Cerita Tentang Kamu

2.8K 19 0
                                    

Ada satu cerita. Cerita ini tidak pernah kubagi dengan siapapun, bahkan dengan sahabat terdekatku. Karena cerita ini milikku, hanya milikku. Kutulis dan kunikmati sendiri. Kusimpan rapi di dasar laci di hatiku. Di dasar laci paling bawah yang terkunci, ada setumpuk kertas berwarna pelangi yang bertuliskan sepenggal cerita.

Cerita tentang kamu.

Ya, Kamu. Cerita ini bercerita tentang kamu. Kamu adalah tokoh cerita itu, inti cerita itu, dan cerita itu sendiri. Well, sebenarnya di cerita itu juga ada aku. Jadi bisa dikatakan, cerita itu bercerita tentang aku dan kamu. Cerita kamu dan aku. Cerita tentang kita.

"Tentang 'kita'? KITA? Nyet, lo yakin nggak salah menggunakan frasa? Kita?", tanya organ terpandai dalam tubuhku.

Iya! Iya! Terima kasih banyak, wahai organ terpandai yang sering terlupakan, telah mengingatkan aku yang bodoh ini. Tidak ada 'kita'. Tidak pernah ada ada 'kita'. Yang ada hanyalah 'Aku' dan 'Kamu'. 'Kamu' dan 'Aku'. Karena aku dan kamu tidak pernah terikat bersama.

Kamu tahu? Bagiku, kamu adalah matahari. Kamu hangat, terang, dan selalu menyinari aku yang kelam. Meskipun di penghujung hari kamu akan menghilang, tapi keesokan hari kamu pasti akan selalu datang. Jika kamu adalah matahari, maka aku mengandaikan diriku bumi. Dan sebagai matahari, kamu berdiri angkuh, jauh di sana. Kamu memang selalu ada, aku selalu berputar di sekelilingmu, tapi sebagai bumi, aku sadar bahwa kamu tidak akan ada di sampingku, itu pasti, karena kita adalah matahari dan bumi, terpisah jarak namun selalu ada koneksi yang menghubungkan aku denganmu.

Matahari dan bumi.

Dan aku lupa sebuah hal penting: Matahari tidak hanya menyinari bumi. Bumi bukan satu-satunya yang mendapatkan kehangatan matahari.

***

Sambil mengunyah suapan pertama quiche-ku-yang ternyata super enak!-aku membuka perlahan laci hatiku yang paling dasar. Aku mengeluarkan setumpuk kertas warna warni dari dasar laci. Ini adalah hartaku yang paling berharga: semua memori tentang kamu. Tentang tawamu. Tentang kebaikanmu. Tentang kebohonganmu. Tentang kebersamaan kau dan aku. Tentang kamu. Semua ini tentang kamu.

Bersamaan dengan suapan kedua, aku membaca halaman pertama dari cerita tentang kamu. Halaman ini berwarna hitam di bagian atas kertas, abu-abu di tengah kertas, kemudian merah muda di akhir kertas.

Hitam adalah ketika aku masih bersama lelakiku. Awalnya, aku berjalan lurus ke utara, bergandengan tangan dengan lelakiku. Dalam hubungan hambar yang terus dipaksakan, kami bertahan. Terus berjalan beriringan meskipun kaki kami tidak sanggup lagi melangkah lebih jauh. Pada akhirnya, kami menyerah. Melepaskan tangan di jalan penuh batu terjal, kami berpisah arah. Dengan bisikan pelan selamat tinggal, lelakiku mantap menuju barat, sedangkan aku terlunta menuju utara.

Kemudian kamu datang dari arah selatan. Dengan senyuman, perhatian dan kehangatan yang kamu sediakan, kamu mampu membuatku berbalik arah. Aku mengikutimu bak laron mengikuti sinar lampu. Kamu menuju tenggara dan aku dengan senang hati berada di sampingmu.

Kita tidak saling mengaitkan tangan, meskipun kita bersisian. Tak apa, kataku kala itu, karena aku tahu cinta butuh waktu. Tapi tanpa saling mengaitkan tangan pun, kamu goreskan merah di lembaran cerita ini.

Pada suapan ketiga, aku membaca ulang lembaran kedua yang penuh dengan warna merah. Tapi di akhir lembar kedua, kamu goreskan hitam pada lembaran kesayanganku ini. The second worst painful memory. Kemudian defense mechanism bekerja. Otakku menyediakan berbagai skenario yang bertolak belakang dengan apa yang aku lihat kala itu. Skenario tolol yang menutup mataku dan dapat meyakinkanku kalau aku bisa bahagia bersamamu. Dan skenario ini membuatku menyimpan sendiri cerita ini.

Suapan keempat, aku membaca lembaran selanjutnya. Lembaran berwarna putih bersih. Karena kamu tidak ada. Kamu menghilang entah kemana. Hidupku seakan kehilangan tumpuan. Aku menunggumu, hingga nyaris lembar ini habis, kamu tidak muncul. Tiba-tiba kamu datang senyum yang lebih indah dari biasanya, dengan kehangatan yang lebih dari biasanya. Namun kamu membawa tinta hitam yang lebih pekat dari biasanya. The first worst, painful memory.

Bersamaan dengan suapan terakhir quiche-ku, air mataku menetes pelan menyusuri pipi. Aku menatap nanar bagian bawah lembar terakhir. Hitam. Warna perpisahan.

Aku dan KamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang