"Haluku adalah dirimu, mimpiku adalah bersamamu, realitaku adalah kepergianmu."
Malang, 28 Juli 2021.
---
Hujan tak kunjung reda, yang paling menyedihkan adalah kau telah tiada. Ada kenangan yang telah membeku pada miliaran detik yang berlalu. Aneh, memang; selalu ada yang membuat terlena dan tak berdaya pada hujan, pada rintik dan aromanya, pada bunyi dan melakoninya, pada caranya yang pelan sekaligus brutal dalam memetik kenangan yang tak diinginkan. Membuatku terpaksa menutup payung, menghentikan tujuanku pulang ke apartemen dan singgah ke dalam kafe yang berada di sampingku akibat hujan tidak ingin menghentikan guyuran airnya tanpa jeda.
Baru menarik gagang pintu, belum juga masuk sepenuhnya, sorot mata semua orang teralih padaku. Entah itu kekaguman ataupun hanya sekadar penasaran siapa yang datang. Tak ingin unjuk diri, namun, orang-orang di Jerman mengenalku dengan gadis berparas ayu bak titisan Dewi Afrodit dengan tambahan bola mata berwarna amber yang melengkapi.
Aku hanya menundukkan kepala, pun mengulas senyum ketika ada seorang pria melempar senyuman padaku. Ah, ternyata mereka sangat ramah. Tidak sia-sia aku memilih kabur ke negara kaya ginseng ini. Selain banyak suguhan wisata apik, sajian sedap di sini amat sukar ditampik.
Sebelum menetapkan pesanan, agaknya tanganku tergerak untuk memangku dagu di atas meja barista. Mata amber-ku bergulir dari satu menu ke menu lainnya. Sial, puluhan varian kopi dan dessert di kafe rumahan ini sukses membuatku kebingungan. Kelihatannya enak, semua patut dicoba. Sayangnya tidak, karena sedang tanggal tua.
Sejemang, aku terdiam. Mengunci tatapanku pada satu objek yang lebih mengesankan. Si barista tampan.
"Hi, welcome. What would you like to order?" sapanya ringan, begitu lembut menelisik rungu. Senyum kelewat manis dengan lesung pipi yang menghiasi kedua pipinya mampu membuatku tidak berkedip selama lima detik.
"I'd like an affogato coffee and a banoffee pie with extra caramel."
Barista itu mengerutkan keningnya, membentuk tiga buah lipatan yang kuyakin sedang kebingungan. "Suka kopi dingin, ya, ketimbang kopi panas? Padahal di luar hujan, suhu juga tidak bisa diajak kompromi."
"Melawan arus sebenarnya—yang dibutuhkan kopi panas, tetapi aku lebih suka kopi dingin di saat hujan begini."
Kekehan kecil berhasil kami udarakan bersama. Begitu hangat saat berinteraksi dengan barista semanis dia. Walaupun hanya sekilas, barista itu mampu membuat suasana yang berbeda. Suasana yang selama ini kuinginkan. Suasana yang telah hilang satu tahun lalu. Suasana yang mampu membuatku kembali menghangat seperti sebelumnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
BELAMOUR 3.0
Short StoryBila daksamu terlampau tenat, atma diselimuti masygul muluk-muluk, singgahlah pada tempat yang menurutmu paling aman. Sejemang berpaling dari semesta yang enggan mengasihani sukma penuh duka. Didampingi cerita sederhana dari coretan-coretan cilik pe...