Putih di Atas Putih

66 15 36
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Desember si dingin.

Memaksa manusia menggunakan pakaian tebal, bahkan berteman dengan api. Tidak jarang menghembuskan angin marah yang mengharuskan penduduk Korea berdiam diri di dalam ruangan.

Jiyeon dan mantelnya kini sedang saling memeluk. Gadis itu melilitkan syal buatan sang nenek di leher, menenggelamkan sebagian wajah di balik hangatnya rajutan, juga menurunkan topi yang menjaga kepalanya tidak membeku.

Desember malam dan tugas tugasnya.

Gadis itu mendengus. Menyesali keputusannya untuk keluar dan melukis malam ini. Dinginnya luar biasa.

Padahal niatnya, dia ingin mengabadikan salju pertama dalam sebuah lukisan. Putih di atas putih, konsepnya.

Menurut perkiraan cuaca, salju akan turun malam ini, sekitar jam sepuluh. Saat dimana para keluarga berkumpul di dekat penghangat dan menikmati camilan larut malam, atau mungkin senda gurau yang hangat.

Tapi Jiyeon dan ambisi malah memilih keluar rumah. Menunggu salju secara langsung, tidak puas bersembunyi di balik jendela kamar saja.

Sebenarnya, pikirannya pun sedang butuh ditenangkan malam ini.

Sekitar dua minggu terakhir dia tidak mendapat kabar dari yang terkasih, dan siang tadi malah melihat di sosial media kalau kekasihnya sedang berdua dengan seorang wanita lain.

Jiyeon mendecak. Dia tidak menyangkal kalau wanita berambut pirang, tinggi semampai, hidung mancung, dan bibir manis di sebelah lelakinya tadi memang cantik. Dia hanya kesal, kenapa dia harus cemburu? Padahal dia sudah memilih percaya pada si kekasih.

Bahkan gadis itu masih ingat beberapa waktu lalu, ketika Beomgyu meneleponnya, pemuda itu mengatakan kalau seleranya orang Korea, kalau dia tidak akan melirik gadis lain, kalau dia bisa dipercaya.

Kata orang itu hanya bualan manis dalam percintaan.

Jiyeon masih muda, awam percintaan karena Beomgyu sendiri adalah cinta pertamanya. Kendati sudah dua tahun berjalan bersama, tetap saja pengalamannya tidak sebanyak itu.

Memilih dan memilah emosi, kemudian diolah. Perasaan itu rumit, karena hati jarang dipahami logika.

Mengesampingkan kekhawatiran, kini Jiyeon berjalan menuju taman dekat tempat tinggalnya. Menikmati sepinya malam tanpa rasa takut karena diselimuti kedinginan.

Tungkainya melangkah tenang, duduk di bangku taman yang kosong. Ditemani penerangan lampu, Jiyeon mengamati langit malam yang berkabut.

"... Jam sepuluh malam waktu Korea. Seharusnya di tempat Beomgyu sekarang masih siang."

Gadis itu meraih ponsel, ragu apakah harus menelepon pemuda itu. Pasalnya, hati merasa gundah.

"Apa dia sedang kuliah?"

Senja Warna Biru [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang