"Hakim memutuskan, terdakwa dijatuhi hukuman seumur hidup."
Ketukan palu terdengar. Tiga kali. Itu tandanya keputusan mutlak telah diambil oleh hakim, Seokjin meremas kumpulan kertas putih yang ada di meja, matanya menyorot tajam, rahangnya mengeras. Semua usaha ia sebagai pengacara sia-sia. Untuk pertama kalinya ia gagal dalam persidangan. Gagal membantu sang ibu bebas dari tuduhan kasus pembunuhan yang disebutkan oleh jaksa penuntut. Seokjin diberikan waktu selama dua minggu untuk mencari semua bukti agar ibunya dibebaskan karena memang tidak bersalah, kumpulan bukti dan pecahan kasus serta kejanggalan sudah ia berikan. Namun kembali lagi, hukum sekarang seolah tunduk, lemah dengan uang dan kekuasaan. Seokjin membencinya!
Menatap iba pada wanita paruh baya yang terlihat lemah, lantas beralih menatap ke arah pria yang sedang tersenyum lebar saat mendengar keputusan hakim yang menjatuhkan hukuman pada ibunya. Kilatan amarah yang meletup terlihat dari sorot mata Seokjin, giginya bergemelatuk dengan kepalan tangan yang kuat siap dilayangkan pada seseorang yang ada di hadapannya.
Aku akan mengungkap semua suatu saat nanti! Janjinya dalam hati, Seokjin itu pribadi yang tegar dan pantang menyerah.
Semua orang yang ada di dalam persidangan masing-masing keluar berhamburan, begitu pun dengan wartawan yang sudah menunggu Seokjin agar menjawab semua pertanyaannya. Seokjin yakin, semua wartawan akan berpusat padanya karena kasus yang ia tangani sekarang adalah kasus ibunya.
Seokjin memeluk erat sang ibu. "Aku minta maaf. Aku gagal. Seharusnya aku berhasil hari ini tapi karena hakim sialan itu ...." Seokjin menahan tangis, "ini tidak adil! Ibu tidak bersalah, aku akan mengusut kasus ini agar pelaku sebenarnya ditangkap. Aku janji." Sang ibu hanya bisa menahan kepedihannya dan berpura-pura kuat di depan anak semata wayangnya. Menepuk punggung Seokjin serta-merta memberikan afeksi berupa kecupan di pucuk kepalanya.
"Putra tampan ibu, kau harus kuat. Ibu tidak apa, Ibu akan menganggap penjara nanti sebagai rumah kedua ibu sebagai liburan." Ibu Seokjin melepaskan pelukannya, mengelus surai jelaga Seokjin lembut. "Kau tidak lupa dengan istrimu, kan?"
Seokjin menunduk malu, tersenyum tipis. Saat Seokjin hendak berbicara kembali, petugas keamanan segera menarik ibu Seokjin secara paksa hingga menimbulkan kekesalan dari Seokjin. "Tunggu! Aku belum selesai," katanya, mencekal tangan sang ibu.
"Maaf, tapi ia harus segera kembali. Kau bisa menemuinya di sel nanti," jawab salah satu dari dua petugas yang membawa ibu Seokjin pergi. Seokjin hanya mampu melihat ibunya berjalan perlahan menjauh dari jangkauannya.
Rasa sakit dan sesak kembali memenuhi relung hatinya, kala sekumpulan wartawan berjejer menyambut untuk memberikan masing-masing pertanyaan tentang ibunya. Kejadian dua tahun silam masih sangat membekas dalam reminisensi Seokjin.
KAMU SEDANG MEMBACA
BELAMOUR 3.0
Historia CortaBila daksamu terlampau tenat, atma diselimuti masygul muluk-muluk, singgahlah pada tempat yang menurutmu paling aman. Sejemang berpaling dari semesta yang enggan mengasihani sukma penuh duka. Didampingi cerita sederhana dari coretan-coretan cilik pe...