia pegang telapak tangannya dan usap lembut, "Chika ikut tanding kok. Semangatin kita. Chika ada di sini," Flora menunjuk dadanya, "...inget kan siapa yang bantuin ngajarin anak kelas sepuluh? Chika kan? Yang bilangin kita harus begini begitu siapa? Kamu, Chik," Flora tempelkan punggung tangan Chika di pipi, "...kamu masih bisa, teriakin kita, marahin kita. Doain kita. Apanya yang Chika ngga bisa?" desak Flora, menguatkan Chika.

Tangis Chika pun pecah, ia tersedu kencang dan memeluk Flora. Punggung Chika ditepuk - tepuk dan diusap. Aya yang berdiri di belakang anaknya tak kuasa juga melelehkan air matanya. Ia terenyuh, teman - teman anaknya begitu baik dan perhatian.

Vivi pun ikutan menangis, ia membuang wajahnya. Malu dilihat Chika, "Siapa yang naro bawang di sini..." Ia menyeka air matanya yang tak bisa berhenti.

"Siapa juga yang bawa bawang?" tukas Mira, ikutan terisak.

"Itu kiasan bloon!" Vivi menoyor kening Mira.

Sang pelatih basket mendekati Chika, ia menyalami Aya terlebih dahulu sebelum berjongkok di sebelah Chika, "Chika kuat kan? Jangan berkecil hati ya. Kaki kamu mungkin sedang tidak kuat untuk berpijak, berlari, melangkah. Tapi hati kamu harus kuat. Lihat!" Pelatih menunjuk tim basket sekolah yang melambaikan tangan ke Chika, "...kamu jangan bebani hati kamu. Kita main tanpa beban. Tujuan kita main sebaik - baiknya. Kamu tidak boleh nanti berprasangka jika ternyata...yaa kalah. Pak Guru tidak mempermasalahkan. Tugas kamu, kasih mereka semangat. Bisa kan, Chika?"

Chika mewek, air matanya berderai. Ia mengangguk dan mencium punggung tangan pelatih basketnya. Dengan cepat lengannya menyeka air matanya lagi. Chika malu sekali jika sedang menangis. Bibirnya memble. Selekas mungkin mengubah tepi bibirnya menaik, melesungkan empat titik di sekitar bibirnya. Sebuah senyum yang menguatkan semuanya.

°°°

Duduk bersama tim sekolahnya di tepi lapangan sungguh membuat Chika tak lagi merasakan sendu. Ia seperti pelatih kedua yang mengarahkan permainan. Teriakan manjanya yang menyemangati dan derai tawanya acapkali justru malah membuat orang sekitarnya yang haru. Terutama Aya, tak tega sebenarnya melihat anak kesayangannya harus duduk di kursi roda sementara teman - temannya berlarian di lapangan mendribble bola.

"Gue kalau main basket gini, yang ada baru lima belas menit gue dah ngga bisa lari lagi," tukas Vivi.

"Kok gitu, Kak?"

"Capek Chik, lari - larian. Yang ada gue haus mulu. Minum, terus kembung. Liat kamu lari - larian di kepala gue aja udah pusing!" Vivi meringis sembari ekor matanya melirik.

"Hahaha, apaan sih, Kak." Chika menepuk bahu Vivi, "...Kak Vivi di pikiran aku aja tiap hari, aku ngga capek."

"Kok bisa?" tanya Vivi.

"Yaa Kak Vivi ngga lari - larian. Diem aja di pojokan otak aku sambil main game. Hahaha..." Chika terkekeh manja.

"Bisa aje lu, Chik!"

Limerence [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang