BAB 1

29 1 2
                                    


Tumpukan rapot dan beberapa tugas siswa nampak menggunung di sisi pojok meja. Suara ketikan laptop dan bincang - bincang hangat seputar masalah siswa ramai menghiasi ruangan. terlihat kerutan frustasi narasumber cerita dan tawa beberapa orang yang mendengarkan menjadi hal yang biasa mengisi hari.

Nilai semester genap memang menuju deadline, sehingga pikiran dan tubuh harus sinkron untuk segera menyelesaikan rapot. Banyak tugas siswa yang harus dinilai sehingga untuk sekedar bicara dengan rekan kerja pun tidak sempat. 

"Sibuk sekali Bu Nia ini." Pak Anthony datang dengan segelas teh hangat, "Ini tehnya diminum dulu, Bu. Memang guru muda ini enerjik sekali ya? semua tugas dan nilai siswa sudah hampir selesai dikerjakan. Luar biasa sekali." tepuk tangan kecil menggema sembari tawa terdengar.

Agnia tampak sesekali tersenyum menanggapi candaan Pak Anthony, memang tugasnya hampir selesai sehingga ia ingin segera bebas dan tidak terbebani nilai lagi. "Hehehe...iya saya pengen cepat - cepat selesai ini, Pak. Mau refreshing setelah nilai siswa selesai." Jemarinya tidak berhenti untuk mengetik nilai ke dalam aplikasi. 

SMA Santa Maria, sekolah tempat Agnia mengabdi sebagai seorang guru seni budaya. Sudah lima tahun lebih ia mengajar dan selama itu pula ia diterima dengan baik disini. Yayasan milik gereja ini sudah berdiri sejak tahun 90an dan berkembang begitu pesat dan menjadi salah satu sekolah swasta terbaik di kota ini. 

Lelah dengan berkas yang menumpuk, Agnia memutuskan untuk mencari udara segar dengan keluar menuju kebun sekolah. Karena letak sekolah ini agak jauh dari pemukiman warga, suasana tempat ini pun begitu teduh dan sepi. 

Rintik hujan mengiringi langkah, kecipak air dengan mantap menghantam payung yang ia bawa. Agnia masih terus berjalan dan mencari tenangnya sendiri, ia memang membutuhkan tempat sepi. 

"Haaaah." Wanita itu duduk di salah satu kursi dalam rumah kebun yang dilingkupi oleh anggrek hasil menanam siswa kelas 12. Netranya menerawang dan otaknya melesat jauh, memikirkan hidupnya kini. 

Ikatan masa kontrak mengajarnya di SMA Santa Maria tinggal setahun lagi, hatinya bimbang. Usia yang sudah menginjak 29 tahun membuatnya berfikir ulang untuk tetap sendiri atau mencari pendamping hidup. Kalau bisa melajang seumur hidup, mungkin itu adalah pilihan yang akan Agnia pilih karena hidupnya benar - benar ia dedikasikan untuk sosial dan melayani gereja.

Tidak mudah memang, besar di panti asuhan gereja dan mendapatkan belas kasihan dari orang - orang. Bagaimana ia dipandang sebagai anak yatim piatu yang hidup dari beasiswa gereja dan hidup tanpa tahu bagaimana rupa keluarganya karena Suster Kepala pernah bercerita bahwa ia dibawa oleh sepasang suami istri yang ingin menitipkan anaknya di gereja lalu berlari menghilang begitu saja di tengah derasnya hujan. 

Langkah kecilnya kembali menyusuri jalan setapak menuju ke gedung sekolah. Hujan sudah mereda, terlihat beberapa siswa berjalan cepat menuju jemputan yang sudah menanti di luar gerbang sekolah. Beberapa siswa terlihat sedikit menunduk dan tersenyum saat melewatinya kemudian berlalu. 

Agnia tersenyum samar.

Ingatannya tentang sekolah seolah kembali terputar di kepala dengan segala memorinya. Ah, indahnya masa SMA. 

"Sore Bu Nia." Siswa bernama tag Alex datang menghampiri dan mencium tangannya, "Tugas susulan untuk tambahan nilai kelas 12 IPA 1 sudah saya letakkan di meja Bu Nia."

"Terimakasih ya, Alex." Agnia tersenyum, "Nggak salah kamu jadi ketua OSIS dua tahun berturut - turut." Yang dipuji pun tersipu. 

"Kalau begitu saya permisi dulu, Bu. Ayah sudah menunggu di depan gerbang." pamitnya sambil sesekali berlari kecil menghindari genangan air. 

RAJENDRA & AGNIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang