Akhir Cerita Aku dan Kamu

1.1K 19 4
                                    

24 menit, 53 detik aku mendengarkan semua penjelasanmu. Dari semua kalimat bertele-tele yang kamu ucapkan, hanya ada dua kesimpulan:

1. You don't love me.
2. You never did.

Fuck, this hurt like hell.

"I love you, okay? As a friend. The very best, Ruby. The very best." Lanjut kamu. Kamu berharap kalimat barusan dapat menghibur aku, Gra? Really? Are you that stupid? Or just cruel?

"You know, Gra, 'I love you as a friend' is a polite way to say "I'm sorry you're not good enough to be my lover". Atau bahasa gampangnya 'ngarep lo, nyet!'"

"Ruby!" There. Nada tajam itu keluar lagi. Agra benar-benar serius.

Aku menatap matanya. "Fine! Thank you! Thank you very much for loving me as a best friend. I love you too, by the way, as a man. And if you don't know what 'love as a man' means, it means that I love you and I want to kiss you, hug you, monopolize you, marry you and even fuck you."

Aku mengalihkan pandangan mataku ke meja. Ke jendela. Ke vas bunga kecil di sudut café. Ke waiter yang berjalan membawakan pesanan. Ke arah pelanggan di samping meja kami yang sepertinya menguping pembicaraan kami. Ke mana saja, asal bukan ke matamu.

"Oh. And congratulation for dating Kirana, my bestfriend. I'd love to say I'm happy for you, but I'm not happy. I'm fucking sad, heartbroken, and about to cry-well, I already cried-but on top of those shitty feelings, I still love you. As a man. Now, happy?"

Ah. Akhirnya semua keluar. Pengakuan ini. Perasaan ini.

Kamu mengangguk. "I'm so happy to know there's someone who loves me like you do. Thank you. But, I'm really sorry, I can't return your feeling for me..."

"Pffttttt. Hahahahahahahahahaha."
"By? Kok tertawa?" Alismu naik sebelah.
"What the hell was that? Kok mendadak formal banget?" Aku masih tertawa. Mataku panas. Dan mulai berkaca-kaca.

Ya Tuhan, jangan biarkan aku menangis di depan si kampret ini.

"Habis... aku juga bingung mau bilang apa, By." Kamu tertawa kecil.

Aku mengusap cepat kedua mataku dengan punggung tangan. "Jadi aku ditolak, nih?"
Kamu tersenyum salting. "Maaf."
Aku menyenderkan punggungku ke bantalan sofa. "Kamu yakin? Aku mau lho jadi selingkuhan."
Kamu tertawa kecil. "Ru-"
"Don't!!" Teriakku. Kamu sedikit kaget.
"Eh? Don't? Apanya yang don't?"
"Don't say my name, Gra. Everytime you call my name, my heart twitches." Aku kembali menyenderkan punggungku. Kepalaku mendongak, menatap langit.

Don't cry. Don't cry. Do. Not. Fucking. Cry.

Kamu hanya menggumam mengiyakan. It's a deal, eh?

"I'm really sorry, By. I am. I never meant to lead you to the wrong way, you know. I mean, I really enjoy our time together. It was fun. You are fun. You are beautiful, funny, smart. Aku yakin kamu bisa mendapatkan yang lebih baik dari aku. ", kamu menatapku dalam.

Kamu tahu, Matahari? Kadang hati tidak butuh yang lebih baik, kadang hati hanya butuh apa yang telah dicintainya, seburuk apapun itu.

Aku mengangguk.

"Jadi....teman?" Kamu mengulurkan tangan sambil tersenyum.

Aku menatap matamu sekali lagi, berharap masih ada setitik cahaya hangat yang ditujukan untukku. Nihil.

Aku meraih tanganmu. "Teman."
"The very best." Lanjut kamu sambil menjabat erat tanganku.

Kami berdua kemudian terdiam. Agra sibuk dengan kopinya yang daritadi belum disentuhnya serta ponselnya, aku sibuk menatap hujan di luar.

Tidak lama, speaker café memutarkan lagu Please, please, Please, Let Me Get What I Want milik The Smiths. Brengsek. Universe, you're trying to kill me, right?

Dan ketika Morrissey menyanyikan bait terkutuk itu, 'So please, please, please, let me, let me, let me, let me get what I want this time', mataku menatapmu yang tengah menunduk menatap layar ponsel.

Please, God, for once in my life, let me get what I want. Let me. I want him. What should I do?

**

"Mobil kamu mana?", kamu bertanya tiba-tiba. Mengagetkanku yang tengah melamun sambil menatapnya.
"Di rumah."
"Eh? Ke sini naik...?"
"Bis."
"Serius?" Agra melongo.
Aku mengangguk.
"Mau aku antar pulang? Hujan masih deras begini. Aku antar pulang, ya?"

Hatiku, yang sudah tinggal serpihan, menempel di permukaan paru-paru dan organ lainnya, kembali retak. Kali ini menjadi debu.

Kamu tidak pernah menawarkan aku pulang. Kamu biasanya selalu berkata, "Yuk pulang."

Shit. This hurts. Like hell. Oke. Kalau begitu, aku juga berubah.

Aku menggeleng. "Nggak usah. Gue masih mau makan di sini, Gra. Lo duluan aja."

Kamu mengangkat sebelah alisnya, menyadari perubahan kata ganti orang pertama dan kedua-ku. Tapi dia tidak berkomentar apa-apa.

"Oke kalau begitu. Gue duluan ya? Take care, By. The bill is on me, okay?" Kamu bangkit, tersenyum dan melangkah menuju kasir.

What should I do to make you mine, Gra?

"Eh, tunggu!"
Kamu berbalik.
"Aku bo-eh, gue boleh pinjem jaket nggak? Jaket gue basah, Gra. You know I hate wet clothes, don't you? Ka-eh lo bawa spare kan di mobil?"
Kamu tertawa kecil. "Iya. Mau aku ambilkan?"
"Nggak usah. Kamu duduk aja di sini, aku ambil sendiri ya."
"Yaudah aku bayar dulu, kamu ambil sendiri ya." Kamu menyerahkan kunci mobil. "Kamu tahu kan tempatnya di mana?"
"Di kotak, di bawah jok, di samping kotak perkakas kan?"
"Aye, aye." Kamu berbalik badan, berjalan menuju kasir.

**

Pintu café kembali berbunyi ketika aku masuk sambil memeluk jaketmu yang terlipat rapi. Dari kejauhan, aku melihat kamu tengah duduk sambil tertawa. Dengan ponsel yang melekat di telingamu, tawa yang penuh bahagia itu, wajah berseri yang kamu pasang, aku tahu, itu adalah gadismu.

Hatiku sepertinya mau kembali patah, tapi sudah menjadi bagian terkecil. Mungkin hati ini sudah melebur, lalu masuk ke dalam peredaran darah, kemudian diedarkan oleh darah ke seluruh tubuh. Karena seluruh tubuhku saat ini sakit.

Kamu melihat aku yang tengah berjalan ke arahmu, dengan segera kamu mematikan sambungan telepon dan memasukkan ponselmu ke saku.

"Sudah?", Tanyamu sambil tersenyum.
Aku mengangguk. "Maaf ya lama."
"Nggak apa-apa kok. Hujannya masih deras ya? Kamu basah banget gitu."
"Iya nih. Ini. Terima kasih ya." Aku menyerahkan kunci mobil ke tanganmu dan kembali duduk sambil tetap memeluk jaketmu.
"Ya sudah, aku pulang ya, By? Kamu serius nggak mau aku antar?"
Aku menggeleng. "Aku masih belum selesai mencoba setiap menu mug cake di sini, Gra."
Kamu tertawa kecil. "Oke deh. Bye, By!" Kamu mengelus pelan kepalaku dan beranjak pergi.

Aku kembali menyenderkan kepalaku ke sofa dan menutup mata. Tak lama, pintu café berdenting. Kamu sudah pergi. Tanganku menggenggam erat jaketmu yang ada dipangkuanku.

Kamu tahu, Matahari? Jujur, aku tidak rela melepaskan kamu pergi. Bagaimana bisa? Bumi akan mati tanpa matahari yang menyinarinya, bukan? Dan aku akan mati jika melihat kamu bahagia dengan Bulan, karena sumpah demi Tuhan, aku tidak rela.

Tapi aku tahu sebuah cara agar Bulan tidak dapat memilikimu. Agar planet sialan lainnya pun tidak bisa memilikimu. Agar kamu tetap berada di sisiku. Oh well, mungkin tidak di sisiku. Tapi setidaknya, gadismu, Bulan, juga tidak bisa memilikimu. Jadi seri, satu sama.

Aku memandangi hujan di luar. Masih deras. Cukup deras untuk membuat jalanan licin, bukan? Dan di ujung jalan sana, ada sebuah tikungan tajam.

Perlahan aku meraba saku jaketmu dan mengeluarkan sebuah benda. Tang.

Matahari, maaf, aku mengambil alat itu dari kotak perkakasmu tanpa sepengetahuanmu.

Maaf juga, aku sudah menggunakan alat ini untuk memotong kabel remmu tanpa sepengetahuanmu.

Maaf, tapi aku benar-benar tidak rela jika kamu bersama Bulan.

Maaf, Matahari, aku tidak punya pilihan.

Maaf, aku terlalu sayang kamu.

FIN.

Aku dan KamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang