Cerita Tentang Aku

2.6K 41 4
                                    

Sambil mendongak, aku mempercepat langkah kakiku. Langit Jakarta sangat gelap saat ini. Tidak perlu menjadi ahli ramal kondang untuk mengetahui sebentar lagi hujan deras akan segera turun mengguyur kota Jakarta.

Kabar baik: sinar matahari yang daritadi membakar kulitku sudah tidak terasa lagi. Kabar buruknya? Aku benci hujan. Aku bukan seorang gadis puitis pemuja hujan atau pecinta bau hujan yang katanya magis. Apa? Petrichor? Ya ya, apapun. Yang jelas, aku bukan penikmat hujan.

Tes.

Aku meraba tanganku. Aku setengah berharap air jatuh di tanganku barusan adalah air liur burung liar yang lewat di atas kepalaku. Tapi bukan, itu air hujan. Damn. Gerimis kecil mulai turun menyambut setiap langkahku.

Shit. Shit. Shit.

Aku melihat sekitar. Damn, tidak ada tempat berteduh. Lalu aku harus bagaimana? Sambil berjalan cepat, kunaikan tudung jaketku dan menelusuri jalanan kota. Setelah sebuah tikungan, aku melihat sebuah café yang cukup ternama di Jakarta, terkenal dengan Mug Cake-nya.

Our Café.

Hampir saja aku merayakan penemuan membahagiakan ini dengan menyalakan petasan, arak-arakan betawi dan musik tanjidor, namun tidak jadi karena:
1. Aku tidak punya petasan
2. Juga tidak ada arakan betawi
3. Apalagi musik tanjidor
4. Dan yang paling penting: Ini bukan pesta pernikahan

Hujan tiba-tiba turun dengan deras saat aku memikirkan 4 alasan tolol di atas.

Aku berlari sekencang-kencangnya menuju Our Café. Dalam waktu 15 detik, aku sudah memasuki cafe tersebut. Bel pintu berdenting pelan waktu aku menutup pintu.

"Selamat datang di Our Café! Berapa orang?", seorang pelayan ramah nan bermulut sembarangan menyambutku.

Apakah Anda melihat orang di samping saya? Tidak, kan? 

"Satu", kataku kalem.
"Oke." Mbak ini kemudian mengantarku ke sebuah kursi di dekat jendela dengan dua kursi sofa single yang saling berhadap-hadapan.

Dua. Lumayan, buat naruh tas.

"Silahkan, Kak. Ini menu-nya.", katanya manis sambil menyerahkan buku menu.

Setelah mencatat pesananku (Hot chocolate dengan marshmallow, Coffee Cup Quiche dan French Fries), si mbak pergi melenggang dengan hati riang. Setelah mengamati si mbak reseh yang pergi menjauh, aku melepas jumperku yang cukup basah.

Inilah yang aku benci dari hujan. Bikin basah. Tahu kan seberapa menjijikannya memakai pakaian basah? Lengket, lepek, dingin. Namun, aku masih lebih memilih menggunakan pakaian basah selama sebulan-oke, tiga hari-daripada bertemu kamu saat ini.

Aku akan melakukan apapun untuk tidak bertemu denganmu hari ini. Aku tidak bisa. Jika kita bertemu, aku yakin hari ini adalah pertemuan terakhir kita. Setelah hari ini, aku tidak lagi memiliki alasan untuk menemuimu. Aku belum mau.

Keluar dari rumah pagi buta dan bermodalkan kesoktauan level Zeus, aku mengelilingi Jakarta menggunakan angkutan umum. Mengelilingi museum satu dan museum lainnya, menaiki bus transjakarta tanpa arah yang jelas, hingga sampai akhirnya aku tersasar di Kota.

You know, you fucked my mind this bad, Gra. This bad. And still, I don't want to lose you. I still love you so much. I still want you to hurt me. Oh God, am I a masochist?

"Permisi, Kak. Ini pesanannya." Suara yang sangat familiar membuyarkan lamunanku. Si Mbak.

"Makasih, Mbak." Kataku ketika ia selesai menata pesanan di mejaku.

Ia hanya tersenyum dan beranjak pergi. Sambil menyesap hot chocolate-ku, aku memandangi hujan deras melalui dinding kaca café.

Hujan. Aku benci hujan.

Hujan selalu mengingatkan aku akan pertemuan pertama kita, a great, beautiful memory. Namun hujan juga mengingatkan aku akan tatapan matamu ketika memandang ke gadismu waktu itu. My second worst, painful memory. Kemudian hujan juga mengingatkan tentang kebohonganmu, ingkar janjimu kepadaku. A third-worst painful memory. Dan kemudian, hujan mengingatkanku pula pada saat kamu mencium bibir gadismu. Sahabatku. This is my first worst, painful memory. Ever.

Aku masih ingat rasanya ketika hati semata wayangku patah menjadi dua. Aku juga masih ingat sesaknya dada karena aku mencoba menahan tangisanku yang hampir pecah. Sakitnya telapak tanganku karena kukepalkan jemariku terlalu erat demi menahan tangis pun masih dapat kurasakan sampai detik ini. Tapi tidak ada yang sebanding dengan sakitnya tamparan kenyataan di pipi ini yang menyadarkanku, membuka kedua mataku, bahwa kamu tidak pernah merasakan hal yang sama sepertiku.

Aku sedih. Aku marah. Aku kecewa. Aku patah hati. Tapi di atas itu semua, aku mencintaimu. Aku tetap mencintaimu. Dan aku tidak keberatan untuk dibohongi, disakiti, asalkan ini semua tidak berakhir. Ya Tuhan, aku memang masokis!

Aku dan KamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang